Kamis, 20 Januari 2011

Sosiologi Hukum


SOSIOLOGI HUKUM

OLEH: R I S N A


PENDAHULUAN

Buku dengan judul Sosiologi Hukum karangan Alvin S. Johnson merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul Sociology Of Law, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, SH. Buku ini merupakan cetakan ketiga (Januari, 2006) yang terdiri dari 294 halaman berupa isi pembahasan dan 5 halaman berturut-turut berisi halaman judul, sekapur sirih penerbit, dan daftar isi.
Dalam pengantar penerbit dinyatakan bahwa Sosiologi Hukum itu merupakan disiplin ilmu yang masih relatif baru. Dimana Sosiologi Hukum lahir pada abad ke-19, saat Benua Eropa dilanda peperangan. Dihadapkan dengan problem peperangan itu, maka para pakar ilmu-ilmu sosial di Eropa timbul kesadaran akan perlunya kerja sama antar ilmu-ilmu sosial dalam mencapai tujuan dan perdamaian bersama. Seperti Sosologi yang menjalin hubungan dengan ilmu hukum, sehingga memperjelas pengertian hukum dan segala aspek yang berdiri di belakang gejala-gejala ketertiban hukum dan sebaliknya. Serta pengkajian problem sosiologi ditinjau dari aspek hukum.
Diterbitkannya buku ini, si penerbit sendiri memiliki harapan agar buku yang diterbitkannya ini memberikan manfaat terutama bagi mereka yang berkecimpung dikedua bidang disiplin ilmu tersebut. Di samping itu, penerbit juga menyatakan bahwa buku ini merupakan bacaan yang akan memperluas wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

OBJEK DAN MASALAH SOSIOLOGI HUKUM

Pada mulanya sangat sulit dipahami bahwa sosiologi dan hukum dapat dipersatukan karena para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah quid juris sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan quid facti dalam arti mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan. Inilah penyebab kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli filsafat hukum yang menanyakan apakah sosiologi hukum tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai norma, sebagai suatu asas untuk mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Itu juga sebabnya sebagian ahli sosiologi tidak membenarkan adanya sosiologi hukum. Mereka khawatir, melalui sosiologi hukum akan menghidupkan kembali penilaian baik buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta-fakta sosial.
Akhirnya, mereka yang mengusulkan supaya menghindarkan “pertikaian-pertikaian antara sosiologi dan hukum” dengan member batas-batas yang jelas kepada ruang lingkup dan cara-caranya, telah menegaskan bahwa pandangan para ahli hukum normatif dan  pandangan yang tuntas dari para ahli sosiologi, member lingkup hidup yang amat berbeda dari kenyataan sosial dan hukum, dan penyebab mereka tidak mungkin saling bertemu. Tetapi jika para ahli hukum dan ahli sosiologi saling mengabaikan agar dapat mencapai tujuan yang sebenarnya dari masing-masing studi maka mereka terpaksa mengambil kesimpulan bahwa sosiologi dan hukum  adalah ilmu yang tidak mungkin dan tidak ada gunanya dan tidak untuk menghilangkan segala kendala mau tak mau harus mengenyahkan sosiologi hukum.
Maurice Hauriou seorang ahli hukum dan sosiologi besar Perancis, menerangkan bahwa “Hanya sedikit sosiologi menjauh dari hukum, tetapi banyak bidang-bidang sosiologi membawanya kembali kepada hukum,” lebih jelas ditambahkan bahwa hanya sedikit hukum yang menjauh dari sosiologi tetapi banyak bidang-bidang hukum membawanya kembali kepada sosiologi. Ahli sosiologi terkemukan dari Amerika, Dean Roscoe Pound mengutarakan paham tersebut yakni bahwa “besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum modern adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional .” sikap fungsional menuntut hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup dan tetap memperhatikan “hukum yang hidup dan bergerak”. “Biang ketidakadilan adalah konsep-konsep kekuasaan yang sewenang-wenang”, sebagaimana dinyatakan oleh Hakim Benjamin Cardozo, selanjutnya melukiskan “pembatasan logikanya” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan dewasa ini.
Oleh Hakim O. W. Holmes bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman, pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah  mungkin diabaikan dalam setiap proses pengadilan, jika tidak menginginkan proses tersebut sebagai permainan kata-kata. Pemberontakan terhadap ilmu hukum yang mekanis (Pound) atau fetisisme hukum (Geny) adalah sebagai suatu kecenderungan yang tak terpungkiri, yang mewarnai pemikiran tentang hukum pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pertikaian antara sosiologi dan hukum mengakibatkan “ketidakmungkinan” sosiologi hukum disebabkan hanya oleh kepicikan dan kesilafan dalam memahami objek dan metode ilmu sosiologi dan hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Dean Pound “perihal tersebut dahulu ada dalam hukum, seperti sekarang dalam sosiologi”. Sosiologi hukum tidak dapat dipersesuaikan, bukan hanya dengan otonomi studi hukum secara teknis, melainkan dengan mazhab analitika dari John Austin (dikemukakan oleh Hobes dan Bentham), dengan “positivisme hukum” Eropa Daratan dan “logisisme normatif”. Sosiologi hukum bukan merupakan ancaman terhadap sosiologi sendiri, kecuali bagi naturalism, positivisme,   behaviourisme, dan formalisme dalam sosiologi.

Kecenderungan Dalam Ilmu Hukum dan Hubungan dengan Sosiologi
Ilmu hukum analitika memiliki dua corak yakni yang satu sempit, ada hubungannya dengan positivisme hukum Eropa Daratan, yang satunya luas yang mempersamakanhukum dengan segala peraturan-peraturan dan asas-asas yang dipakai oleh pengadilan-pengadilan dalam setiap putusannya. Paham analitis dan hukum positif merupakan inti pelajaran ilmu hukum pada paruh abad ke-19. Hukum positif adalah hukum yang diciptakan dalam satu ruang lingkup (milieu) sosial tertentu. Dalam tesisnya mereka menyatakan bahwa corak positif berasal dari perintah suatu kehendak ditetapkan sebagai inti sumber dari hukum yang bebas dari tenaga-tenaga milieu sosial maupun golongan sosial khusus dan menuntut suatu tata tertib hukum yang kaku dan berdiri sendiri. Dengan demikian positivisme hukum dan ilmu hukum analitis sama sekali tidak persamaannya dengan positivisme sosiologis, menempatkan hukum ke dalam suatu lingkungan yang sangat jauh dari kenyataan sosial yang hidup. Di atas kenyataan itu berdiri suatu negara, merupakan satuan metafisis dari suatu fakta.
Sistem hukum Anglo-Saxon, dibangun di atas nilai keunggulan hukum adat, terpaut pada “judicial empiricism” (Pound) dan berorientasi pada hukum tidak tertulis dan mudah menyesuaikan diri, teristimewa hukum kebiasaan (customary law) dan hukum peristiwa (case law). Penganut ilmu hukum analitis (orang-orang Amerika) diilhami oleh paham kaum perintis (Pound) yang menegaskan hal ketergantungan hukum kepada praktek serta putusan-putusan pengadilan daripada kedaulatan negara. Definisi hukum adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang dipakai oleh pengadilan-pengadilan. Arti sebenarnya tergantung kepada apakah orang memandang pengadilan sebagai alat kekuasaan negara atau sebagai alat kekuasaan masyarakat nasional.
Jelasnya, bahwa mashab analitis (analytical school) cenderung menganggap pengadilan pada dasarnya sebagai alat-alat kekuasaan negara dan menegaskan bahwa kegiatan-kegiatannya tunduk peristiwa hukum dan hukum dalam arti undang-undang (statutory law).
Logical normaivism yang merujuk kepada Idealisme Kant dan menjadikan pertentangan-pertentangan yang tak terdamaikan antara keputusan (Sollen) dan kenyataan (Sein) untuk mentidakmungkin sosiologi hukum sebagai dasarnya, jika diuraikan secara tuntas ternyata hanyalah merupakan positivisme hukum yang kembali dihidupkan dan digabungkan dengan rasionalisme dogmatis. Menurut ajaran ini, hukum sebagai norma, semata-mata hanya dapat mengakui cara penyelidikan yang normatik dan formalitas dan menganggap cara lainnya sebagai pengrusak obyek penyelidikan. Itu sebabnya, sosiologi tidak dapat meyelidiki hukum dan ilmu hukum sehingga tidak dapat menerangkan kenyataan sosial.
Berikut dasar-dasar pertimbangan A. S. Johnson yang telah berusaha berikhtiar dan mempersatukan kritik-kritik terhadap aliran Eropa Daratan sebagai berikut:
1.    Ilmu hukum analitis dan positivisme hukum berputar-putar dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal: adanya negara yang dianggap sebagai syarat keberadaan hukum dan negara dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum serta negara sebagai suatu bidang kenyataan sosial yang lebih tinggi dari kenyataan sosial itu.
2.    Logical normativism hanya menunjuk kepada “Sollen yang hanya” (“the pure ought to be”) telah meniadakan dirinya sendiri dengan menggantikan isi a priori dari “Sollen” ini dengan isi yang dapat dirasa pancaindra dan pengalaman yang tidak dapat dirumuskan sebagai perintah batin (categorical imperatives).
3.    Aliran-aliran di atas menerima tatacara teknis dalam sistematika dari zaman-zaman tertentu (zaman para kaisar Romawi dan pertengahan abad ke-19 di Eropa Daratan) sebagai akibat hakikat hukum yang tidak dapat diubah lagi, dan terdiri dari intisari dari berbagai ketentuan hukum yang mana sumber hukum itu telah ditetapkan sebelumnya.
4.    Ada fakta-fakta polpuler perihal asal dan kelangsungan ketentuan-ketentuan hukum yang benar-benar bebas dari pengaruh negara, oleh karena negara belum ada pada masa itu sehingga tidak mencampuri kerja dan berlakunya hukum selama berabad-abad lamanya.
Hakim Cardozo dalam bukunya The Paradoxes of Legal Science (1982), yakni “tugas hukum adalah dituntut dinamis dan kreatif…..mendamaikan segala hal yang tidak dapat didamaikan, mempersatukan hal-hal yang berlawanan, inilah permasalan besar dalam hukum. Hukum mempersatukan hubungan  yang selalu tidak ada diantara titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya, justru yang paling sering adalah menghubungkan titik-titik yang saling berbeda, yakni hubungan  dan keanekaragaman yang timbul dari proses kehidupan sosial”. Hukum harus mantap dan stabil, dan tidak boleh mandeg. Dalam keadaan demikian itu, bagaimana mungkin seorang juris atau ahli hukum dapat bekerja tanpa sosiologi hukum?
Sosiologi hukum ternyata benar-benar dibutuhkan, bukan hanya untuk pekerjaan sehari-hari dari ahli hukum yang memakai dalam peristiwa-peristiwa konkret melainkan juga bagi ilmu hukum atau dalam upaya mendogmakan secara sistematis hukum yang bersifat khusus. Sosiologi hukum berusaha menyelidiki pola-pola dan simbol-simbol hukum, yakni makna-makna hukum yang berlaku berdasarkan pengalaman di suatu kelompok dalam suatu masa tertentu dan berusaha membangun simbol-simbol itu berdasarkan sistematika. Sosiologi hukum diberi kepercayaan menyeluruh menjiwai nilai-nilai hukum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Sosiologi hukum memperkokoh dan menyempurnakan ilmu hukum yang sekaligus sebagai suatu dasar yang sangat dibutuhkan.
Hakim Holmes menuliskan bahwa yang dimasud dengan hukum semata-mata hanyalah ramalan tentang segala putusan-putusan  pengadilan, dan Max Radin mengemukakan bahwa hukum adalah suatu teknik menggerakkan suatu mekanisme sosial yang kompleks. Menurut Johnson bahwa yang dimasudkan mereka adalah jurisprudensi dan bukannya hukum. Bagi Johnson keyakinannya itu bukanlah suatu penghalang bagi Holmes menerima bahwa hukum adalah saksi dan jaminan lahiriah kehidupan moral kita. Yang sudah barang tentu bukan semata-mata hanya teknik dan keyakinan Johnson bukan penghalang untuk memprotes tafsiran-tafsiran yang sinis atasnya.
Unsur-unsur yang terdapat dalam  seluruh  hukum  adalah unsur idealis, yakni keadilan atau nilai-nilai rohani dan menganggap yurisprudensi semata-mata hanyalah teknik khususnya untuk kepentingan pengadilan. Agar terhindar dari kekacauan metodologis  maka perlu dalam menyetujui bahwa ilmu hukum (jurisprudence) atau teori umum tentang hukum semata-mata hanyalah suatu seni dan hanya untuk tujuan praktis. Hanya sosiologi hukum dan filsafat hukum yang dapat dikategorikan sebagai ilmu yang bersifat teori. Sebaliknya ilmu hukum adalah social engineering dan berbagai aliran di dalamnya (ilmu hukum analitis dan historis atau ilmu sociological jurisprudence maupun legal realisme) hanyalah berbagai macam teknik dari engineering yang sesuai  untuk menafsirkan beberapa kebutuhan khusus akan sistem-sistem hukum yang konkret dan bersesuaian dengan corak-corak dari masyarakat yang bersangkutan.
Dapat dikatakan bahwa sosiologi hukum dan filsafat hukum adalah dua ilmu teoritis yang harus menjadi dasar ilmu hukum, digambarkan sebagai seni sebenarnya dalah teknik pengadilan. Dimana sosiologi hukum itu memberikan gambaran kepada ahli hukum suatu gambaran obyektif dari kenyataan sosial yang berlaku dalam ruang lingkup tertentu. Sedang filsafat hukum memberikan suatu kriteria dari nilai-nilai hukum dengan membantunya menjelmakan atau mewujudkan yang dikhususkan untuk mancapai tujuan-tujuan yang konkret.
Pada hakikatnya, penggunaan teknik hukum dalam berbagai masa dan lingkungan-lingkungan kebudayaan tidaklah selamanya identik. Pembenaran teknik hukum tergantung dari tujuan-tujuan mereka yang ingin dicapai. Teknik hukum yaitu yurisprudensi sedikit banyak disesuaikan dengan macam kehidupan hukum yang nyata karena perubahan-perubahan bentuk dari teknik tidaklah secepat perubahan-perubahan hukum yang nyata. Jadilah tidak mengherankan jika timbul sengketa-sengketa antara suatu teknik hukum masa lalu dan kehidupan hukum yang bergelora.
Analisa hubungan antara sosiologi hukum dan ilmu hukum adalah untuk tujuan menghapus keberatan atas keberadaan sosiologi hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum terkemuka. Sekarang hendak pula dilenyapkan keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh ahli sosiologi. Telah dinyatakan bahwa sosiologi hukum tidaklah bertentangan dari kepentingan sosiologi. Sosiologi hukum memang bertentangan dengan positivisme, naturalism, behavioralisme, dan formalisme sosiologis. Ajaran-ajaran tersebut di atas memperlihatkan betapa ajaran itu destruktifnya bagi perkembangan sosiologi itu sendiri dan perkembanggan sosiologi hukum dan sebagai akibatnya ajaran ini dikesampingkan.

Kecenderungan-kecenderungan Dalam Sosiologi dan Hubungannya dengan Hukum
Positivisme sosiologis oleh Aguste Comte berbagai macam bentuknya dan kerap bertentangan dengan maksud bapak sosiologi ini. Bagi Comte sosiologi mengandung dua makna, sosioloogi adalah suatu ilmu positif atau dapat dipertanggungjawabkan perihal fakta-fakta sosial dan sosiologi adalah suatu ilmu serba lengkap dan sempurna. Konsepsi kedua menyebabkan Comte menyamakan sosiologi dengan filsafat sejarah, dengan suatu teori tentang kemajuan, menyusupkan kepadanya etika dan satu agama menyangkut kemanusian mengakibatkan kacaunya penilaian terhadap kenyataan dan penilaian terhadap kegunaannya. Itu juga sebabnya dalam sosiologi ada yang dikategorikan kecenderungan “imperialistis” yang menyangkal adanya kemungkinan terhadap kenyataan sosial laian dan menyatakan bahwa sosiologi menyerap semua ilmu sosial yangada sebelumnya dan semua pemikiran filsafat tentang kesusilaan, hukum, agama, dan sejarah.
Sikap Comte meniadakan adanya sosiologi hukum bukan karena ia hanya memfokuskan perhatian kepada penelaahan ketentuan-ketentuan umum perkembangan masyarakat dan juga karena mengabaikan cabang-cabang khusus sosiologi, tetapi terutama sekali karena ia memusuhi hukum yang dianggapnya sama sekali tidak mengandung kenyataan. Baginya hukum hanya merupakan bagian dari metafisika, tidak masuk akal dan tidak mengandung moral. Pandangan Comte masyarakat hanyalah dapat mengakui kewajiban-kewajiban yang disebabkan oleh fungsinya dan langsung atas dasar tatasusila dan kasih. Menurut Comte mmasyarakat itu terselenggara berdasarkan atas peraturan yang melenyapka segala pertentangan, pertikaian, yang atasdasar pengakuan yang menjadi ciri khas dari peraturan hukum. Inti pemikiran Comte bahwa hukum memainkan peranan penting dalam masa peralihan antara lain cita-cita persamaan hak yang memperkokoh motif-motif perpecahan dan kekacauan masa itu.
Positivisme membatasi konsepsinya tentang sosiologi pada konsepsi ilmu positif tentang fakta-fakta. Positivisme pun melenyapkan unsur kebatinan yang menurut Comte mendasari kenyataan sosial. Positivisme cenderung menafsirkan kenyataan sosial sama dengan menafsirkan kenyataan alam, khususnya fisika dan biologi. Positivisme sosiologis menganggap masyarakat hanya sebagai suatu gabungan tenaga-tenaga sosial, dan mengabaikan semua unsur lain yang melarut serta membimbing tenaga-tenaga ini. Jelas bahwa positivisme mepermiskin kenyataan sosial. Akhirnya positivisme menarik diri dari lapangan penyelidikannya di sektor-sektor kenyataan sosial yang asasi, missal kenyataan hukum, kesusilaan, agama dan sebagainya. Olehnya itu positivisme sosiologis  menjadi naturalism sosial, memyederhanakan masalah sosiologis menjadi masalah ilmu pesawat, teori tentang tenaga, ilmu bumi, demografi, dan biologi, dalam tiga golongan yakni antropo-rasisme, darwinisme sosial, dan organisisme.
Perihal aliran-aliran dalam sosiologi yang merugikan perkembangan sosiologi hukum yang belum lama dapat disebut dalam dua aliran yakni formalisme sosiologis Jerman dan behaviourisme Amerika. Formalisme sosiologis wakil utamanya ialah George Simmel (1908) dan L. von Wiese (1932), membatasi seluruh studi sosiologi pada bentuk-bentuk murni dari interaksi antar manusia.  Formalisme sosiologis mengabaikan semua isi kebudayaan dan rohani dari bentuk-bentuk hubungan itu, misalnya hubungan kesusilaan, agama, pengetahua dan estetika maupun dasar materiil masyarakat, baik berupa demografi, ilmu bumi maupun peralatan perekonomian, atau apa saja menurut penganut paham ini, untuk menelaah bukan hanya bentuk abstrak lembaga masyarakat tetapi keseluruhan dari penjelmaan-penjelmaan sosial yang konkret, adalah dengan melarutkan sosiologi ke dalam ilmu sosial lainnya atau dalam sejarah. Akhirnya sosiologi kehilangan obyek khususnya. Karenanya tidak mungkin ada antar hubungan antara sosiologi dan ilmu-ilmu sosial khusus. Jika tendensi berhasil menolak tuntutan semula sosiologi untuk melarutkan semua ilmu sosial khusus, dan jikalau menguntungkan penelaahan berjenis-jenis proses lembaga kemasyarakatan serta pengelompokan, maka dengan menjadikan sosiologi mandul atau tidak berfungsi sama sekali maka apa yang diperolehnya itu harus dibayar dengan mahal. Konsepsi ini tidak lebih daripada rasionalisme abstrak dan anti sejarah yang menyangkut kenyataan sosial.
Behaviourisme yang sangat disangsikan digunakan dari teori biogenetis tentang refleks-refleks bersyarat. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tingkah laku khusus manusia yang membedakan dari tingkah laku binatang. Social behaviorisme berusaha menyederhanakan semua kehidupan sosial menjadi refleks-refleks fisiologis sebagai jawaban terhadap rangsangan-rangsangan dari luar. Agar tetap konsekuen, social behaviourisme tidak dapat meninggalkan lingkaran sempit berupa rangsangan dari luar dan jawaban-jawaban berupa reflex-refleks. Tetapi karena dasar demikian itu tidak mungkin ada hubungan, apalagi ikatan-ikatan yang lebih dalam di antara tingkah laku manusia, maka kaum behaviourist paling radikal sekalipun (seperti Floyd Allport, Read Bin, dan George Lundberg) yang menghasilkan refleksi behaviour.
Konsepsi kaum behaviourist mengubah semua unsur kenyataan sosial menjadi perangsang sosial yang sedikit banyak bekerja secara mekanis. Dengan demikian konsepsi ini merupakan suatu halangan bagi perkembangan sosiologi hukum dan juga bagi teori tentang pengawasan sosial, dan pada umumnya bagi semua telaahan sosialogis tentang segi rohani kebudayaan dan nilai-nilai sosial yang lebih luhur.
Konsepsi W.G. Sumner tentang tata cara dan tata susila (folkways dan mores) sebagai suatu lapangan yang sangat asasi dari penyelidikan sosiologi, dapat dianggap  sebagai langkah pertama dari sosiologi Anglo-Amerika kea rah masalah-masalah sosiologi hukum dan moral. Dalam dua karyanya, Folkway, A study od The Sociological Importance of Usages, Menners, Customs, and Morals (1906) dan The Science of Society, Sumner menyatakan bahwa corak asasi kenyataan sosial mengenai individu-individu dan hubungan-hubungan antara individu ternyata sangat jelas dalam pengaturan tingkah laku oleh tata cara. Tata cara ini adalah kebiasaan adat, kebiasaan masyarakat…., kebiasaan dan adat itu bersifat mengatur dan memaksa generasi-generasi yang akan datang. Kebiasaan dan adat itu mengendalikan tindakan individual dan sosial. Karena itu kebiasaan dan adat bukan hasil ciptaan dan kehendak manusia. Corak mengatur dan memaksa dari tata cara yang terpusat dalam tata susila, termasuk di dalamnya suatu penilaian bahwa adat istiadat itu membantu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengannya, meskipun adat istiadat itu tidak diatur dalam suatu kekuasaan. Lembaga-lembaga serta hukum-hukum merupakan penjelmaan adat istiadat.
Sumner menegaskan dengan kuat peranan tata aturan masyarakat yang merupakan salah satu kebutuhan-kebutuhan mutlak dalam kehidupan masyarakat, sebagai salah satu persyaratan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Tetapi premis dan metodenya tidak mengizinkannya untuk mencapai suatu perbedaan yang pasti antara tekanan sosial yang sederhana, pengaturan teknis atau semata-mata pengaturan kultural, dan tidak pula terdapat suatu perbedaan yang tepat di dalam pengaturan kultural, antara pengaturan oleh undang-undang, kesusilaan, agama atau estetika.
Konsepsi Sumner dikecam oleh F.H. Giddings. Ahli sosiologi ini menunjukkan bahwa penulis folkways tidak berhasil membedakan pola-pola appresiatif dan tidak appresiatif yang ada kaitannya dengan societal Telesis. Kecaman Giddings menghancurkan keselarasan yang evolusionistis dan utilities dari konstruksi-konstruksi yang dibangun Sumner dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya untuk, berdasarkan asas yang ditetapkannya, menciptakan suatu sosiologi hukum dan tata susila.
Konsepsi E.A. Ross dalam perluasan sosiologi bertitik tolak pada dua tesis pokok. Pertama, perbedaan antara social influences (tekanan, dorongan atau saran psikologis yang langsung dari masyarakat kepada individu sebagai suatu penjelmaan tenaga-tenaga sosial) dan pengawasan sosial sebagai lembaga-lembaga pengatur, memaksa supaya orang menyesuaikan diri dengannya dan maksudnya adalah untuk menekan pola tingkah laku yang tidak diinginkan dan menganjurkan yang diinginkan. Kedua, gagasan atau cita bahwa tata tertib dalam kehidupan sosial tidak bersifat kenalurian dan sekoyong-koyong, melainkan berdasarkan dan hasil dari pengawasan sosial. Penegasan Ross tentang banyaknya sengketa pokok dalam kehidupan sosial yang hanya secara darurat dapat diatasi dengan menerapkan lembaga pengwasan sosial secara rutin. Tetapi yang amat disangsikan adalah tafsirannya tentang sosial dalam arti yang normalistis radikal, yakni sebagai sekumpulan individu-individu yang terasing dan malahan semacam fiksi (khayalan), dan hubungan satu-satunya antar individu diciptakan oleh pengawasan sosial. Hukum sebagai salah satu pengawasan sosial, dinilai oleh Ross sebagai alat penunjuk dari bangunan tata tertib, alat pengawasan sosial yang terutama digunakan oleh masyarakat. Integrasi hukum ke dalam pengawasan sosial boleh menelaah situasi-situasi kemasyarakatan yang ada hubungan fungsional, dan member keuntungan bagi perkembangan sosiologi hukum. Bagi sosiologi hukum di sini, hukum dan imperatif-imperatif, sebagaimana hakikatnya, sebaiknya tidak seragam dan bukan tidak dapat diubah-ubah, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang dialami masyarakat secara kebetulan. Gagasan Ross membawa banyak keberhasilan dalam penyelidikan ahli sosiologi terbesar, Roscoe Pound, yang mana Ross memberikan persembahan bagi Pound Principles of Sociology (1902) dan Pound secara rutin menegaskan bahwa is menerima bai asas umum Ross tentang pengawasan sosial.
Teori Ross tersebut ternyata tidak cukup sebagai dasar bagi suatu perubahan efektif dari sosiologi yang memberi kemungkinan berkembangnya sosiologi hukum. Pertama, pettentang tajam antara pengaruh-pengaruh atau tenaga-tenaga sosial dan pengawasan sosial, yang meliputi pula pengaturan , diperlemahkan bahkan dihapuskan oleh kehancuran dalam analisa penulis tentang jenis-jenis pengawasan, alat-alat atau metode-metode pengawasan, dan badan-badan pengawasan.
Suatu sumbangan penting kepada masalah pengawasan sosial dan sosiologi jiwa manusia telah diberikan oleh karya-karya terkenal dari C.H. Cooley. Di dalam buku terakhirnya, Social Progress (1918), Cooley menggunakan secara tegas istilah pengawasan sosial, tetapi masalah pengawasan sosial yang berhubungan dengan masalah struktur kenyataan sosial, memang sudah dari semula menjadi perhatiannya, yakni dalam bukunya Human Nature and Social Order (1902), dan khususnya dalam  Social Organization (1909). Bertentangan dengan ”nominalisme” Ross, dan sikap kompromis Ellwood, Cooley mengambil sikap “realistis” mengenai kesatuan-kesatuan sosial.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa “keseluruhan sosial” tidak dapat disederhanakan kepada bidang-bidangnya, oleh karena kenyataan sosial itu bersifat khas. Sifatnya yang itu berupa kenyataan, bahwa “aku” dan “persatuan sosial” adalah semata-mata berupa aspek yang abstrak dari keseluruhan organis yang hidup dari budi dalam proses kejadian secara terus-menerus. Sifat kreativitas dari budi yang hidup ini, yang darinya lahir kesadaran diri dan kesadaran sosial bersama, menciptakan cita dan penilaian-penilaian sosial, lambing-lambang dan ptokan-patokan yang kadang kala merupakan hasil dan penghasil kenyataan sosial. Kehidupan kerohanian ini yang melalui pengertian-pengertian penting sebagai unsur yang mutlak harus ada dari kenyataan sosial, menjelmakan dirina sendiri. Menurut Cooley proses ini menyebabkan suatu persamaan “antara keseluruhan moral dan sosial”, sebagai lawan dari yang dapat dirasa dengan indera nafsu, karena kebaikan ideal dan keadilan adalah keseluruhan sosial yang bersifat ‘kreatif” itu sendiri. Pengawasan sosial, yang pengaturannya dibimbing oleh penilaian sosial dan sosial ideal, merupakan suatu proses yang mutlak harus ada dalam kreasi masyarakat itu sendiri. Inilah suatu pengawasan sosial dari dan untuk masyarakat,yang tidak dapat dipisahkan dari budi atau akal pikiran masyarakat, tetapi kepada dan oleh keseluruhan sosial yang hidup itu sendiri. Pengawasan ini menjelma dalam masyarakat-masyarakat secara keseluruhan dan juga dalam kelompok-kelompok khusus dan sekaligus menunjukkan banyaknya alat yang bekerja dalam setiap badan pengawasan. Konsepsi ini berbeda dan bertentangan dengan konsepsi Ross, memasukkan asas dinamika yang spontan ke dalam pengawasan sosial ideal. Hal ini memungkinkan Cooley mengutarakan fakta, bahwa tidak semua pengawasan sosial dicapai oleh peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman dan mengemukakan perbedaan antara pengawasan sosial yang tercipta dan berlaku tanpa disadari (atau yang tercakup di dalamnya secara lengkap) dan pengawasan soaial rasional (pengawasan sosial yang dilembagakan) berdasarkan pedoman-pedoman yang telah baku atau sudah terbentuk. Pembedaan ini yang telah diakui oleh ahli sosiologi dan dari antaranya ada yang menambahi dengan yang lainnya, misalnya antara pengawasan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, formal dan non formal, dan sebagainya) dan memang terkadang membawa banyak manfaat.
Ketidakjelasan dalam berbagai analisa Cooley telah sering dikemukakan: terlalu cepatnya dia menganggap nilai-nilai kerohanian sebagi hasil-hasil kehidupan sosial yang sederhana  dan unilateral, idealisasi kehidupan itu sendiri sebagai suatu yang ideal, sebagai suatu konsepsi tentang kekreatifan yang mengambang, semi-vitalist, semi-mistik, tidak memungkinkan Cooley memecahkan masalah sosiologi jiwa sebagaimana ia rasakan. Banyak ahli sosiologi yang memecahkan masalah semangat sosiologi kemanusian menurut cara Cooley, bukan memperdalam analisisnya sendiri, tetapi malah sampai pada keharusan memilih kombinasi dari teori-teori gabungan Ross, Cooley, dan Sumner dan sekaligus menambah kerancuan pada masalah tersebut.
Konsepsi-konsepsi umum Roos dalam berbagai hal mengingatkan kita pada konsepsi-konsepsi seorang sosiologis dari Perancis, E. Durkheim. Ia juga membahas persoalan di atas tetapi dengan istilah yang berlainan., sementara itu sosiologi kenamaan Jerman Max Weber, yang mempengaruhi metode sosiologis menjadi rincin dan berdasarkan logika, telah mengemukakan masalah pokok sosiologi dari pengertian kerohanian. Dua sosiologis tersebut memberikan sumbangan khususnya dalam penyelenggaraan sosiologi hukum sebagai suatu sektor dari sosiologi dan oleh karena jaran mereka saling bertentangan tetapi saling mengisi.
Durkheim secara menyeluruh mengubah konsepsi Comte dan menolak dengan tegas setiap kecenderungan ilmu baru itu mengarah ke rasionalisme, formalisme, atau metafisika dogmatis,  sebagai suatu sumbangan besar sekali dalam member tempat penting kepada sosiologi hukum dalam rangka bangun sosiologi. Ia memperdalam tesis perihal spesialisasi unsur-unsur sosial dengan menolak meberi pengakuan tentang fenomena sosial yang muncul dalam keseluruhannya, dan dengan memindahkannya kelak ke kemudian hari dari setiap telaahan tentang hukum  secara umum dari perkembangan masyarakat. Keriteria kekhususan di satu pihak adalah lembaga-lembaga yang dibentuk sebelumnya yang memaksa, yakni pola tingkah laku kelompok yang diwujudkan dalam organisasi-organisasi dan praktek-praktek. Pihak lain, lambing-lambang, nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan cita-cita kelompok larut dalam kenyataan sosial (dan memungkinkan Durkheim merumuskan “asas-asas fenomena sosial sebagai sistem-sistem nilai”) dan akhirnya kondisi kesadaran kelompok, gambaran-gambaran dan aspirasi-aspirasi kelompok, yang tidak dapat disederhanakan menjadi kesadaran individu-individu yang merupakan dasar bantuan kepada setiap kehidupan sosial.
1.    Pada permukaan dari kenyataan sosial terdapat dasar geografis masyarakat, dan juga rangka bangun, saluran-saluran hubungan, alat-alat, makanan, dan lain-lain.
2.    Di bawah permukaan kebendaan atau disebut oleh Durkheim “permukaan morphologis” terdapat lembaga-lembaga (“cara berbuata sebagai ketetapan”) dan pola tingkah laku kelompok, pembakuan kebiasaan atau di oganisasi-organisasi.
3.    Selanjutnya lambing-lambang yang bersesuaian dengan lembaga-lembaga dan merupakan tanda-tanda dan alat-alat menghimpun seperti lencana, bendera; benda-benda sicu, upacara-upacara untuk praktek-praktek keagamaan,; sanksi-sanksi prosedur-prosedur, undang-undang, dan lain-lain untuk praktek hukum.
4.    Di bawah tingkatan lembaga terdapat nilai-nilai kelompok, gagasan-gagasan serta idaman-idaman kelompok dalam wujud lambang-lambang yang mengilhami pola tingkah laku kelompok.
5.    Akhirnya, memasuki lapisan terdalam dari kenyataan sosial yakni keadaan akal budi kelompok itu sendiri gambaran-gambaran kelompok, kenangan-kenangan kelompok, perasaan-perasaan kelompok, kecenderungan-kecenderungan dan aspirasi kelompok, kemauan kelompok dan pergolakan kelompok, sebagain sangat penting sebagai mutlak harus ada dalam kehidupan kelompok.
Analisis dimensi-dimensi kenyataan sosial terdiri dari berbagai lapisan yang menyebabkan Durkheim mengakui perlunya diferensiasi di dalam sosiologi, yang merupakan cabang-cabang yang bersifat khusus.
1.    Morfologi sosial, menelaah bagian permukaan kebendaan dari masyarakat, dapat dihitung dan diukur.
2.    Fisiologi sosial, menelaah lembaga-lembaga, lambang-lambang, nilai-nilai, dan gagasan-gagasan kelompok, yang meliputi agama, moral, pengetahuan umum, ekonomi, bahasa dan estetika. Durkheim, fisiologi sosial dinamakannya sosiologi kejiwaan, karena semua “cara berbuat” yang menjadi pokok dari cara-cara berdasarkan sosiologi diarahkan atau ditunjukkan melalui pelambang-pelambang yang memiliki arti tertentu dan berorientasi pada nilai-nilai dan gagasan-gagasan.
3.    Psikologi kelompok.
4.    Sosiologi umum menelaah integrasi segala tingkatan dan aspek dari kenyataan sosial yang oleh Mauss, penerus teori Durkheim dinamakan fenomena sosial total dan menggambarkan berjenis-jenis golongan masyarakat dan masyarakat totalitas atau mayarakat menyeluruh.
Pada dasawarsa terakhir ini sosiologi Amerika sampai kepada pengkhususan pada berbagai bidang sosiologi. Berbagai dari pengkhususan ini bermanfaat, ada juga yang dibuat dengan kesengajaan. Tapi sangat menonjol pada kenyataannya bahwa pengkhususan itu tanpa kriteria dan bidang-bidang terselenggara seperti suatu kebetulan. Durkheim telah mengadakan percobaan pertama dengan membagi sosiologi secara rasional dalam bidang-bidang khusus, walau bukan suatu percobaan yang bersifat defenitif. Ia menempatkan sosiologi hukum di dalam sosiologi jiwa manusia yang terpisah dari morfologi sosial, psikologi kelompok, dan sosiologi umum. Durkheim memberi suatu oreintasi baru kepada sosiologi Eropa Daratan. Lebih jauh lagi, lebih dalam dan sistematis sosiologi Amerika    tentang pengawasan sosial, ia menghapuskan rintangan-rintangan yang terdapat di jalan menuju kepada sosiologi hukum melalui positivisme, naturalisme, dan formalisme.
Orang berpandangan bahwa seluruh sosiologi Drukheim mengandung kecenderungan “kehukuman”.  Sesungguhnya ia melihat keriteria terpenting dari sosial yang terdapat pada “paksaan”, berupa sanksi-sanksi ancaman hukuman, sedang ciri terpenting hukum sebagai suatu “lambang yang terlihat” dari dalam “kesetiakawanan sosial”, titik tolak terpenting untuk mempelajarinya, ia juga menyatakan bahwa jumlah hubungan sosial haruslah sebanding dengan jumlah ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan hubungan-hubungan sosial itu.
Lambang-lambang hukum yang agak dilebih-lebihkan dianggap oleh Durkheim sangat penting bagi penelaahan kenyataan sosial yang memungkinkan sosiologi itu mempersembahkan tulisan pada gedung yang dibangunnya, bahwa terkecuali sarjana hukum, dilarang masuk, ia tidak akan berhasil menghilangkan semua rintangan pada jalan menuju saling adanya pengertian yang sehat antara sarjana hukum dan ahli sosiologi. Beberapa penyebabnya sebagai berikut:
Sebab pertama, Durkheim tidak memungkiri kecenderungan agresifitas sosiologi yang menolak hidupnya ilmu-ilmu sosial yang sudah ada sebelum sosiologi ada dan berdiri sendiri sebagai suatu ilmu. Menurut Durkheim cabang-cabang khusus sosiologi ditugaskan untuk menggantikan ilmu-ilmu sosial seperti hukum, ekonomi, ilmu bahasa, dan lainnya. Bahkan masalah epistemology hanya dapat diselesaikan melalui ilmu pengetahuan sosiologi. Meenurut Durkheim tidak ada cara lain menelaah fenomena sosial selain menurut cara sosiologis. Durkheim agaknya lupa, bahwa berbagai pola, lambang, gagasan , dan nilai tidak dapat ditelaah dengan cara sistematis untuk diuji kembali benar tidaknya hakikat intrinsiknya atas dasar kemampuannya berintegrasi dalam satu kesatuan yang otonom. Ia pun melupakan filsafat hukum dan ilmu hukum dengan metode sistematisnya dan teknik yang membantu banyak sosiologi hukum sebagai titik tolak penelaahan mereka.
Sebab kedua yang menentukan kegagalan Durkheim dalam beberapa hal, tatkala ia berusaha menyusun sosiologi hukum, terletak dalam konsepsinya tentang ruang lingkup dari lambang dan nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan cita-cita, yang rohaniah, sebagai suatu hasil dan gambaran dari kesadaran kelompok. Pola-pola, lambang-lambang, cita-cita, nilai-nilai tidak dapat diselenggarakan  dan dipahami terkecuali secara kolektif, maka Durkheim menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah epifenomena dari kesadaran kolektif. Ia dihapkan pada alternatif: subyektivisme kolektif atau mengangkat kesadaran kelompok sebagai tingkatan tertinggi dari roh supra-temporal dan melupakan bahwa akal budi kelompok dapat juga bersemayam dalam dua rohani: gagasan-gagasan dan nilai-nilai atau berpaling darinya karena dalam hal ini kesadaran kelompok itu sama sekali tidak berbeda dengan kesadaran individu. Itu sebabnya Durkheim cenderung untuk memecahkan masalah filsafat dengan analisa sosiologi dan sosiologi bukan saja untuk menggantikan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri, tetapi juga epistemology, etika, dan filsafat hukum, sehingga kesadaran kelompok menjadi satu kesatuan metafisika, yakni roh. Jelas bahwa sosiologi hukum yang berdasrakn premis-premis telah  melangkahai batas-batas ilmu positif, apabila menggantikannya dengan filsafat hukum, telah bertentangan dengan tiap konsepsi yang membedakan antara keadaan dari nilai, fakta dari norma.
Sebab ketiga dan terakhir dari kegagalan Durkheim untuk menyingkirakn semua rintangan yang menghalangi perkembangan sosiologi hukum terletak dalam kecenderungannya untuk mengurangi semua masalah sosiologi hukum ini menjadi masalah-masalah tentang terjadinya lembaga-lembaga hukum. Dengan menyamakan yang “archaic” atau yang yang dengan elementer dan dengan membenarkan adanya kesinambungan evlusioner dalam peralihan di antara jenis-jenis masyarakat, maka Durkheim mempercayai bahwa penyelidikan atas asal lembaga-lembaga hukum. Keagamaan, etika, dalam masyarakat kuno dapat merupakan suatu titik tolak dalam menentukan pemahaman lembaga itu dalam masyarakat sekarang. Dengan demikian apa yang dicapai oleh mazhab Durkheim yang berhubungan dengan sosiologi hukum telah terjadi di lapangan genetika sosiologi hukum dan di dalam masyarakat tertentu: masyarakat terbelakang. Padahal lapangan yang harus diselidiki oleh sosiologi hukum jauh lebih luas. Sistematikan sosiologi hukum yang menyelidiki hubungan-hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum serta mengkombinasikannya dan mengaturnya secara seimbang di dalam tiap golongan dan sosiologi hukum differensial yang menyelidiki tipologi hukum dari tiap golongan atau kelompok dan masyarakat secara menyeluruh, haruslah mendahului sosiologi, genetika, yang hanya dapat diterapkan di dalam satu jenis masyarakat yang menyeluruh.
Rintangan terakhir dalam perkembangan sosiologi hukum dalam sosiologi itu sendiri, dihilangkan oleh adanya metode sosiologis terbaru dari ahli sosiologi Jerman terkenal, Max Weber. Menurut Weber seluruh sosiologi haruslah merupakan sosiologi yang mampu menafsirkan pemahaman arti terdalam dari pola tingkah laku sosial (Verstehende Soziologie).
Metode sosiologi hanya mungkin bersifat typologies dan berupa penyelidikan tentang jenis-jenis kualitatif yang ideal, misalnya kerangka susunan dari gambaran mental menurut pengertiannya yang khusus, yang merupakan titik tolak penyusunan tersebut. Pengertian yang khusus yang diadakan secara seksama akan memberikan suatu ciri kualitatif kepada tipe-tipe masyarakat dan dengan tegas membedakannya dengan jumlah pukul rata yang dialakukan semata-mata secara induktif, untuk yang bersifat kuntitatif tidak diterapkan kepada kenyataan sosial karena telah meresap ke dalam maknanya: maksud-maksud, tujuan-tujuan (wertrational) nilai-nilai yang berdasarkan perasaan keinginan dan lain-lain. Pekerjaan ahli sosiologi berhenti dengan adanya penyelidikan pengertian subyektif dan tentang keserbamungkinan, dari kemungkinan, pola tingkah laku sosial, menurut pengertiannya di sini. Pengujian benar tidaknya pengertian ini termasuk di lapangan filsafat, dalam sistenatikanya termasuk lapangan ilmu-ilmu dogmatis-normatif seperti misalnya ilmu hukum atau ilmu agama. Meskipun mengambil pengertian-pengertian dan nilai-nilai sebagai penyokong namun bebasnya sosiologi bukan hanya berkat penilaian baik buruk tetapi berkat adanya hierarki yang ditetapkan sebelumnya dan diskusi tentang berlakunya secara obyektif. Inilah arti Werfreinheit sosiologi yang  dinyatakan Weber. Disamping itu untuk menyelidiki kemungkinan pola tingkah laku sosial yang efektif menurut pengertiannya yang berdasarkan makna maka pentinglah artinya bagi sosiologi untuk menggunakan hasil-hasil dari pengertiannya ini, yang cara berlakunya sama sekali tidak berganrtung kepada kemungkinan-kemungkinan untuk diwujudkan. Pengertian yang subyektif yang menjadi penyokong bagi usaha penyelidikan sosiologis sama sekali tidaklah mengecualikan kemungkinan adanya pengertian subyektif, tetapi justru menerimya sebagi suatu kenyataan dan pada hakikatnya  mencerminkan pengertian obyektif yang diilhami oleh pengertian subyektif itu. Sementara itu semua penjelasan berdasarkan sebab akibat dalam sosiologi menurut Weber dicapai berdasarkan pemahaman atas penafsiran tentang pengertiannya yang terdahulu, dan hanya dengan pemahaman demikianlah yang akan memberikan makna-makna yang membangun rangka kerja yang ideal, yang mana dalam penjelasannya atasdasar sebab-akibat memungkinkan sekali, maka Weber menolak segala penyelidikan tentang asal pengertian-pengertia dan segala daya usaha untuk menyelenggarakan memperhubungkan antara lambang-lambang, nilai-nilai, atau ideal-ideal kolektif dan kenyataan sosial. Maka apa yang hendak dicapai oleh sosiologinya itu lebih sederhana daripada ahli-ahli sosiolgi sebelumnya. Sosiologi Weber tidak menyatakan bahwa aspek sosiologi hukum, etika, agama, dan lain-lain dapat menghilangkan fenomenanya. Sebaliknya, sosiologi tersebut cenderung untuk menjadikan sosiologi jiwa manusia bergantung secara unilateral kepada ilmu-ilmu yang mensistematisasikan pengertian-pengertia ideal dan dengan demikian sosiologi mambatasi dirinya penyelidikan reaksi terhadap tindak-tanduk yang efektif dari sistem-sistem dogma atau norma-norma yang mereka bahas.
Dalam sosiologi hukum, Weber lebih dahulu menyelidiki berbagai sistem-sistem yang berlandaskan hukum yang dibangun oleh sarjana-sarjana hukum, dalam masyarakat Romawi, feudal, kapilistis, dan lain-lain, kemudian dilanjutkan dengan menyelidiki masalah-masalah mengenai cara merefleksikan sistem norma tersebut dalam pola tingkah laku sosial yang bersesuaian. Adalah perlu menegaskan kenyataan bahwa sosiologi hukum, dengan demikian sama sekali tidak mengancam kedudukan ilmu hukum dan filsafat hukum, tetpai justrui mengakuinya dan menghargainya sebagaimana halnya sosiologi agama sangat menghargai teologi dan filsafat agama.
Kita patut memuji Weber karena ia telah berhasil menghilangkan sifat agresifitas sosiologi sehingga mengakui keberadaan ilmu-ilmu sosial yang bersifat khusus sebelumnya yang telah ada dan telah memiliki otonominya. Weber telah memberikan sumbangan bagi adanya saling pengertian antara ahli sosiologi dan sarjana hukum, antara sosiologi hukum dan ilmu hukum. Kembali orang bertanya, sebagai reaksi terhadap para ahli sosiologi sebelumnya, apakah Weber tidak terlalu jauh bertindak  dengan member konsensi kepada ilmu-ilmu dogmatis-normatif? Selain itu, juga mempertanyakan, apakah sosiologi hukumnya tidak terlalu menderita oleh karena ia menerima baik cara pembahasan secara terperinci dan saksama sistem norma-norma hukum, yang boleh dikatakan mengambang dan sama sekali lepas tanpa ada hubungannya dengan kenyataan hukum yang hidup padahal norma-norma hukum itu hanyalah lambang-lambang kaku dari kenyataan hukum tersebut?
Pada hakikatnya bahwa untuk menghindari keseterilan atau ketidakmampuan, ilmu hukum justru lebih membutuhkan sosiologi hukum ketimbang sosiologi hukum membutuhkan ilmu hukum. Dalam menyelidiki kemungkinan dari pola tingkah laku sosial (catatan dari  penerjemah untuk sebelum dan sesudahnya bahwa social behaviours diartikan sebagai pola tingkah laku sosial atau boleh juga kelakuan atau perbuatan sosial, dalam arti bukan tindakan individu) yang efektif yang mewujudkan kekakuan ketentuan-ketentuan hukum sebelumnya telah ditetapkan dan disusun secara seksama dalam suatu sistem, Weber tidak menyadari bahwa dari antara peraturan—peraturan yang kaku itu ada juga asas-asas yang luwes dan bersifat ad hoc dan bahwa di bawah asas-asas  ini hidup kumpulan kepercayaan-kepercayaan yang member kekuasaan riil kepada hukum dan yang terwujud dalam fakta-fakta normatif, yakni sumber-sumber yang secara spontan dari positivitas hukum yang merupakan sumber kekuatannya, “sumber dari segala sumber” dan dasar dari suatu dinamisme terus-menerus yang merupakan kehidupan sesungguhnya dari hukum. Selama ia diciptakan dengan sengaja mengurangi kenyataan hukum yang dipisahkan semata-mata menjadi kelakuan-kelakuan yang dibimbing oleh peraturan-peraturan yang kaku dan disistematisasikan  dan sengaja  diciptakan  samalah dengan memperbudak peyelidikan sosiologi hukum kepada suatu tenik hukum yang khusus, maka sosiologi hukum Weber hanyalah member penjelasan yang relatif dan tidak merupakan bantuan besar kepada ilmu hukum. Selain itu sosiologi Weber membatasi dirinya pada tipologi hukum dari masyarakat totalitas dan tidak pernah menyinggung masalah-masalah sosiologi hukumyang sistematis atau tipologi hukum dati kelompok-kelompok tertentu.
Kekurangan-kekurangan sosiologi hukum ini, tidaklah disebabkan oleh metode pemahaman interpretatif atas pengertian-pengertian batin sebagai dasar penyusunan tipe-tipe ideal, dan tidak pula disebabkan oleh kehendak Weber untuk menciptakan saling adanya pengertian dan kerja sama antara sarjana hukum dan ahli sosiologi. Akar dari kekurangan ini karena terlalu sempitnya konsepsi sosial mengenai fakta sosial yang merupakan suatu kemunduran dari yang telah dicapai oleh pikiran Durkheim. Weber menyederhanakan fakta-fakta sosial hanya kearah pengertian-pengertian serta kelakuan , lainnya: dasar morfologi dan psyche kolektif, tanpa membedakan di antara organisasi-organisasi itu, praktek-prakteknya, dan mengadakan pembaruan sikap di dalam pola tingkah laku itu sendiri. Dibimbing oleh suatu kecenderungan nominalistis, sisa-sisa dari pandangan E.A. Ross, Weber menyederhanakan pola tingkah laku sosial itu menjadi pola tingkah laku individual yang berorientsi kepada pengertian-pengertian sosial (bertalian denga pola-pola tingkah laku orang lain); ia bahkan tidak mengemukakan persoalan tentang bagaimana, mengingat penegasannya mengenai kehidupan eksklusif dari psyche individual (mengandung kesadaran diri). Meskipun menggunakan suatu cara sosiologis yang sangat saksama, namun Weber tidak mengetahui menerapkannya kepada suatu obyek  sosial secara mendasar atau mendalam. Ia mngurangi kenyataan sosial sedemikian rupa, sehingga hamper saja menghilangkannya sama sekali. Itulah akibatnya ia terlampau mempercayai siatem-sistem yang mengandung pengertian-pengertian yang kaku yang diselenggarakan oleh ilmu-ilmu yang dogmatis-normatif, yang baginya sebagai pengganti pola-pola sosial dan lambang-lambang serta nilai-nilai yan g erat kaitannya dengan kehidupan spontanitas dari kumpulan akal budi berdasarkan pada pengalaman yang meliputi dan sedikit banyak juga merumuskan dan menciptakannya.  
Jikalau ada orang yang menyatakan bahwa gagasan dan nilai-nilai merupakan kumpulan pengalaman tidaklah merupakan hasil yang diakibatkan kumpulan akal budi maka tesis ini tidak dipertahnkan dengan menyembunyikan gagasan-gagasan serta nilai-nilai dalam pengertian ini, adalah ciri-ciri dari produk sosial. Apabila gagasan-gagasan dan nilai-nilai bertentangan dengan kumpulan mentalitas maka sektor dunianya yang tidak terbatas yang dapat diketahui dari fakta-fakta kumpulan pengalaman bergantung kepada ciri-ciri pengalaman itu sendiri yang melakukan penyeleksian. Dengan demikian dikemukakanlah problem perspektif sosial, sebagai penentu untuk dapat memahani aspek-aspek khusus dunia kerohanian dari gagasan-gagasan dan nilai-nilai.pengertian-pengertian kemungkinannya tidak terpisah jauh dari kenyataan sosial, seperti halnya kenyataan sosial tidak seberapa terpisah dari pengertian-pengertiannya: Hubungannya di sini tidak bersifat memihak tetapi timbal balik dan bilateral. Masalah hubungan fungsional antara bentuk-bentuk konkret dari struktur sosial dan pengertian-pengertian sosial yang menjadi inspirasinya (dan dalam konstitusi yang dicakupnya), masalah pokok sosiologi akal budi keilmuan (noetic mind) ini pun tidak terpecahkan oleh Weber.
Sosiologi dewasa ini semakin berkembang sehingga memungkinkan ditransformasikan ke sosiologi hukum dan sekaligus menyelidiki sosiologi nilai-nilai kerohanian secara bersifat lebih umum. Munculnya masalah sosiologi jiwa manusia demi kepentingan ilmu pengetahuan dan sosiologi etika, yang ternyata semakin membawa banyak kemajuan. Masalah sosiologi pengetahuan itu yang diangkat oleh Durkheim di Perancis maupun oleh filsuf pro Hegel, Wilhelm Dilthey di Jerman. Iklim intelektual dari filsafat pragmatis James dan Dewey mendukung perkembangan ilmu pengetahuan sosiologi ini. sosiologi ini mendapat bentuk yang nyata dalam karya-karya Max Scheler (versuch Einer Soziologie des Wissens, 1924) dan Karl Mannheim (Ideologie und Utopie, 1929, edisi bahasa Inggris dengan banyak perubahan, 1936); dan yang disebut terakhir ini telah mengkombinasikannya dengan pengaruh-pengaruh dari Weber dan Scheler. Perkembangan umum teori-teori nilai dewasa ini penting sekali bagi sosiologi moral. Digabungkan dengan gagasan tentang suatu pengalaman moral yang menempatkan unsur rohani kehidupan moral dengan pengkhususan-pengkhususannya yang tak terhingga ke dalam hubungan fungsional dengan tipe-tipe serta bentuk struktur sosial.
Perbincangan penting mengenai lambang-lambang sosial dan peranannya dalam kehidupan sosial dan jenis kumpulan pikiran keilmuan (noetic collective mentality), seperti terdapat dalam karya-karya Erns Cassirer (Philosophie der Symbolischen Formen, 3 jilid, 1925), Lucien Levy Bruhl (L’experience Mystique et les Simboles Chez les Primitifs, 1938), G.H. Mead (Self, Mind and Society, 1935), menegaskan dan memecahkan dengan caranya sendiri masalah-masalah asasi sosiologi  berkenaan dengan fungsi-fungsi kerohanian, yakni peranan yang dimainkan melalui perantaraan lambang-lambang antara tipe-tipe jalan pikiran sosial dan alam keilmuan. Suatu kecenderungan yang sangat berbeda dinyatakan oleh karya-karya pengarang seperti Sorel, Pareto, dan Thurman Arnold, yang melihat dalam lambang-lambang itu hanyalah khayalan-khayalan, mitos-nitos, dan berhal-hala pujaan, meskipun semuanya memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial.
Akhirnya, para penulis yang memandang sosiologi dari sudut pandang berbeda-beda, baik R.M. Mac Iver di satu pihak dan P. Sorikin di lain pihak, dan juga pakar filsafat E. Jordan yang berangat dari bidang dan pandangan yang berbeda, sama-sama menaruh minat besar kepada masalah umum perihal hubungan antara kenyataan sosial dan makan kerohanian.
Seluruh buku yang berkenaan dengannya dari karya-karya dan dari segala aliran-aliran harus dianalisis. Kita pun hatus membatasi diri merumuskan sekadarnya sosiologi jiwa manusia ini oleh karena semakin menarik perhatian ahli-ahli sosiologi dan filsuf-filsuf dewasa ini dan oleh kerena metodologi penyelidikan masalah-masalah sosiologi hukum nempaknya hanya memungkinkan bagi kita berdasarkan sosiologi akal budi manusia (noetic mind).

Sosiologi Jiwa Manusia dan Struktur Kenyataan Sosial
Pendekatan terbaik menghadapi masalah-masalah sosiologi akal budi (sosiologi jiwa manusia) dan menetapkan tempatnya yang tepat di antara disiplin-disiplin sosiologi, kelihatannya hanya melalui tingkat-tingkat atau di kedalaman analisis-analisis kenyataan sosial. Jenis analisis ini diilhami oleh metode inverse (Bergson) atau phenomenological reduction (Husserl), yaitu menurunkan yang seharusnya ada ke bawah melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan ke arah tingkatan yang mengalami langsung kenyataan sosial. Ternyata semua lapisan atau tingkatan dari kedalaman yang harus kita ketahui dan bedakan dalam kehidupan yang nyata saling berkaitan erat satu sama lainnya, saling mempengaruhi satu dengan lainnya secara menyeluruh.
1.    Pada permukaan dari kenyataan  sosial kita menemui benda-benda dari individu-individu yang dapat dilihat: dasar geografi dan demografi  masyarakat, dan juga bangunan-bangunan, alat-alat perhubungan, perkakas, bahan-bahan makanan, dan lain-lain.
2.    Jika kita masuk lebih lanjut ke dalam kenyataan sosial, kita akan temui aturan-aturan selanjutnya atau sepertinya mengorganisir superstruktur-superstruktur lainnya, yakni pola tingkah laku kolektif, menghierarkisasikan, memusatkan dan mencerminkan, berdasarkan kekakuan pola-pola yang ditetapkan sebelumnya.
3.    Dengan demikian kita sampai pada suatu tungkatan pola-pola dari berbagai jenis, dari gambaran-gambaran pola tingkah laku kelompok manusia yang telah ditetapkan sebelumnya. Pola-pola ini sebenarnya tidak perlu kaku dan ditetapkan sebelumnya. Pola-pola ini boleh luwes, mudah menyesuaikan diri, dapat berubah-ubah, yang merupakan hasil dari upacara-upacara dan tardisi-tardisi, yang boleh jadi melalui perbuatan sehari-hari dan meluas menjadi suatu mode yang mana pada umumnya mode-mode ini terus-menerus berubah-ubah. Haruslah ada juga garis pemisah yang tegas antara pola-pola non-simbolis.
4.    Di bawah alam dari berbagai pola itu, kita akan menemukan pola-pola tingkah laku kolektif yang tidak terorganisir. Jikalau pola tingkah laku ini dikendalikan oleh pola-pola, maka pola tingkah laku itu akan menerima sifat-sifat pola itu.
5.    Ini pembimbing kita kepada lapisan kenyataan sosial yang lebih dalam lagi, yaitu lambang-lambang sosial. Tanpa ini baik organisasi-organisasi maupun pola-pola kebudayaan bahkan pola tingkah laku kolektif yang dibimbing seperti pola-pola tidak akan mungkin ada. Lambang-lambang mengekspresikan pengertian-pengertian kerohanian yang sulit dirasakan, yang mengambil tempat antara rupa dan bendanya di dalam mereka sendiri (ansich). Lambang-lambang ini adalaj perantara di antara keduanya dan bergantung kepada keduanya. Lambang-lambang itu sekaligus menyatakan dan menyembunyikan, menyembunyikan sekaligus menyatakannya.
6.    Jika menyusup masuk lebih ke dalam lagi, maka  di bawah tingkatan lambang-lambang itu yang pertama sekali kita menemukan kebiasaan-kebiasaan bersama yang membawa pembaruan, menghancurkan pola-pola, dan menciptakan pola-pola baru. Kebiasaan-kebiasaan yang menciptakan pembaruan secara tidak terduga-duga ini teristimewa dapat dilihat dalam situasi bergolak: revolusi-revolusi, masa perubahan-perubahan yang hebat, pergolakan agama, perang dan lain-lain.
7.    Di bawah pola tingkah laku yang kreatif dan tidak  terduga-duga, dan juga di bawah pola tingkah laku yang dibimbing oleh lambang-lambang serta pola-pola kebudayaan, kita menemukan suatu alam nilai-nilai dan gagasan-gaagsan bersama, sebagai penggerak motif-motif, mengilhami, dan pada gilirannya merupakan dasar kerohanian bagi lambang-lambang. Sebagai contoh, mari kita perhatikan kebiasaan-kebiasaan khusus dari suatu suku biadab dan beberapa pola kebudayaan serta lambang-lambangnya yang khas: lambang-lambang, tarian-tarian, nyanyian-nyanyian, dan lain-lain.
Ruang lingkup wawasan kerohanian dapat dan seharusnya dibatasi secara sosiologis dan oleh karena itu selalu berbeda dar masa sosial ke masa sosial lainnya, dari satu struktur sosial ke struktur sosial lainnya, tanpa mempengaruhi sedikit pun obyektivitasnya serta sifatnya yang supr-temporal. Penyedilikan perihal proses pengkhususan nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian berdasarkan yang mampu dicakupnya, dengan memberikan definisi yang jelas kepada kerangka sosiologi akal budi keilmuan yang padanya penyelidikan pola-pola kebudayaan dan lambang-lambang merupakan suatu tahap mengarah pada jalan ke tujuannya yang terakhir.
8.     Nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian, dikhususkan dengan menunjuk kepada masa-masa dan struktur sosial, haruslah terpahami, teruji dan teralami. Asumsi ini mengakui adanya kumpulan kapasitas mental bercita tinggi mengarah sedemikian rupa ke arah nilai-nilai dan gagasan-gagasan, menerangi dirinya sendiri dengan nilai-nilai dan gagasan-gagasan dan melawannya juga dengannya. Deskripsi mengenai tingkatan di dalam kenyataan sosial memungkinkan sebagaimana penulis yakini dan merumuskan dengan tegas tujuan sosiologi jiwa manusia atau akal budi kerohanian: yakni pelajaran mengenai pola-pola sosial, lambang-lambang sosial, dan kumpulan nilai-nilai kerohanian serta gagasan-gagasannya di dalam hubungan fungsional dalam struktur sosial dan situasi-situasi sejarah konkret masyarakat. Unsur-unsur tersebut berpartisipasi dalam pembentukan kenyataan sosial, kadangkala mereka sekaligus diciptakan atau dapat dicapai melalui kenyataan sosial.
Karakter spesifik sosiologi jiwa manusia yang berbeda dengan seluruh disiplin sosiologi lainnya, mewujudkan dirinya secara nyata di dalam saling ketergantungan dengan filsafat. Pada kenyataannya, alam dari pengertian-pengertian kerohanian atau nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian dan juga penjelmaannya melalui lambang-lambang merupakan obyek penyelidikan filsafat dan sosiologi akal budi kerohanian. Di sinilah pertemuan antara filsafat dan sosiologi. Apakah keduanya bertemu sebagai kawan atau lawan, atau berdiri sendiri, saling tidak membutuhkan, atau saling berkompetisi atau saling bekerja sama mempengaruhi satu dengan lainnya? Tak pelak lagi hal ini sangat bergantung pada kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dalam filsafat dan sosiologi. Rasionalisme dogmatis, sensualist empirisme, dan bahkan kritisme, adalah filsafat-filsafat yang bertentangan dengan beberapa fungsi-fungsi sosiologi kerohanian sebagaimana halnya dengan naturalisme sosiologi, positivisme, behaviourisme, dan formalisme. Filsafat dan sosiologi jiwa manusia satu dengan lainnya dapat saling mengakui dan bekerja sama seandainya kecenderungan-kecenderungan ini disingkirkan. Salah satu jasa besar dari sosiologi jiwa manusia sebagai suatu fakta adalah ketegasannya menyingkirkan kecenderungan-kecenderungan ini. penyelidikan sosiologi terhadap alam kerohanian itu sendiri, menguji keabsahan secara obyektif nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian dan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhannya tidak terbatas dari jiwa yang menjelmakan diri di dalam kehidupan nyata dan yang diserahkan kepada filsafat menyelesaikan penyelidikan menyangkut jiwa manusia secara lebih terperinci berdasarkan sosiologi. Penyelidikan nilai-nilai dan gagasan-gagasan fungsi-fungsi dari struktur sosial dalam mana mereka muncul, dan tidak menimbulkan adanya pertanyaan mengenai keabsahannya yang obyektif atau ketelitiannya, kadang kala membutuhkan filsafat. Filsafat mengajarkan kepada sosiologi bagai mana membedakan lambang-lambang dari kandungan kerohanian yang dilambangkannya. Filsafat itu sendiri selalu dapat memberikan kepada sosiologi kriteria kekhususan, dengan menentang nilai-nilai dan gagasan-gagasan atas dasar logika sebagaimana ia membeda-bedakan moral, hukum, estetika, dan nilai-nilai keagamaan. Sesungguhnya adalah suatu ketidakmungkinan untuk mempelajari mempergunakan kriteria yang diperlengkapi oleh refleksi yang bersifat filsafati dan memungkinkan mengisolasinya dalam kenyataan dari kumpulan pola tingkah laku dan keadaan pola-pola tatanan hukum, moralitas, keagamaan, atau estetika. Demikianlah sosiologi jiwa manusia dan filsafat saling butuh-membutuhkan satu dengan lainnya. Tidak aka nada sosiologi ilmu pengetahuan tanpa adanya suatu teori dari ilmu pengetahuan dan sebaliknya. Tidak akan ada sosiologi keagamaan tanpa adanya filsafat keagamaan dan sebaliknya. Tidak aka nada sosiologi hukum tanpa filsafat hukum dan sebaliknya.
Tetapi bagaimana kita dapat menghindari suatu lingkaran yang tidak berujung pangkal? Satu-satunya hanyalah dengan mengakui adanya suatu kumpulan pengalaman secara langsung baik bersifat logis, hukum, estetika (cita rasa) atau keagamaan, suatu pengalaman integral yang meliputi data kerohanian dan rasa (indrawi). Di dalam usahanya yang terakhir, William James di Amerika Serikat, Bergson, Rauh, dan phenomenologist, Husserl dan Scheler di Eropa, telah menunjukkan jalan. Berbagai cabang sosiologi mengenai fungsi-fungsi kerohanian dan berbagai disiplin filsafat hanyalah merupakan berbagai cara penggunaan data veriabel secara meluas dan langsung, pada pengalaman bersama secara integral. Refleksi filsafat akan membawa lambang-lambang kepada pengalaman sedemikian itu, dan menetapkan kriteria yang spesifik dari berbagai atau pengalaman bersama langsung. Sosiologi jiwa manusia menyatakan betapa pentingnya aspek pengalaman kolektif ini bagi filsafat, dan melukiskan tiap-tiap lapangannya bagi tiap-tiap variasi data yang tidak terhingga itu, di dalam kekhususannya dan relasi fungsionalnya pada struktur-struktur sosialnya di mana mereka mewujudkan diri.

Definisi Hukum
Definisi hukum sangat banyak jumlahnya. Definisi-definisi yang diterapkan di antara para sarjana menggambarkan sistem-sistem yang berlaku di negara masing-masing dan sebagai akibat menggeneralisasikan teknik-teknik hukum secara khusus semata-mata pada situasi-situasi sosial yang konkret.
Sebagaimana dikemukakan oleh Dean Pound secara tepat, definisi-definisi ini masing-masing  dipengaruhi oleh suatu titik pandang yang khusus dari warga masyarakatnya, dari pada pengacara hukum, hakim, dan ahli hukum. Di samping itu fenomena hukum pada umumnya sangat kompleks, karena strukturnya antinomis. Di dalamnya hadir bersama-sama otonomi dan heteronomy, unsur-unsur ideal dan unsur-unsur riil, stabilitas, dan mobilitas, tata tertib dan ciptaan, kekuasaan dan sanksi hukum, kebutuhan sosial dan idaman-idaman sosial, pengalaman dan penyusunan, akhirnya, idaman-idaman logis dan nilai-nilai moral. Kekompleksan ini menciptakan banyak usaha yang sengaja diadakan untuk mengisolasi satu unsur agar dapat menetapkan definisi-definisi hukum secara sederhana yang terletak di atas keseluruhan unsur lainnya. Karenanya, di dalam kekhususannya, berbagai metafisis, transendal, normatif, psichologis, utilities, materialistis, dan definisi sosiologi hukum, secara keseluruhan, meskipun saling bertentangan secara menyolok, tersusun secara sewenang-wenang dan bersifat dogmatis, tanpa menaruh minat pada sudut papandang lainnya terkecuali dari sudut pandangnya yang bergantung pada pemikiran tertentu. Kita harus menambahkan sebagai fakta bahwa hukum dapat dinyatakan dari berbagai prosedur teknis, yang memainkan peranan yang sama sekali berbeda dalam berbagai sistem hukum dan berbagai moment dalam kehidupannya (adat, undang-undang, ketentuan-ketentuan yang mudah dihterapkan, ketetapan umum, dan istimewa pengadilan, presiden-presiden, persetujuan bersama, dan pernyataan bersama, misalnya penyelesaian langsung malalui lembaga yang berkepentingan).
Tidak ada satu pun dari definisi yang banyak ini diterima sebagai titik awal kebiasaan kerja sosiologi hukum, pun tidak bagi filsafat hukum.sepanjang yang telah dikemukakan sebelumnya, semua definisi ini merintangi jalan mempelajari sepenuhnya kenyataan sosial dari hukum, dalam semua tingkatan kedalamannya dan dalam berbagai macam tipe yang seakan-akan tidak terbatas. Kenyataan sosial hukum bukanlah fakta langsung bagi institusi dan bukan pula suatu persepsi rasa kepuasan, melainkan suatu susunan akal pikiran, disamping itu, terlepas sama sekali dari kenyataan sosial sebagai suatu fenomena yang total. Oleh karenanya, disiplin sosiologi harus segera mengadakan pembatasan fakta-fakta hukum dari fakta-fakta sosial, yang sama-sama ada hubungannya dengan nilai-nilai kerohanian, dan sekaligus menutupi pertaliannya dengan fakta-fakta hukum, yakni mora, keagamaan, estetika, dan yang mirip hukum. Di samping itu, titik tolak ini tidaklah lantas mengabaikan aspek-aspek hukum lainnya, tetapi justru menjadi inspirasi bagi nilai-nilai hukum dan merembes ke seluruh tingkatan dari kedalaman dan ke seluruh perwujudan dari hukum itu sendiri. Sampai di sini kita belum dapat membangun suatu analisis filsafat secara terperinci, yang dapat membawa kita keluar dari batas-batas pokok pembahasan kita, marilah kita rumuskan secara sederhana beberapa tesis dari hasil analisis ini.
1.    Pengalaman langsung dari hukum berupa tindakan –tindakan bersama yang diakui oleh nilai-nilai kerohanian sebagaimana yang dinyatakan, diwujudkan di dalam fakta-fakta sosial di mana mereka dinyatakan. Yakni perwujudan dan realisasi dari nilai-nilai berupa fakta-fakta yang merupakan data teramatbesar dari pengalaman hukum. Tindakan pengakuan berupa fakta-fakta yang menyatakan nilai-nilai agaknya berbeda dari nilai-nilai partisipasi langsung. Misalnya, seseorang yang tidak cukup mengerti member penilain akan keindahan suatu simponi, tetapi di sini setidak-tidaknya harus dicegah perasaan tidak senang para pendengar yang terganggu ketegangannya oleh tindakan si pengganggu. Pengganggu itu dapat dianggap telah melakukan tindakan melawan keadailan, yakni tindakan bertentangan dengan nilai-nilai hukum.
2.    Keadilan atau nilai-nilai hukum adalah unsur-unsur yang paling mudah berubah-ubah diantara keseluruhan perwujudan rohani, sebab keduanya secara serentak mengubah fungsinya: (a) variasinya dalam nilai-nilai dari pengalaman, (b) variasinya dalam gagasan-gagasan logis dari pengalaman dan penggambaran-penggambaran intelektualannya, (c) variasinya dalam hubungan timbal balik diantara kemauan emosional drai pengalaman dan pengalaman intelektual, (d) variasinya dalam hubungan diantara pengalaman dari data keindraan. Itulah sebabnya mempertegas hukum sebagai suatu usaha mewujudkan keadilan dalam suatu milleu sosial tidaklah berbahaya, seandainya memperhitungkan sikap yang mudah berubah-ubah dari aspek-aspek hukum itu sendiri.
3.    Tanda-tanda spesifik hukum, dari yang jural atau legal mengalir dari sifat-sifat kekarakteristikan pengalaman hukum langsung dan keadilan sebagaimana diterangkan sebelumnya. Hukum atau pengaturan hukum atau pengawasan sosial yang legal (berdasarkan atas hukum) berbeda dari jenis pengaturan sosial atau pegawasan lainnya (kemoralan, keagamaan, keestetikaan, atau kependidikan) jika berdasarkan pada kekarakteristikannya.
a.       Karakter bersifat penentu dan terbatasnya perintah-perintah hukum versus karakter bersifat tidak terbatas dan tidak terhingga dari perintah-perintah (ketentuan-ketentuan) lainnya, pada khususnya ketetapan mengindividualkan moral (atau memberlakukan moral pada pola tingkah laku per individu, penerjemah) berdasarkan pada urgensinya. Sebagai contoh, ketentuan, “Engkau tidak boleh membunuh”, lain maknanya didalam hukum dan moral. Dalam hukum, terdapat kasus di mana seseorang dapat melakukannya, pada kasus lainnya seseorang dibenarkan harus membunuh (dalam hal mempertahankan diri, perang, melaksanakan hukuman mati, dan lain-lain). Di dalam moral, terdapat larangn untuk tidak memasukkannya ke dalam kasus ini, tetapi untuk setiap tindakan yang secara tidak langsung dapat menimbulkan kematian, dari adanya penolakan untuk dapat dibantu dari dalam keadaan membahayakan yang dapat mempersingkat kehidupan seseorang, walaupun yang memohon dengan perkataan yang menyakitkan.
b.      Bilateral atau lebih tepatlagi karakter multilateral, merupakan suatu struktur atribut-amperative sebagai lawan kata karakter bersifat khusus unilateral-imparetive dari keseluruhan tipe-tipe pengaturan lainnya. Struktur atribut imperative dari keseluruhan perwujudan hukum terdiri atas suatu hubungan yang tidak terpecahkan diantara beberapa kewajiban-kewajiban dan tuntutan-tuntutan lainnya.
c.       Kemutlakan adanya “jaminan sosial” dari kefektifan hukum akan memberikan kepastian bagi suatu persesuain yang riil diantara tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban yang sekaligus akan memperlihatkan dirinya seandainya dibutuhkan oleh keseluruhan hukum untuk menjadi hukum positif yakni untuk mendapatkan keabsahan fakta-fakta normatif.
d.       Tidak perlu diwajibkan melaksanakan paksaan lahiriah secara saksama, namun hukum tetap mengakui ada kemungkinannya harus diiringi dengan paksaan, sedangkan perintah agama serta pendidikan menyediakan kemungkinan eksekusi dengan cara yang saksama atau detentukan. Ini adalah konsekuensi dari sifat hukum yang tertentu, terbatas, dan atribut imperative yang multilateral.
e.       Demikianlah kita sampai kepada definisi hukum: “hukum melambangkan suatu usaha untuk mendapatkan suatu gagasan mengenai keadilan dalam lingkungan sosial (yakni, suatu usaha pendahuluan, dan pada hakikatnya berupa variable perdamaian dari pertentangan nilai-nilai kerohanian yang terwujud dalam suatu sistem sosial), melaui atribut imperative yang multilateral berdasar perkaitannya yang sangat menentukan diantara tututan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban; peraturan ini mendapatkan keabsahan dari fakta-fakta normative yang akan memberikannya kefektifan dari suatu jaminan sosial. Dan bagaimana pun juga eksekusi itu harus memenuhi syarat-syarat paksaan lahiriah melalui cara yang saksama, tetapi tidak selamanya peraturan perlu mensyaratkannya.
f.       Boleh jadi pertanyaan yang timbul apa yang harus kita perbuat dengan peraturan-peraturan sosial yang lainnyadisamping hukum, moral-moral, hukum agama, estetika dan pendidikan, seperti halnya adat kebiasaan, tata cara, upacara-upacara sosial, konfensi-konfensi, rasa hormat, adat kesopanan, dan akhirnya adat istiadat. Jawabannya adalah peraturan-peraturan selain hukum ini terkategori berdiri sendiri adalah merupakan hasil dari kekacauan dengan adanya para sarjana berupaya mempertahankannya. Adat istiadat bukanlah peraturan-peraturan yang khusus tetapi semata-mata suatu metode yang khusus untuk mengakui berbagai peraturan-peraturan yang kita nyatakan sebelumnya.

Definisi Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia yang menelaah sepenuhnya realitas sosial hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan lahiriah, di dalam kebiasaan-kebiasan kolektif yang efektif (organisasi-organisasi yang baku, adat istiadat sehari-hari dan tardisi-tradisi atau kebiasaan inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur keruangan dan kepadatan lembaga-lembaga hukumnya secara demografis). Sosiologi hukum menafsirkan kebiasaan-kebiasaan ini dan perwujudan-perwujudan materi hukum berdasarkan pengertian intinya, pada saat mengilhami dan meresapi mereka, pada saat bersamaan mengubah  sebagian dari antara mereka (kebiasaan dan perwujudan materi hukum). Sosiologi hukum  memulai khususnya dari pola-pola pelambang hukum tertentu sebelumnya, seperti mengorganisasi hukum, prosedur-prosedur, dan sanksi-sanksinya, sampai pada simbol-simbol hukum yang sesuai, seperti kefleksibelan peraturan-peraturan dan kespontanan hukum. Dari yang tersebut terakhir ini sosiologi hukum beralih ke nilai-nilai dan gagasan-gagasan hukum di mana mereka menyatakannya, dan akhirnya ke keyakinan bersama serta lembaga-lembaga yang menginginkan nilai-nilai ini dan mencakup gagasan-gagasan ini, dan yang mewujudkan diri mereka dalam kespontanan “fakta-fakta normatif”, sumber keabsahan, yakni kepositifan keseluruhan hukum.
Jurisprudensi atau “ajaran tentang hukum positif”, hanyan dapat mengakkan suatu sistem tersusun secara logis dari pola-pola dan simbol-simbol normatif (boleh jadi kaku atau fleksibel), abash bagi pengalaman kelompok tertentu pada suatu periode tertentu dan bertujuan untuk memudahkan pekerjaan bagi pengadilan-pengadilan. Tetapi sosiologi hukm membayangkan variasi pengalaman keseluruhan masyarakat dan kelompok-kelompok sepertinya tidak terbatas, menggambarkan kadarnya yang konkret dari tiap-tiap tipe pengalaman (keluasan sebagaimana mereka ekspresikan dalam fenomena yang terlihat dari lahiriahnya), dan mengungkapkan sepenuhnya realita hukum yang mana pola-pola dan simbol-simbolnya menyelubungi lebih banyak dari yang mereka jelaskan.
Kita mesti membedakan dan memperjals secara terpisah dan ini kerap diabaikan Tiga problem-problem sosiologi hukum yang satu berbeda dengan lainnya: (1) Problem sistematik sosiologi hukum: penelaahan manifestasi hukum sebagai fungsi dari bentuk-bentuk kemasyarakatan dan dari tingkatan-tingkatan kenyataan sosial. Problem ini dapat dipecahkan hanya berdasarkan apa yang kita sebut dengan mikro sosiologi hukum. (2) Problem-problem sosiologi hukum diferensial: menelaah manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi dari unit-unit kolektif yang real dimana pemecahannya terdapat pada tipologi hukum dari kelompok-kelompok tertentu serta masyarakat menyeluruh. (3) Problem-problem sosiologi hukum genetis, yang dianalisis dengan menggunakan mikrobiologis yang dinamis. Menelaah keteraturan-keteraturan sebagai suatu kecenderungan dan faktor-faktor dari perubahan, perkembangannya, serta keruntuhan suatu hukum di dalam suatu masyarakat tertentu.
Perbedaan antara sosiologi hukum sistematis atau mikrososiologi diferensial atau typologis dan sosiologi hukum genetis memungkinkan dihindarkan dari serentetan kekacauan-kekacaun dan menghapuskan dari bidang ini pertikain-pertikaian antara mashab-mashab yang sering timbul semata-mata karena adanya salah pengertian menurut keyakinan kita sosiologi hukumtidak dapat berhasil jika tidak memperhatikan tiga sekaligus lapangan-lapangan yang telah dibatasi dengan jelas dan cermat: mikrososiologi hukum, tipologi hukum diferensial dari kelompok-kelompok dan semua masyarakat yang menyeluruh, dan sosiologi hukum genetis. Sosiologi itu pun harus serentak memperhatikan perlunya otonomi dan kerja sama yang erat diantara ketiga cabang itu, demikian pula hubungan hierarkinya, karena mikrososiologi hukum harus ada bersama-sama dengan dua cabang lainnya, dan sosiologi hukum genetis bersandar pada sosiologi hukum genetis condong kepada sosiologi hukum berdasarkan diferensial atau sosiologi hukum berdasarkan tipologi. Sebelum memulai dengan pengutaraan secara sistematis masalah-masalah pokok sosiologi hukum, yang sekarang kita berikan invertarisnya, maka ada gunanya berhenti sejenak untuk suatu pengutaraan kritis dari konsepsi-konsepsi para peletak-peletak dasar yang terkemuka dari sosiologi hukum dewasa ini.

PELETAK DASAR SOSIOLOGI HUKUM

Di Eropa

1.    Durkheim
Uraian sebelumnya telah memberi beberapa petunjuk umum tentang tempat sosiologi hukum dalam sosiologi Durkheim. Di sini akan diberikan ikhtisar yang konkret dari sosiologi hukum Durkheim. Kecuali dua karyanya yang di dalamnya ia membahas masalah-masalah hukum De la division du travail social (1893, terjemahan bahasa Inggris, 1915) dan Deux lois de l’evolution penale (dalam Annee Sociologique, vol IV, 1900), maka semua karyanya termasuk catatan penting yang diterbitkan dalam  Annee Sociologique (yang sepertinya dikhususkan bagi sosiologi hukum), banyak jasanya dalam menjelaskan dan menerangkan lapangan ini.tiap-tiap analisis-analisis yang sungguh-sungguh dari telaahnya menunjukkan tanpa ragu-ragu bahwa ia sama sekali tak mempersahajakan sosiologi hukum menjadi suatu ilmu yang semata-mata masalah-masalah genetis. Pada hakikatnya, ia banyak jasanya dalam perkembangan sosiologi hukum yang sistematis (dengan menelaah hubungan antara tipe-tipe hukum dan masyarakat-masyarakat yang serba meliputi). Hanya karena ini percaya bahwa ia harus menghubungkan kedua lapangan penyelidikan ini dengan telaah tentang perkerabatan di seluruh masyarakat archais yang dianggap sebagai kunci untuk menerangkan segala evolusi, maka sosiologi hukum genetisnya menjadi dasar dari kesimpulna-kesimpulan yang diperolehnya.
Durkheim dalam karyanya yang berjudul Division du Travail Social (1893): masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “Lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum.” Dan sebaliknya, suatu klasifikasi objektif dari jenis-jenis hukum, suatu klasifikasi yang berlaku bagi penyelidikan sosiologis, hanya dapat dilaksanakan melalui suatu klasifikasi dari bentuk-bentuk kesetiakawanan; pada hakikatnya, perbedaan antara hukkum internasional dan hukum privat yang diakui di kalangan kaum sarjana hukum hanya mengandung tujuan-tujuan praktis dan hanya menunjukkan hukum yang diberi atau tak diberi hak istimewa oleh Negara, yang dalam hal ini kecenderungannya sangat berubah-ubah. Hukum privat sering meliputi pula struktur-struktur hukum yang sangat mirip dengan struktur yang tersimpul dalam hukum internasional (misalnya, hukum keluarga atau hukum serikat buruh yang tabiatnya tidak berbeda dari hukum konstitusional). Negara sendiri tidak berada dalam segala masa dari kehidupan social dan tak pula negara itu semenjak lahirnya memainkan peranan yang sama. Demikianlah, sosiologi hukum itu harus membedakan antara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama yang derlu diadakan adalah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan karena perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis adalah hukum pidana; yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga, kontrak dan dagang, hukum prosedur, hukum admisnistratif dan konstitusionil. Semua hukum yang dapat dirumuskan sebagai peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi terorganisasi adalah berlawanan dengan peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi yang bertebaran (rules with diffused sanctions) yang menjadi ciri khas dari moralitet. Demikianlah dua tipe pokok pengaturan hukum, yang parallel dengan dua tipe kesetiakawanan yang berlawanan dijelmakan dalam dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang berlain-lainan: hukum yang tibul dari kesetiakawanan yang mekanis diiringi dengan sanksi-sanksi yang sifatnya mengekang dan hukum yang timbul dari kesetiakawanan organis diiringi oleh sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi yang sifatnya mengekang (represive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan lain-lain atau semata-mata berdiri dari pemulihan benda-benda seperti sediakal, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadaan yang normal, baik dengan membatalkannya, yakni menghapuskan segala nilai sosialnya.
Durkheim mendapatkan bukti bagi adanya persesuaian antara hukum yang mengekang dan kesetiakawanan mekanis, antara hukum yang memulihkan dan kesetiakawanan organis. Sesungguhnyalah, sanksi-sanksi represif dan hukum pidana yang mengiringinya melindungi persamaan-persamaan social yang paling hakiki. Kejahatan yang dikekang adalah perpecahan dari kesetiakawanan mekanis, suatu penghinaan terhadap kesadaran kolektif dan terhadap suatu idaman kolektif yang identik pada semua orang. Semakin berkuasa kesetiakawanan mekanis dalam suatu masyarakat dan semakin terintegrasinya individu dalam masyarakat yang homogeny tanpa ada perantaraan apa pun juga maka kaum represif makin pula lebih berkuasa daripada hukum restitutif (yang bersifat memulihkan). Sebaliknya, sanksi-sanksi yang bersifat memulihkan melindungi differensiasi masyarakat dalam fungsi-fungsi yang khusus, dalam kelompok-kelompok kecil, dalam kegiatan-kegiatan pribadi yang diindividualisasikan. Hukum restitutif menjamin pembagian bebas kerja social, yang sendirinya merupakan suatu akibat: “diasosiasikan dengan idaman kolektif yang lebih luwes yang membolehkan pengkhususan”.
Suatu analisis yang lebih terperinci menyebabkan Durkheim mengadakan tipe-tipe lainnya di dalam dua tipe utama dari peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk kesetiakawanan ini. Dengan demikian, Durkheim membedakan dua tipe utama dari peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk kesetiakawanan, di dalam hukum restitutif, Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusional, dan lainnya). Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya bersifat kontrak dan bahwa sering kerja sama kita yang bersifat sukarela menciptakan kewajiban-kewajiban yang tak diinginkan, yakni ada timbul di bawah bentuk kontrak hukum yang diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok yang tidak dapat dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang semenjak Durkheim dinamakan actes-regles (undang-undang yang mengatur) atau “contracts of adhesion”. Demikian pula, menurut Durkheim kesetiakawanan organisasi seolah-olah runtuh menjadi apa yang dinamakannya sendiri kesetiakawanan kontrak atau kesetiakawanan yang membatasi dan kesetiakawanan yang lebih erat dan lebih positif yang boleh dianggap sebagai kesetiakawanan karena saling masuk memasuki atau setengah peleburan. Sementara itu, ia berpendapat bahwa hukum restitutif meliputi pula suatu hukum yang semata-mata bersifat negatif yang sama dengan semata-mata pengingkaran (seperti hukum yang nyata) yang seolah-olah tidak ada persesuaiannya dengan tipa kesetiakawanan yang mana pun juga dan hukum kerja positif, yang satu-satunya melambangkan kesetiakawanan organis yang terpecah menjadi dua tipe lainnya yang baru tersebut tadi.
Durkheim tetap berpendapat bahwa makin archis suatu masyarakat makin represif atau mengekang sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat, semakin tinggi tingkat perkembangan suatu masyarakat semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan. Sebaliknya, Hukum Luh Dua Belas (The Law of the Twelve Tables) berkenaan dengan masyarakat yang jauh lebih tinggi taraf perkembangannya dan karena itu berdasarkan sanksi-sanksi yang jauh lebih lunak, apabila di situ terdapat pembatasan-pembatasan hukuman dengan adanya sanksi-sanksi yang bersifat pemulihan (restitutif). Dengan membandingkan kodifikasi pertama dari adat istiadat yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat Kristen (hukum salik, hukum Gothik Barat dan Burgondia dan lain-lainnya) dengan hukum Abad Pertengahan dan yang tersebut akhir ini dengan hukum-hukum Zaman Baru, maka keadaannya adalah sebagai berikut: hukuman-hukuman semakin ringan dan sanksi-sanksi yang bersifat mengekang menindas (respresif).
Sementara itu perkembangan parallel dari kontrak (perjanjian) dan negara, reaksi penguasaan secara progresif dari kesetiakawanan organis, menurut Durkheim mendatangkan kesamarataan, kemerdekaan dan keadilan di lapangan hukum dan melenyapkan penguasaan, yang digantikan dengan kerja sama.
Anggota masyarakat tidak lagi dianggap benda-benda yang dikuasai oleh masyarakat tetapi sebagai pihak yang bekerja sama dengannya, yang tak dapat diabaikan begitu saja dan terhadapnya mesyarakat mempunyai kewajiban-kewajiban.
Durkheim percaya dengan Saint Simon, bahwa negara semakin mengatur dan semakin kurang memerintah, dan bahwa sahnya fungsi-fungsi administratifnya yang bertambah luas hanya memerlukan sanksi-sanksi restitutif dan bukan represif.  Berubahnya negara menjadi masyarakat berdasarkan kerja sama dan persamaan, yang menguntungkan perlipat-gandaan hubungan-hubungan kontraknya dan peneguhan hukum individual, baginya adalah penjelmaan yang paling jelas dari faedah-faedah kesetiakawanan organis, yang secara progresif menghapuskan kesetiakawanan yang bersifat mekanis.
Dalam penyelidikan yang kemudian, Durkheim agak kurang optimis terhadap evolusi hukum. Bahkan dalam kerjanya Deux lois de l’evolution penale (1900), ia memisahkan negara dari setiap ikatan yang perlu dengan kesetiakawanan organis dan menegaskan peranannya yang merdeka sebagai suatu faktor dalam evolusi hukuman-hukuman selama masih berdasarkan penguasaan.
 Dalam kerjanya Suicide (1897) dan dalam kata pendahuluan dari edisi kedua dari karyanya Division, Durkheim lebih jauh lagi dalam membetulkan tesis aslinya, dengan menegaskan fakta bahwa kuatnya kedudukan negara, jauh dari selalu merupakan akibat dari bertambah intensifnya hubungan social oleh perkembangan kesetiakawanan organis, sebaliknyadapat merupakan satu akibat dari terlepasnya hubungan social, disintegrasikan yang menimbulkan penguasaan secara sepihak. Dengan tegasnya ia menguraikan jurang  yang tercipta antara negara yang dipusatkan kekuasaannya dari abad ke-18 dan abad ke-19 dan masa warga negara yang tak mempunyai korporasi perantaraan dan yang berubah menjadi debo atom; ia menganggap jurang ini sebagai salah satu faktor yang menambah jumlah peristiwa bunuh diri. Ia menunjukkan pula bahwa perkembangan tentara-tentara modern, bersama dengan disintegrasi kehidupan ekonomi, banyak membatasi kekuasaan kesetiakawanan organis, satu hal yang menimbulkan situasi sangat mirip dengan kesetiakawanan mekanis. Karena itu tidak mengherankan bila pengganti Durkheim yang paling cakap, Marcel Mauss, menuliskan sebagai berikut:
Masalah ini lebih kompleks lagi. Pertama, dalam beberapa hal tertentu, individualism telah membawa masyarakat-masyarakat kita sendiri kepada amorfisme yang sungguh-sungguh. Durkheim sering membicarakan kekosongan yang hampir-hampir bersifat pathologis antara moralitet dan hukum kita, antara negara dan keluarga, antara negara dan individu. Ada sesuatu yang bersifat mekanis dalam gagasan kita tentang persamaan malahan. Sebaliknya, banyak terdapat sifat organis dalam…….masyarakat-masyarakat archais.
Durkheim menimbulkan masalah sosiologi hukum diferensial dengan mengadakan suatu klasifikasi tipe-tipe social yang nilainya berbeda satu sma lainnya dan menelaah sistem-sistem hukum yang bersesuaian dengan tipie-tipe  ini. Sudah tentu di sini ia berundan dengan tipehukum dari masyarakat-masyarakat yang meliputi segala-galanya, berbeda dengan mikrososiologi hukum, yang ditelaah dalam Division du Travail, semula ini mengira dapat mengemukakan suatu tipe dan struktur dari masyarakat yang meliputi segala-galanya (all-inclusive society) yang sama sekali identik dengan kesetakawanan mekanis dan mempunyai suatu sistem hukum yang seluruhnya bersesuaian dengan hukum represif: ini adalah “horde” atau masyarakat yang tak terbagi-bagi. Durkheim menganggap horde itu dapat menggabungkannya dengan dirinya sendiri dalam melahirkan masyarakat-masyarakat baru, dan cara-cara yang dengannya masyarakat-masyarakat baru dapat bergabung. Demikianlah, Durkheim membeda-bedakan tipe masyarakat: (1) Tipe masyarakat bersahajanya yang berbidang-bidang yang terbentuk dari clan-clan (horde yang diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat di antara bangsa Australia dan Inroquoi; (2) Tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun secara sederhana, yang dalamnya terlebur banyak suku, misalnya konfederasi Iroquoi atau Kabyle; (3) Tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun rangkap seperti kota-kota, uni dari konfederasi-konfederasi, suku-suku (misalnya Curiae Romawi). Dalam masyarkat ini, individu-individu diintegrasikan dalam kelompok-kelompok, bukan oleh hubungan-hubungan berdasarkan keturunan, tetapi oleh  sifat khusus aktivitet sosial mereka. Tipe keempat ini ternyata yang terluas dan dilihat dari sudut mutunya paling berbeda dari yang lain-lainnya; dalam keseluruhannya, tipe ini bersesuaian dengan setiap masyarakat yang sudah jauh perkembangannya.
Dalam penyelidikannya terhadap tipe-tipe sosial yang berbeda nilainya dan sistem-sistem hukum yang bersesuaian dengan itu, Durkheim hendak membebaskan dirinya dari prasangka-prasangka evolutionisme ekagaris (unilinear evolutionisme), dengan mendiferensiasikan tipologi hukum dari masyarakat-masyarakat yang serba meliputi dari sosiologi hukum genetis. Pada hakikatnya, ia menulis, bahwa jikalau hanya ada satu tipe sosial, masyarakat dapat berbeda satu sama lain hanya secara lambat-laun. Jikalau sebaliknya ada tipe-tipe sosial yang berbeda mutunya, tak ada usaha menjajarkannya yang dapat membuatnya saling bersesuaian secara eksak bagaikan bagian-bagian homogeny dari suatu garis geometris yang lurus. Demikianlah, pertumbuhan sejarah tidak memiliki lagi kesatuan yang diidamkan dan bersahaja yang dahulu dianggap memilikinya; boleh dikatakan, bahwa kesatuan itu pecah dalam fragmen banyak, yang karena secara khusus berbeda satu sama lain, tak pernah dapat digabungkan dalam suatu garis yang tak terpututs-putus. Jikalau kita memeriksa lebih cermat tipe-tipe sosial Durkheim, ternyata bahwa sesungguhnya dalam mikrososiologi hukumnya ia mampu menhapuskan kekuasaan pertimbangan-pertimbangan genetis, dan akhirnya,prasangka tentang kelestarian perkembangan yang ekagaris. Pada hakikatnya di luar dua tipe utamanya yang satu luar biasa luasnya dan yang lainnya luar biasa pendeknya “masyarakat berbidang-bidang” dan “masyarakat terorganisasi”, semua tipe lainnya yang diciptakan seluruhnya bersifat kuantitatif (pengumpulan segmen-segmen) dan tidak kualitatif. Sebagaimana ia katakan sendiri  bahwa tipe-tipe itu merupakan suatu hierarki taraf-taraf perkembangan (a Hierarcy of phases of development). Dengan demikian  sosiologi hukum yang belum kuat dasarnya, tenggelam dalam kesimpulan-kesimpulan umum yang tergesa-gesa dari osiologi genetisnya zaman dahulu, yang kekeliruannya diambil alih oleh Durkheim dalam tipologinya: identifikasi “yang bersahaja” (atau elementer) dan yang primitif.
Haruslah ditambahkan bahwa Durkheim, yang sendirinya tak puas dengan klasifikai tipe-tipe sosialnya yang pertama, yang dianggapnya terlalu bersifat kuantitatif dan genetis, membuat beberapa pembentulan yang terpokok dalam I’Annee Seciologique (1910, vol XI; 1913, vo XII). Disini ia membedakan: (1) Masyarakat yang tersusun dari klan-klan totem (tipe Australia); (2) Masyarakat-masyarakat yang didiferensiasikan berdasarkan klan-klan totem yang untuk sebagian berpengaruh (bangsa Indian Amerika Utara; di sini diferensiasinya berupa sistem kelas-kelas yang sedikit banyaknya bercorak agama, orde-orde militer, golongan-golongan paderi, berbagai alat kekuasaan sosial); (3) Masyarakat-masyarakat kesukuan dari turunan laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan kelompok-kelompok sosial (masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintah pusat yang tetap (Negrito, Sudan, Bantu, dan lainnya); (4) Masyarakat-masyarakat nasional (bangsa-bangsa, yang dalamnya terdapat berbagai tipe).
Masalah-masalah sosiologi hukum genetis yang sebenarnya (yakni faktor-faktor yang menguasai perubahan hukum) memenuhi perhatian Durkheim dalam dua segi: pertama, faktor morfologis dan khususnya demografis (jumlah dan kepadatan penduduk) dan kedua, faktor keagamaan atau lebih tepat: pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang keramat (termasuk didalamnya pula, menurut Durkheim, Magi lepas dari Agama). Durkheim melihat adanya hubungan-hubungan antara kedua faktor ini, yang satu tak langsung karena kepadatan materiil tak dapat dilepaskan dari kepadatan moril, yang lain bersifat langsung dengan taraf-taraf kesadaran kolektif, yang ragam-ragamnya ialah dasar perubahan lembaga-lembaga hukum. Menjelang akhir karier Durkheim, pernyataan ini menyebabkan dia sampai kepada kesimpulan yang penting bahwa hukum, sebagaimana dengan agama, moral, estetika dan segala fenomena sosial yang asasi merupakan sistem-sistem nilai-nilai yang timbul dari cita-cita kolektif. Ragam-ragam dari cita kesadaran kolektif ini merupakan dasar bagi gerak lembaga-lembaga hukum karena masyarakat tak menciptakan atau menciptakan kembali dirinya, tanpa sementara itu pula menciptakan suatu cita dan dengan ecara periodik membuat dan mengubah dirinya sendiri. (Philosophie et Sociologie, 1924; Formes Elementaires de la Cle Religieuse, 1912).
Durkheim memakaikan pandangan-pandangan umum tentang perkembangan hukum hanya kepada satu tipe masyarakat: tipe yang tersusun dari klan-klan totem. Pembatasan ini adalah kekuatan besar dari sosiologi hukum genetisnya, karena sosiologi hukum ini mungkin, jikalau kita telah mengulanginya berkali-kali, hanya di dalam suatu rangka kualitatif, karena berbagai faktor perubahan digabungkan di dalam tiap-tiap tipe dengan cara yang tak beraturan.
 Pengaruh perubahan lembaga-lembaga hukum yang terjadi melalui keanekaragaman kepercayaan pada kesakralan, dibahas oleh Durkheim hanya dalam hubungannya dengan klan totem dan masyarakat kesukuan. Karena hukum pada hakikatnya berhubungan erat dengan larangan-larangan agama, apabila melanggar menimbulkan celaan atau kutukan sosial, maka hukum itu pun menjadi semakin luwes dan member keleluasaan bagi inisiatif perseorangan, apabila larangan-larangan magis yang pelanggarannya hanya menimbulkan akibat-akibat teknis, mulai bersaingan dengan tabu-tabu dan mambatasi kekuasaan tabu-tabu keagamaan. Kekuasaan “Mana” yang bersifat keagamaan itu digeneralisasikan, dan akibatnyya ia akan melahirkan agama kesukuan pada satu pihak dan magi kesukuan pada lain pihak.
Diferensiasi hukum kolektif dari hukum individual berjalan parallel dengan diferensiasi antara agama dan magi. Agama bercorak sosial rangkap: berdasarkan isi, kekeramatan, yang hanya merupakan suatu proyeksi dari keluhuran masyarakat dan berdasarkan prakteknya, yang selalui bersifat kolektif dan yang mensyaratkan adanya gereja. Sebaliknya, magi, yang lahir dari agama yang kemudian bertentangan dengan agama, hanya isinya bersifat sosial, Mana; dalam prakteknya jauh lebih individualistis dan terpecah-belah. Magi menyebabkan terpisahnya si juru magi dari kelompok, dengan adanya persetujuan baginya mempergunakan dan menyalahgunakan Mana berdasarkan kehendak sendiri dan untuk tujuan sendiri. Hukum kolektif, yang terkait dengan agama, dengan demikian dibatasi oleh hukum individual, yang ada hubungannya dengan magi. Paul Huvelin, murid Durkheim, mengembangkan secara luas gagasan ini, sehingga merumuskan magi yang ada peraturannya terhadap hukum “sebagai penyimpangan kekuasaan yang timbul dari kekeramatan oleh orang yang mempergunakannya untuk kepentingannya sendiri.”
Dalam mengakhiri pemaparan sosiologi hukum Durkheim ini haruslah dicatat bahwa penyelidikannya terhadap faktor agama dan magi dalam masyarakat primitif, Durkheim mengklasifikasikan dua jenis hukum yakni hukum kolektif dan hukum individual. Klasifikasi ini tidak secara eksak bersesuaian dengan pertentangan antara hukum represif dan tipe-tipe hukum lainnya (hukum domestik, hukum kontrak, konstitusional), yang berdasarkan dua kesetiakawanan; karena teranglah bahwa beberapa jenis “hukum restitutif” (misalnya, hukum-hukum domestik, dan konstitusional,  hukum prosedur dan lainnya) menjelma dari “hukum kolektif” dan yang lainnya (misalnya hukum kontrak) timbul dari “hukum individual”. Catatan-catatan Durkheim yang pertama, yang telah diadakan perubahan berdasarkan perbedaannya, di dalam hukum restitutif, antara hukum kontrak dan hukum di luar kontrak, selanjutnya menjadi ruwet karena dibelit dengan suatu klasifikasi yang berdasarkan satu kriterium baru.
Kita telah mencoba mengutarakan betapa banyaknya isi dan luas usaha Durkheim dan sementara itu mengkritik caranya mempersahajakan mikrososiologi hukum dan tipologi sehingga merupakan suatu ilmu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan genetis semata. Setelah dengan kemampuan luar biasa mengemukakan masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis hukum. Durkheim terhalang mencapai hasil-hasil yang definitive karena tiga faktor: klasifikasinya mengenai bentuk-bentuk hubungan sosial terlalu bersahaja; perhubungan yang diciptakannya antara hukum dan paksaan yang terorganisasi sangat diragukan kebenarannya; akhirnya hukum bukanlah lambing dari segala bentuk hubungan sosial, tetapi hanya lambing dari beberapa bentuk tertentu, yang bersesuaian dengan kondisi-kondisi yang tepat, karena bentuk-bentuk hubungan sosial ternyata dapat seteril dilihat dari sudut hukum.
Kesamaan dan ketidaksamaan jelas maupun tidak jelas, mungkin sekali menunjukkan adanya pembenaran atau pengingkaran identitas-identitas atau hanya ekuivalen-ekuivalen, mungkin juga terkadang berhubungan dengan seluruh subjek-subjek, atau terkadang dengan beberapa aspirasi-aspirasi tertentu, bahkan terkadang dengan nilai-nilai dan objek-objek yang melaluinya hubungan diselenggarakan antara subjek-subjek. Akhirnya, kita tidak akan mendapatkan bentuk-bentuk hubungan sosial atau kesetiakawanan yang tidak sekaligus tersimpul di dalamnya beberapa persamaan dan perbedaan tertentu. Dalam hubungan ini, hanya “kesetiakawanan organis” itulah yang nyata, dan disitulah harus dicari adanya berbagai bentuk hubungan sosial. Durkheim sendiri akhirnya mengakui kenyataan ini, meski pun ia tidak menarik kesimpulan apa-apa.
Hubungan antara hukum dan paksaan yang terorganisasi menghapuskan salah satu yang terpenting dari kenyataan sosial, dan sektor itu teramat penting bagi sosiologi: hukum yang spontan, dinamis, yang selalu  berubah-ubah, sumber yang member hidup kepada hukum yang terorganisasi, yang dengannya ia selalu menyimpulkan hukum yang spontan ini, yang menjadi dasar organisasi. Yang dengannya ia selalu bersengketa. Setiap organisasi yang bertugas untuk memaksa selalu menyimpulkan hukum yang spontan ini, yang menjadi dasar organisasi dan semua hukum yang diperlengkapi dengan sanksi-sanksi, bahkan sanksi-sanksi yang terbagi-bagi (namun, tidak sebagaimana anggapan Durkheim, tetap merupakan hukum : seperti sanksi-sanksi peraturan-peraturan yang bersanksikan boikot atau balas dendam berdarah, dan lainnya) akhirnya berdasarkan suatu hukum yang tidak bersanksi yang menjadi dari sanksi-sanksi hukum. Jikalau semua hukum itu memang menjamin secara sosial, dan kefektifan hukum yang sungguh-sungguh dubenarkan oleh reaksi-reaksi yang mengandung celaan, maka jaminan sosial ini adalah jauh berlainan dari paksaan hukum, yakni tindakan-tindakan saksama dab ditetapakan  lebih dahulu yang diambil terhadap pelanggar-pelanggar, tidak peduli apakah paksaan-paksaan itu tersusun atau tersebar. Berdasarkan alas an ini,  adalah tidak mungkin untuk  membuat suatu tipe paksaan bersesuaian dengan suatu bentuk hubugan sosial yang tepat, karena struktur hukum itu dapat pula dibarengi dengan berbagai tipe-tipe paksaan, atau dalam keadaan tertentu tidak dapat dibarengi oleh apa pun juga. Selain itu, kekerasan paksaan itu tergantung kepada hubungan antara ikatan sosial yang terorganisasi dan ikatan sosial yang spontan, suatu hal yang tidak dapat dipertimbangkan oleh Durkheim. Jika yang tersebut terdahulu terlepas dari yang tersebut kemudian, paksaan-paksaan itu menjadi ringan seandainya sebaliknya, yang tersebut terdahulu dimasuki oleh yang tersebut kemudian, paksaan-paksaan itu semakin keras. Selanjutnya hubungan-hubungan inilah yakni  antara superstruktur yang terorganisasi dan infrastruktur yang spontan, yang dalam beberapa hal menimbulkan suatu hubungan kerja sama, dan dalam beberapa hal lainnya menimbulkan hukum penguasaan. Singkatnya, Durkheim melakukan kesalahan ketika itu, pada satu pihak menyamakan hukum represif, hukum yang bersanksikan paksaan tidak bersyarat dan hukum penguasaan yang berlawanan denganhukum restitutif dan pada pihak lain hukum yang bersanksikan paksaan-paksaan bersyarat dan hukum kerja sama.
Pada hakikatnya, di mana Durkheim melihat identitas atau persamaan, di sana ada berbagai kombinasi: hukum kerja sama, misalnya boleh jadi bersifat represif dan bersanksikan paksaan-paksaan tidak bersyarat; hukum penguasaan yang bersanksikan sanksi-sanksi yang sifatnya restitutif dan paksaan-paksaan yang bersyarat (hukum mengenai perusahaan-perusahaan dagang, trust-trust, dan pabrik-pabrik dewasa ini.
Untuk mengakhiri kritik, kita catat bahwa Durkheim yang pernah menegasakan peranan kelompok bawah dalam kehidupan sosial, dalam sosiologi hukumnya sangat sedikit memperhatikan masalah asasi tipologi hukum dari kelompok-kelompok yang khusus, misalnya sifat khusus hukum domestik, hukum perserikatan dagang, hukum negara, hukum gereja, dan lainnya. Hanya dalam msyarakat tardisinal ia benar-benar menunjukkan sengketa antara kelompok klan berdasarkan ikatan mistik dan kelompok-kelompok berdasarkan tempat, suatu soal yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Davy (Davy dan Mornet, Des Clans aux Empires, 1923). Tipologi hukum dari masyarakat yang mmenyeluruh meminta seluruh perhatian Durkheim. Dalam meninjau masyarakat yang berkembang, ia tidak mengenalisis masalah pertentangan antara tata tertib hukum negara (yang demikian ditekankan oleh beberapa perintis osisologi) dan pada umumnya, ia mengabaikan masalah pluralism hukum. Kenyataan ini sangatlah mengherankan mengingat perhatiannya yang besar sekali terhadap tumbuhnya kembali gerakan serikat buruh dan gerakan korporasi yang diperbincangkan dalam etikanya, yang mengadakan studi yang khusus terhadap moral professional, yang diterbitkan setelah ia meninggal dunia (Revue Metaphysique, 1930). Pengabaian analisis permasalahan ini mungkin dikarenakan beberapa hal: pertama, pentingnya kedudukan sosiologi hukum genetis dengan sendirinya memusatkan perhatian Durkheim kepada masyarakat yang menyeluruh dan bukan kepada kelompok-kelompok bawah. Tetapi kenyataannya ialah bahwa perkembangan yang bertentangan dapat terjadi dalam kelompok-kelompok bawah: kesetiakawanan organis dan hukum yang bersesuaian dengannya dapat berkuasa dalam kelompok-kelompok setempat, dan bersamaan dengan itu kesetiakawanan mekanis dan hukum yang bersesuaian dengannya dapat berkuasa dalam kelompok-kelompok ekonomi.
Kedua, Durkheim cenderung kepada monism sosial dan hukum: ia menyusun kelompok-kelompokm bawahnya dalam suatu hierarki yang rapi, dan kelompok-kelompok professional senantiasa dibawahkan kepada negara, yang juga  lebih tinggi daripada masyarakat internasional. Pandangan ini sangat bertentangan dengan relativisme sosiologis, pada hubungannya dengan konsepsinya tentang kesadaran kolektif yang khas, yang menggantikan penggandaan kesadaran-kesadaran kolektif yang slaing bertentangan yang kita peroleh dari dalam kehidupan masyarakat keseluruhan dan bahkan di dalam setiap kelompok yang khusus. Dari sini kemudian timbul interpretasinya tentang agama dan hukum kolektif-asas-asas tentang persatuan sosial- dalam masyarakat tradisional sebagai sumber-sumber magi dan hukum individual, yang hanya merupakan pengganti-pengganti dari agama dan hukum kolektif.
Sebab terakhir dari kesukaran-kesukaran yang telah diperhatikan dalam sosiologi Durkheim ialah: terlalu diutamakannya masalah genetis, terpusatnya perhatian kepada paksaan-paksaan yang terorganisasi dan tendensi terselubung kearah monism sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subyektivitas kolektif, terkadang sebagai isi kandungan sui genetis. Dua konsepsi yang digabungnya dengan menaikkan kesadaran kolektif ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelas melihat keharusan dalam sosiologi hukum adanya sintesa antara idealisme dan realisme atau lebih tepat adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Sementara itu ia tidak pernah melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis normatif pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam bahasan-bahasannya yang konkret mengenai sosiologi hukum realismenya mengenyahkan idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif: itulah sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi umumnya, sebaliknya “hyperspiritualismenya: yang terpendam membawanya kepada juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial

2.    Duguit, Levy, dan Hauriou
Tiga peletak sosiologi hukum bangsa Perancis, Leon Duguit (meninggal tahun 1938), Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou (meninggal tahun 1930), sampai pada sosiologi hukum bukan dari sosiologi tetapi dari ilmu hukum. Sedang dua orang tersebut terdahulu dapat dianggap sebagai murid-murid Durkheim, maka yang terakhir ini menganggap sebagai lawannya. Tetapi Hauriou lah yang meneruskan mencari sintesa antara realisme dan idealism sebagai suatu dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya, Duguit menganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam orientasinya, sedang Levy cenderung pada subyektifismenya yang sangat idealistis.
a.    Leon Duguit tidak begitu mengindahkan bahasaan sosiologi hukum itu sendiri, melainkan lebih mementingkan penggunaannya dalam ilmu hukum yakni teknis sebagai seni dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum konstitusionil (cf. karyanya Teraite de Droit Constitutionel, edisi pertama, 1908, edisi kedua 1920-1927, dalam lima jilid). Bersamaan dengannya, ia terus menerus berbicara tentang suatu teori hukum sosiologis”. Teori ini hanya dapat mengkompromikan sosiologi hukum, yang tujuannya sangat berlainan dari filsafat hukum, filsafat hukum sama sekali tidak dapat menganggap dirinya sebagai penggantinya.
Sebagaimana halnya Durkheim, maka Duguit pun menghubungkan semua hukum itu dengan kesetiakawanan de facto, yakni ikatan sosial. Tetapi sebaliknya dari membedakan berbagai tipe hukum melalui suatu klasifikasi bentuk-bentuk  solidaritas, Duguit, setelah mendapatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab, dan hanya ini saja yang menarik perhatiannya, disana ada kesetiakawanan organis, memusatkan segenap perhatiannya pada hubungan antara hukum yang timbul dari kesetiakawanan ini (yang dinamakannya “hukum obyektif”) dan negara. Dengan menyamakan kesetiakawanan dan satuan-satuan kolektif kelompok-kelompok (makrososiologi dan mikrososiologi), dan dengan menyebut bangsa dan masyarakat internasional, dalam kedudukannya yang berlawanan dengan negara, sebagai penjelmaan-penjelmaan kesetiakawanan, Duguit, mempergunakan ikatan antara hukum dan ikatan sosial untuk membebaskan hukum positif dari ketergantungannya kepada negara. Untuk menganggap hukum sebagai suatu fungsi kesetiakawanan berarti baginya mendudukkan masyarakat yang ekstra statis dan tata tertib hukumnya (hukum obyektif) berlawanan dengan negara, yang tidak menjelmakan suatu kesetiakawanan, melainkan perhubungan kekuasaan murni antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan demikian, pada suatu pihak, masalah-masalah yang berkenaan  dengan tipologi hukum dari kelompok-kelompok yang nyata, dan dianggap sebagai suatu khayalan yang menutupi suatu hubungan antara tenaga-tenaga mekanis.
b.    Jikalau Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis Durkheim ke arah suatu realisme yang naturalistis yang radikal hingga sampai pada sensualisme, maka sebaliknya “Emmanuel Levy” mencoba memberinya orientasi yang semata-mata bersifat subyektif dan idealistis.
Dematerialisasi hukum total dari Levy, diartikan sebagai reduksi segala kehidupan hukum menjadi kepercayaan-kepercayaan saja, adalah berupa suatu interpretasi tentang segala lembaga-lembaga hukum di bawah aspek-aspek ”kepercayaan, kejujuran, pengharapan”. Milik, tanggungjawab, kontrak, hukum milik dan transaksi, hukum konstitusionil, hukum perdata, hukum pidana, semua hukum mempunyai dasar yang sama yakni bersifat psikologis. Milik hanya dimiliki melalui kejujuran; tanggungjawab yang timbul dari penyalahgunaan kepercayaan; kontrak, baik yang bersifat individual maupun kolektif adalah berdasarkan kepercayaan pihak-pihak yang bersangkutan, dengan bercerminkan kepercayaan kolektif dalam keabsahan atau berlakunya kontrak tersebut; demikian pula kekuasaan umum pun adalah semata-mata dari hasil dari kepercayaan kolekyif dalam keabsahan atau berlakunya kontrak tersebut. Dan Levy bahkan melangkah lebih jauh lagi: kepercayaan, kejujuran dan pengharapan timbul darinya direduksi menjadi “kepercayaan” belaka. Psikologi “kepercayan-kepercayaan kolektif menurut ukuran pengarang”, seluruhnya lenyap ke dalam “horizon kepercayaan” dasar dari kesatuan dari segala lembaga-lembaga hukum yang dengan cara ini khusus direduksi menjadi hukum transaksi-transaksi.
Demikianlah, semua hubungan hukum berubah menjadi hubungan-hubungan antara orang-orang yang menyertai dalam kepercayaan-kepercayaan, pada hakikatnya hubungan-hubungan bersifat membatasi dan negatif yang di dalamnya tersimpul subyek-subyek yang terisolir dan bertentangan. Karena gagal mengutarakan masalah bentuk-bentuk hubungan masyarakat, Levy akhirnya mereduksi semua ikatan masyarakat terhadap “hubungan-hubungan dengan orang lain (alter, ego), menjadi hubungan-hubungan yang saling keterkaitan dan saling bersatu: dengan mengabaikan interpenetrasi dan peleburan sebagian-sebagian dan dengan demikian kembali kepada konsepsi-konsepsi tradisional individualistis.    
c.    Sosisologi hukum Hauriou yang mengutamakan analisis terhadap lapisan-lapisan keseimbangan yang merupakan “lembaga”, yakni: kenyataan sosial hukum, pada suatu pihak tertuju ,kepada masalah-masalah sistematis (sengketa-sengketa dan kompromi-kompromi antara hukum spontan yang dinamis dan bukan terorganisasi yang kaku, tatatertib hukum masyarakat, dan tata tertib hukum dari negara), pada pihak lain tertuju masalah-masalah yang berkenaan dengan tipologi hukum dari kelompok-kelompok, yang sayang sekali tidak dibedakan dari mikrososiologi hukum. Diantara berbagai karya Hauriou, yang paling langsung berkenaan dengan sosiologi hukum ialah Science Sociale Traditionelle (1986), I’Institutions et le Droit Statutaire (1906). Principles de Droit Public (cetakan pertama, 1910, cetakan kedua yang mengalami perubahan, 1916), La Souverainete Nationale (1912), La Theorie de I’Institution et de la Fondation (1925, dalam Cahiers de la Nouvelle Journee). Karyanya Precis de Droit Constitutionel (edisi pertama 1923, edisi kedua 1928) sebaliknya lebih bersifat teknis. Selain itu, karya-karyanya yang diterbitkan setelah tahun 1916 yang meninggalkan relativisme sosiologis dan langsung bertentangan dengan sumbangan-sumbangan buah pikirannya yang paling bernilai, memperlihatkan tanda-tanda hendak kembali kepada konsepsi-konsepsi Thomistis (hierarki yang stabil antara kelompok-kelompok, berkuasanya negara secara a priori, gagasan tentang ‘peletak dasar perseorangan” dari lembaga-lembaga). Karena kita hanya prihatin semata-mata pada sosiologi hukum, maka kita boleh mengabaikan kemunduran-kemunduran dogmatis dalam karya-karyanya yang kemudian.

3.    Max Weber dan Eugene Ehrlich
Meskipun sosiologi hukum Max Weber (meninggal duni tahun 1922), yang ditawarkannya dalam bab VII pada bagian ke-dua dari Witrsschaft und Gessellschaft, telah diterbitkan bertahun-tahun kemudian dari karya-karya sarjana Austria, Eugene Ehrlich (yang meninggal pada tahun 1923), namun konspsi-konsepsi Ehrlich bolehlh dianggap sebagaai suatu jawaban pendahuluan terhadap kecenderungan Weber untuk membawakan sosiologi hukum kepada sistemasi ilmu-ilmu hukum yang dogmatis dan konstruktif. Pada hakikatnya, sebagaimana kita sebutkan dalam kata pengantar, semua sosiologi hukum, menurut Weber direduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau “kesempatan” dari kekuatan social, menurut suatu system yang koheren dari aturan-aturan yang diselanggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe masyarakat tertentu. Sumbangan Weber kepada tipologi hukum masyarakat-masyarakat secara menyeluruh, yang diselinggarakan dibawah bimbingan asas-asas ini, hendak kita pakai dalam pengutaraan kita secara sitematis dari masalah-masalah sosiologi hukum diferensial. Pendekatan Weber terhadap penggunaan metode pemahaman secara interpretative dalam arti-arti bathin perbuatan-perbuatan untuk sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi perdamaian dan kerja saam antara sosiologi hukum dan filsafat hukum, telah dianalisa dalam Kata Pengantar.
Dalam tiga karyanya yang terutama, Beitage zur Theorie der Rechtsqellen (1902), Grundlegung der Sozioligie des Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919), Ehrlich menyelanggarakan dua tugas. Pertama, ia hendak menujukkan bahwa apa yang dinamakan “Ilmu hukum” yang diselenggrakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata adalah suatu “teknik” yang bersifat relatiif dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis dan sementara waktul dan berkat sistematisasi khyali, tidak mampu memahami apapun, kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam sega;a tingkat kedalamannya. Tetapi lebih daripada Hauriou, pluralism vertical akhirnya menguhubungkan masalah difernsiasi peraturan hukum semata-mata  dengan lapisan-lapisan kedalaman, seolah olah setiap jenis hukum tidal mempunyai lapisan-lapisannya sendiri yang terletak diatasnya.
Kenyataan bahwa “ilmu”  hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu melainkan semata-mata suatu teknik untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilan yang bersifat temporer, menjadi sangat jelas apabila diketuhi bahwa asa-asas yang biasanya dianggap bersumber pada “logika hukum” yang tidak berubah-ubah, sesungguhnya hanyalah penyesuaian kepada keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat konkret. Demikianlah tiga “postulat” dari “apa yang dinamakan logika hukum”, yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya. Yakni : pertama, kebebasan bagi hakim. Yang terikat oleh dalil-dalil yang ditetapkan terlebih dahulu; kedua, tergantung segala hukum kepada Negara; ketiga, “keastuan hukum”, yag disamakan dengan keruntuhan sistematis hukum dari dalil-dalil hukum.
“Tata tertib masyarakat yang damai dan spontan” ditetapkan sebagai suatu persilangan dar berbagai tata tertib hukum dari kelompok-kelompok khusus, istimewa dari Negara. Di sisi Ehrlich mendakati masalah-masalah tipologi hukum dari penglompokan-pengelompokan khusus. Tetapi ia tidak mencari analisanya, karena semata-mata memusatkan perhatiannya kepada pembahasan lapisan-lapisan kedalam dari masyarakat yang menyeluruh. Ia hanya memberi suatu sifat secara umum. Tata tertib dalam kelompok-kelompok bukan saja merupakan bentuk dan kesejahtraan utama dari segala hukum, tetapi juga tata tertib ini sekarang dan selamanya merupakan dasar yang asasi. Sekarang dan selamanya, kekuatan hukum tergantung tindakan diam-diam dari perserikatan-persrikatan yang mengikat dan,menghimpun individu.
Menurut Ehrlich, diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusan  jika terjadi silang sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan, dan diletakkannya  dalil-dalil hukum yang abstrak du atas peraturan-peraturan ini, dan juga perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan diantara ketiga lapisan dari kenyataan hukum, haruslah dijelaskan secara sosiologis. Peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan-keputusan menyimpulkan adanya sengketa-sengketa antara kelompok dan individu-individu, yang ada pembatasan kepentingan-kepentingan dan kompetensinya. Di sini  kita lebih banyak memprihatinkan dengan soal perang daripada soal perdamaian, dengan subjek-subjek kolektif atau individu yang saling berhadap-hadapan sebagai kesuatuan-kesatuan yang putus hubungannya.
Diletakkanya dalil-dalil hukum abstrak di atas peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan (yang tidak langsung bersesuaian dengan terbentuknya Negara, yang begitu timbul tak lama  antaranya turut campur tangan dalaam kehidupan hukum), berarti ada kebutuhan sebanyak-banyaknya  akan kemantapan hukum dan berlakunya hukum di mana-mana. Kebutuhan ini misalnya ternyata dalam perjuangan Negara territorial melawan feodalisme  dan perkembangan kapitalisme modern berdasarkan rasionalisme yang diperkuat, yang menyatakan bahwa segala-khekususan peraturan-peraturan yang kongkret itu berasal darisatu asas. Sudah barang tentu, kemantapan, persatuan dan keumuman dan memungkinkan adanya berbagai nuansa dan derajat, dan hanya mencapai hasil-hasil yang sangat tidak memadai; demikianlah, maka peranan dalil-dalil hukum abstrak dan peranan Negara yang merumuskannya tidak sama dalam berbagai masyarakat dan zaman. Menurut Ehrlich, kita hidup dalam suatu zaman, yang didalamnya peranan ini cenderung semakin berkurang.
Kekuragan hakiki dalam sosiologi hukum Ehrlich, suatu kekurangan yang sangat menarik perhatian dan banyak pengaruhnya di Amerika Serikat ialah ketiadaannya perhatian terhadap bentuk-bentuk kemasyarakatan dan tipe-tipe hukum pengelompokan. Pluralism sosiologis dan pluralism hukum  Ehrlich sifatnya adalah semata-mata vertikal. Hal ini menyebabkan ia mencampuradukkan dengan istilah (gesellschaftrsecht) serangkaian jenis hukum, dan pencampuadukkan ini diulangi lagiu terhadap aturan-aturan untuk mengambil keputusan mdan dalil-dalil abstrak. Tiadanya mikrososiologi dan tipologi hukum pengelompokan-pengelompokan telah menyebabkan adanya konsepsi yang sangat monistis pada Ehrlich. Selain itu, hukum masyarakat dengan sengaja dipermiskin dengan hanya dibatasi semata-mata pada lingkungan yang spontan, seolah-olah tidak memiliki dalil abstraknya sendiri dalam undang-undang otonom dari kelompok-kelompok, dan tidak memiliki peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan yang diselenggarakan untuk kelancaran badan-badan arbitrasi dan badan-badam sejenisnya.
Setelah menolak adanya pertentangan antara hukum yang berkenaan dengan “kita” dan hukum yang berkenaan dengan orang lain (saya, engkau, mereka). Maka pertentangan ini muncul kembali dalam bentuk-bentuk peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan jika ada sengketa, yang berbeda dengan tata tertib dalam masyarakat damai. Tetapi identifikasi jenis-jenis hukum dengan lapisan-lapisan ke dalamnya ternyata dibuat-buat dan tidak begitu berhasil. Memang, identifikasi ini mengabaiakan kenyataan bahwa setiap jenis hukum memiliki lapisan-lapisan sendiri, dan bahwa  pengadilan-pengadilan hanya berkepentingan dengan tata tertib dalam yang damai dari kelompok-kelompok antar perseorangan. Yang tersebut terakhir ini mempunyai sendiri dasar kelembagaan dan bersifat spontan. Daripada menelaah saling persilangan lapisan-lapisan kedalaman dari kenyataan hukum, dengan jenis-jenis hukum yang dibagi-bagi menurut bentuk-bentuk kemasyarakatan, dan dengan kerangka yang dibedakan menurut tipe-tipe kelompok, ehrlich mengadakan paralelisme serta identifikasi tiruan. Dengan demikian ia terlalu menggampangkan jaringan kehidupan hukum yang begitu kompleks. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa ketiadaan perhatian kepada unsur-unsur kerohanian kehidupan sosial dan hukum, yakni pola-pola kelembagaan, nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang mengilhami kelakuan kolektif (khusunya berbagai segi dari cita-cita keadilan), singkatnya, positivismenya yang berkelebihan menyebabkan ia menyeragamkan subjek sosiologi hukum. Ini pulalah yang merupakan sebab mengapa ia tidak sampai kepada sesuatu defenisi yang tepat tentang hukum, dengan membedakannya dari peraturan-peraturan moral, keagamaan, estetika dan pendidikan.  Kegagalan diferensisasi yang mestinya ada ini, tak dihubugkan dengan penemuan-penemuannya yang asasi dilapangan sosiologi hukum, melainkan hanya dengan prasangka filsafat telah mengkompromikan beberapa diantara kesimpulan-kesimpulannya yang penting.

Di Amerika

4.    O. W. Holmes
Fase persiapannya berkaitan erat dengan nama Hakim Holmes, salah satu seorang sahabat karib dari filosof besar Amerika, William James. Dalam bukunya Common Law (1881), dan lagi dalam serangkaian bahasan-bahasan yang penting (yang terutama sekali ialah The Path of the Law, 1897, dicetak ulang dalam Collected Legal Paper, 1921), holmes sudah member isyarat yang disebut dengan tepatnya oleh Professor Aroson “ravolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di Amerika.  Sambil menolak dengan tegasnya baik mazhab analitis maupun mashab historis, Holmes menekankan perlunya bagi sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan perhatian kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan sosial yang aktuil, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. “Jika obyeknya adalah hukum, maka jalan menuju antropologi telah diratakan, juga jalan menuju politik ekonomi, teori tentang perundang-undangan, etika”. “Adalah betul-betul serasi untuk menganggap dan membahas hukum semata-mata sebagai suatu dokumen antropologis yang besar. Bahasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan demikian menjadi ilmu dalam arti yang sebenar-benarnya”. “Ilmu dalam arti yang sebenar-benarnya yang daripadanya lahir ilmu hukum yang logis yang akan mendapatkan postulat-postulat dan gambaran mengenai perundang-undangannya”, dan yang tidak dapat lain dari sosiologi, walaupun tidak hanya terbatas pada pembahasan kelakuan lahiriah. “Adalah layak sekali mempergunakannya untuk mengetahui cita-cita apa dari masyarakat yang cupuk kuat untuk mencapai bentuk pernyataan terakhir (yakni hukum) dari apa yang telah menjadi perubahan-perubahan dalam idaman-idaman yang berkuasa dari abad ke abad”. Demikianlah, maka “bahasan ilmiah mrofologi dan perubahan-perubahan gagasan-gagasan manusia pada akhirnya menjadi hukum” memasuki lapangan studi sosiologi dari yang tersebut terakhir itu.  Dan bagaimana mungkin tidak, jika syarat pertama bagi suatu rangka hukum yang logis ialah bahwa rangka itu bersesuaian dengan perasaan dan permintaan yang nyata dari masyarakat”, dan jikalau “pertimbangan-pertimbangan yang sehat jarang disebut oleh hakim-hakim yakni peraturan rahasia, yang darinya hukum mendapat segala zat kehidupannya. Yang saya maksud  ialah pertimbangan-pertimbangan dari apa yang berguna bagi kepentingan masyarakat”. “Kita hidup dengan lambang-lambang dan apa yang harus dilambangkan oleh tiap-tiap gambaran yang tepat bergantung kepada akal budi orang yang melihatnya”. “Hukum merupakan kepercayaan-kepercayaan yang telah mencapai kemenangan dalam pertempuran antara gagasan-gagasan dan kemudian mengalihkannya ke dalam perbuatan”. Setelah memperhatikan kutipan-kutipan ini adalah menjadi kesangsian mengenai arti yang pasti dari perkataan Holmes: “Kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika, malainkan merupakan pengalaman”, yakni pengalaman yang isinya harus dilukiskan oleh sosiologi hukum. Pengalaman ini tidak hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pengalaman data dan bukunya kelakuan saja, tetapi juga lambang-lambang serta artu-arti kerohanian yang mengilhami kelakuan-kelakuan sosial.
Tetapi apakah sebabnya maka gagasan-gagasan Holmes mengilhami bukan saja pakar-pakar “ilmu sosiologi hukum”, [Sociological Jurisprudensi] (Pound, Cardozo, Brandeis, Frankfurther, dan lain-laian), tetapi juga pembela-pembela “realisme hukum”, yang berpegang teguh kepada penggambaran semata-mata dari “kelakuan-kelakuan yang diakui, apa yang dilakukan oleh hakim-hakim” dan diputuskan oleh mereka dalam setiap perkara yang konkret, dan bahwa seorang filsuf yang merasa berkewajiban menuding Holmes menyerah kepada godaan tersebut. Tiga unsure dalam pikiran Holmes mendorongnya ke suatu jurusan yang bertentangan dengan inspirasinya utamanya. Pertama, definisinya bukan saja tentang ilmu hukum yurisprudensi, tetapi tentang hukum itu sendiri sebagai “ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan”, membatasi proglamnya yang luas dari sosiologi hukum dengan memusatkan perhatiannya kepada penggambaran satu lapisan ke dalaman dari kenyataan hukum saja, yang berhubungan dengan kegiatan pengadilan-pengadilan. Di lain pihak, ketegasannya tentang kebebasan hukum dari sesuatu credo moralitet, karena konsepsinya yang semata-mata teknis dan interpretasinya tentang moral yang bersifat individualistis, memungkinkan orang salah menilai pendirian Holmes. Mengenai hal ini Holmes memajukan sanggahan, tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, penyamaan hukum dan yurisprudensi, di mana yang tersebut terakhir ini dianggap semata-mata sebagai penggeneralisasian dari yang dikemukakan sebelumnya, menyebabkan tidak adanya kejelasan hubungan-hubungan antara  ilmu hukum dan sosiologi hukum, yang mana ia berkecenderungan menyamakan yang satu dengan yang lainnya. Karena mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif dalam arti yang sempit, Holmes agak terpaksa merubah ilmu sosiologi menjadi suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif sebagai seni.
Kesukaran-kesukaran yang tergandung didalamnya, yang sedikit banyak merupakan karakteristik utama dari seluruh perkembangan sosiologi hukum di Amerika Serikat, namun telah menjadi sangat ringan berkat kecermatan yang luar biasa serta keluwesan berpikir Holmes dan khususnya oleh konsepsinya bahwa pengadilan-pengadilan itu sendiri memperlakukan kespontanan hukum dari masyarakat, yang memojokkan dirinya sendiri didalamnya.

5.    Roscoe Pound
Sosiologi hukum di AS telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan meluas, berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari mazhab “ilmu hukum sosiologis yurispundensi. Pikiran Pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus-menerus dari masalah-masalah sosiologis (masalah-masalah pengawasan sosial dan kepentingan sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan dan keluwesan dalam tipe-tipe sitem hukum), dan akhirnya masalah-masalah sifat pekerjaan pengadilan-pengadilan Amerika (unsur kebijaksanaan administrattif dalam proses pengadilan. Banyaknya titik perhatian serta titik tolak membantu Pound untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum dan lambat laun berbagai aspeknya.
Dalam program yang terdahulu bagi ilmu ini (yakni ilmu hukum sosiologis), meskipun pemandangan sangat luas, Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis: (1) Menelaah “akibat-akibat sosial yang actual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum”, dan karenanya, “lebih memandang kepada kerjanya hukum daripada isi abstraknya”; (2) mengajukan “studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan”, dank arena itu menganggap “hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha sedemikian itu”; (3) untuk menciptakan “efektifitas studi tentang cara-cara peratuaran-peraturan” dan memberi tekanan kepada “tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”; (4) studi “sejarah hukum sosiologis”, yakni tentang “akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menhasilkannya”; (5) “membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan “mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk-petunjuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah”; (6) “akhirnya, tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut di atas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. Tidak dapat disangka lagi, bahwa hanya dua dari enam pasal dari program itu yang ada hubungannya dengan penilaian-penilaian teoritis  mengenai kenyataan : sosial hukum : “bahasan tentang akibat sosial hukum” dan “bahasan sosiologis tentang sejarah hukum”.
Orientasi orisinal sosiologi hukum Pound kea rah tujuan-tujuan yang praktis ini, selain itu, telah di atasi oleh serangkaian karya-karya itama pound yang terpenting. Di dalam karya-karyanya ini secara tegas diperlihatkan kenisbian sosiologis dari teknik-teknik hukum, kategori-kategori hukum dan konsep-konsep hukum. Ia melukiskan kenisbian ini dengan menunjuk kepada tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh dan kepada kekhususan tradisi-tradisi kebudayaannya. Demikianlah ia memberi suatu analisis sosiologis mengenai tipe-tipe hukum adat Inggris dan Amerika yang sekarang menjadi klasik. Ia mengemukakan perubahan-perubahan dalam konsep-konsep hukum sendiri, sebagai fungsi tipe-tipe masyarakat dan sistem-sistem hukum yang berseuaian. Ia melukiskan berbagai teori mengenai saling hubungan antara hukum dan moral sebagai fungsi tipe-tipe sosial. Bahkan ia melangkah lebih lanjut lagi dalam mengemukakan masalah dasar-dasar sosiologis dari pengetahuan tentang hukum. Bersamaan dengan itu, Pound mengadakan suatu bahasan tentang perubahan-perubahan yang merupakan kenyataan dari hukum, sejajar dengan Leon Duguit, meskipun tidak begitu dogmatis. Demikianlah ia telah mengembangkan sosiologi hukum genetis sebagaimana yang diperaktekkan pada tipe masyarakat dewasa ini.
Berbagai defenisi hukum dan berbagai filasat hukum “pada tingkat pertama adalah suatu usaha untuk menerangkan secara rasional hukum masa dan tempat atau beberaoa unsur di dalamnya yang tepat dan khas. Teori-teori ini dengan sendirinya mencerminkan lembaga-lembaga yang direncanakan untuk dirasionilkan meskipun dinyatakan secara umum”. Sekarang ini, emprisme pengadilan dan akal hukuk akan menciptakan sistem yang dapat dilaksanakan melalui garis-garis baru, tetapi pada umumnya kita dapat melihat bahwa hukum dan defenisi-defenisi hukum serta teori-teori adalah pengakuan dan pemenuhan secara terus menerus dan makin luas dari kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan atau hasrat-hasrat manusia melalui pengawasan sosial (hukum) dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Hubungan-hubungan yang konkret antara hukum dan moral, yang selalu terpaut satu sama lainnya walaupun kemesraan hubungan itu selalu berlain-lainan, sebagaimana halnya dengan kedudukan mereka terhadap satu sama lain dalam sistem pengawasan sosial adalah bergantuk kepada tipe-tipe masyarakat dan kepercayaan-kepercayaan moral yang bersesuaian dengan itu.
Berbagai interpretasi dari sejarah (yang bersifat etika keagamaan, etologis, ekonomis, pragmatis, dll) dengan sendirinya telah ditetapkan oleh situasi-situasi konkret dari suatu tipe masyarakat (interpretion of legal history, passim). Perubahan-perubahan sistem hukum kita yang actual adalah sebagai berikut:
(1) Pembatasan dari penggunaan kekayaan; (2) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan perjanjian-perjanjian; (3) Pembatasan-pemabatasan terhadap kekuasaan memiliki kekayaan; (4) Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan editor atau pihak yang dirugukan untuk menjamin kepuasaannya; (5) Perubahan cita atau gagasan pertanggungjawaban dalam arti adanya dasar yang lebih obyektif; (6) Keputusan-keputusan pengadilan mengenai kepentingan-kepentingan masyarakat, dengan membatasi peraturan-peraturan umum untuk lebih mengutamakan pedoman-pedoman luwes dan kebijaksanaan; (7) Dana-dana umum hendaknya diadakan untuk mengganti kerugian kepada individu-individu yang diugikan oleh alat-alat kekuasaan Negara; (8) Perlindungan kepada anggota-anggota rumah tangga yang hidupnya masih bergantung pada keluarganya.
Semua perubahan ini adalah “jalan ke arah sosialisasi hukum yang aktual”. (The Spirit of the Common Law, Hal. 185-92).
Dengan demikian kita dapat mendapat suatu pengertian yang mendalam tentang tipologi hukum dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh serta sosiologi hukum genetis, Dean Roscoe memberi sumbangan kepada masalah-masalah sosiologi hukum sistematis. Dengan melalui jalan-jalan lain berbeda dari yang ditempuh  oleh Hauriou dan Ehrlich, ia sampai pada pengetahuna tentang adanya berbagai lapisan kedalaman (levels of depth) yang terdapat pada kenyataan sosial hukum. Ia mengadakan pembedaan antara (a) penyelenggaraan keadilan  atau proses pengadilan, (b) hukum, (c) tata tertib hukum dan (d) nilai-nilai hukum, “unsur yang dicita-citakan hukum”(the ideal element of law). Ia telah mengemukakan bahwa “dalam hukum itu sendiri, tingkat peraturan-peraturan (hukum kaku) “ adalah lain dari tingkat asas-asas, konsepsi-konsepsi, dan pedoman-pedoman (hukum luwes) atau akhirnya, hukum kebijaksanaan berdasarkan intuisi.
Dalam serangkaian karya-karyanya, yang terbit kemudian, Pound telah menadaskan dengan keberanian yang luar biasa pada kenyataan-kenyataan bahwa kenyataan sosial, khususnya kenyataan sosial dari hukum, telah diresapi oleh “unsur-unsur  yang diidam-idamkan”, “nilai-nilai kerihanian”. Demikianlah, sosiologi hukum baginya tidak mungkin terkecuali sebagai satu bagian dari apa yang kita usulkan agar dinamakan sosiologi jiwa manusia atau akal budi intelaktual (Sociology of the noetic mind). Karena, menurut Pound, dalam kenyataaan sosial dari hukum ada tergabung “kegunaan sosial” dan “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “kebuthan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan penertiban sosial” serta nilai-nilai kerohanian, maka ia bersama dengan Hauriou sampai pada suatu konsepsi hukum yang bersifat ideal-realistis. Suatu sintessa antara idealisme dan pragmatisme di sini telah menolong dan membimbimgnya melihat nilai-nilai hukum dalam pengkhususannya yang konkret dan hubungan-hubungan fungsionalnya dengan struktur-struktur dan situasi-situasi sosial.
Meskipun ada sara-saran sosiologis yang demikian banyaknya, dan keuletan orientasinya yang bersifat fungsionalistis, relativistis dan ideal-realistis, kelihatannya Pound – di dalam hal ia senansib dengan Hauriou – tidak sampai kepada suatu defenisi yang seteliti-telitinya tentang tujuan-tujuan dan metode-metode sosiologi hukum. Pertama dalam semua karyanya ia selalu setia kepada mempersamakan  (identification) sosiologi hukum dengan ilmu hukum atau yuripundensi, yakni sebagai seni atau teknik hukum. Sekarang ilmu hukum yang beriorentasikan sosiologi (“sociological yurispundensi”) tetap merupakan kesenian, yang terikat kepada keadaan khusus tertentu, suatu sistem hukum tertentu. Pound memang benar-benar memperhatikan kenyataan ini dan juga sifat telelogis yang sudah semestinya dari segi ilmu hukum, lebih-lebih lagi “sociological yuripundensi”. Tetepi sebaliknya daripada memisahkan secara tegas sosiologi hukum, sebagai ilmu yang berdasarkan penilaian terhadap kenyataan, harus bebas dari segala pendapat dan tujuan-tujuan ilmu hukum, maka Pound memberi tujuan-tujuan yang praktis terhadap sosiologi hukum itu sendiri dan dengan demikian membuatnya teologis juga. Berlawanan denga Durkheim dan Weber (yang teristimewa menjernihkan masalah ini), Pound tidak sadar bahwa orang dapat memiliki perhatian dengan nilai-nilai yang menjelma dalam fakta-fakta yang special dan tetap tak menyatakan baik buruknya.  Akibat dari caranya berpikir itu adalah suatu pertentangan antara keadilan dan “tata tertib sosial” (keamanan, kemantapan), dan yang tersebut belakang ini mendapat corak suatu asas yang mutlak, tidak relatif, suatu “tata tertib” yang istimewa monistis. Dari semua ini timbul suatu tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan secara langsung mengancam pendrian metode dalam sosiologi hukum. Jika kita tambahkan pada kecendrungan Pound untuk mencari media terbaik antara dua eksterem (keadilan dan tata tertib, akal dan pengalaman, ketidakpastian dan keamanan), dengan sekasama mengikuti jejak Aristoteles agar mendapatkan suatu persesuaian yang selaras dan mantap antara antinomy-antinomi yang tidak dapat direduksikan lagi, maka kita dapat membayangkan bahaya yang mengancam sosiologi hukum Pound, karena metodenya ini. Sebagai akibat dari orientasi teleologisnya ini dapatlah dicatat penolakan Pound untuk menaggalkan kepercayaan kepada harus adanya Negara terlebih dahulu, dan keunggulan a priori negara atas kelompok-kelompok lainnya. Hal ini telah menjadi sedemikian rupa, sehingga ia menyamakan “tata tertib hukum” dengan tata tertib Negara, meskipun Negara yang berhadap, dan lebih umum lagi, sosiologi hukumnya tidak cukup memperhatikan pengelompokan, kecuali dalam formula “kepentingan-kepentingan sosial”, yang harus diselaraskan dan diseimbangkan oleh tata tertib yang istimewa ini. Ia melupakan fakta, bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertibnya sendiri, kerangka hukum dan nilai-nilai hukumnya sendiri dan juga fakta bahwa hubungan-hubungan antara tata tertib ini adalah terus menerus berubah-ubah menurut tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh, yang terhadapnya negara sendiri hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus  dan suatu tata tertib yang khusus pula. Konsepsi ini malah membuat dia tidak dapat menciptakan masalah-masalah mikrososiologi hukum dan tipologi hukum diferensial dari pengelompokan-pengelompokan khusus. Bahkan apabila Pound berusaha mengatasi pandangan ini, namun ia kembali langsung kepadanya lagi dengan menyatakan keunggulan negara secara a priori.  Di sinilah kita sampai pada batas-batas relativisme dan titik tujuan fungsionil, yang merusak sosiologi hukum Roscoe Pound yang sesungguhnya tajam dan kaya.

6.    Benjamin Cardozo
Seperti halnya dengan sosiologi hukum Holmes dan Pound, maka sosiologi hukum hakim Cardozo ini bertolak dari perenungan tentang perlunya mempengaruhi teknik hukum yang actual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum yang hidup dewasa ini. Seperti mereka, bahkan labih-lebih lagi, perhatiannya pertama-tama dipusatkan kepada aktivitas-aktivitas pengadilan-pengadilan. Karya pertamanya, yang diberi judul The Nature of judicial Process (1921, edisi ke-8, 1932), bertujuan untuk menunjukkan bahwa “ketidaktetapan yang semakin bertambah oleh keputusan pengadilan” adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan “bukanlah penemuan, melainkan penciptaan”, penciptaan yang diperhebat oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri dari atas kenyataan “bahwa untuk setiap tendensi kelihatannya orang harus mencari tendensi lawan, dan bagi setiap peraturan harus dicarikan lawannya pula”. Lawan-lawan (antoinomes) ini dihadapkan kepada pengadilan-pengadilan, bukan saja karena jurang-jurang serta kekosongan-kekosongan dalam peraturan-peraturan hukum, bukan saja karena kenyataan “bahwa hanya sedikit peraturan, yang ada terutama postulat-postulat pemikiran secara yuridis, dan dibaliknya lagi ialah kebiasaan kehidupan, lembaga-lembaga masyarakat itu sendiri. Karena, “dibalik preseden-preseden adalah konsepsi-konsepsi hukum dasar, yang merupakan sumber konsepsi-konsepsi dan yang dengan suatu proses saling mempengaruhi, mereka telah kembali mengubahnya. Demikianlah maka sosiologi hukum saja, dengan mencari “hukum yang hidup” sebagai sumbernya dalam kehidupan masyarakat sendiri, akan dapat menerangkan kesukara-kesukaran yang sungguh-sungguh harus dihadapi oleh para hakim. Hal ini lebih nyata, kerana kebebasan hakim untuk menjatuhkan keputusan-keputusan secara kreatif sangat dibatasi oleh peraturan-peraturan dan undang-undang, “pedoman resmi tentang pola tingkah laku yang baik” yang “dijelmakan dalam adat istiadat” (mores) masyarakat dan kelompok-kelompok yang khusus, “hidup dapat berlangsung, kelakuan harus selayaknya, kelayakan dan kelangsungan untuk manusia-manusia yang tidak terkatakan jumlahnya, tanpa membawa mereka ke lapangan yang mana di dalamnya hukum dapat disalahtafsirkan”. Demikianlah, akhirnya, bukan para hakim, melainkan, “kehidupan itu sendiri yang mengisi ruangan-ruangan kosong di dalam hukum”. Jikalau hakim-hakim secara menyedihkan sekali menyalahtafsirkan adat kebiasaan zamannya, atau jikalau adat kebiasaan zamannya tidak lagi merupakan adat kebiasaan masyarakat”, maka mereka hanya dapat tunduk kepada peraturan-peraturan secara spontan yang timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Demikianlah Cardozo sampai kepada kesimpulan : “Hukum dan ketataan kepada hukum adalah fakta-fakta yang setiap harinya berlaku bagi kita dari dalam pengalaman hidup kita…………..kita harus mencari suatu konsepsi hukum yang dapat dibenarkan oleh kenyataan”.
Melalui konsepsi sempit dari “metode sosiologi” yang diperlengkapi dengn metode logika secarra analog, dan juga metode tradisi dalam proses pengadilan, bahwa Cardozo mengawali bukunya dan dalam beberapa hal kembali lagi ke situ. Kecenderungan teleological-sosiologikal inilah yang mendorong Cardozo, melalui putusan-putusan pengadilan, mencari yang bertindak sebagai penengah dari antara pergerakan dan stabilitas yang luar biasa, ketidaktentuan dan keamanan. Dilain pihak,  tendensi ke arah penguraian hukum yang bersifat spontan dari masyarakat itu sendiri, mendorongnya untuk mengakui bahwa dalam kenyataan sosial dari “tidak ada yang mantap, stabil, tak ada yang mutlak. Semua mengalir berubah-ubah tanpa ada henti-hentinya, kita kembali ke Heraclitus”. Keragu-raguan Cardozo antara kedua tendensi ini bukan saja disebabkan oleh kenyataan bahwa ia tidak memisahkan sosiologi hukum dari “ilmu hukum sosiologi”, melainkan juga, dan lebih asasi lagi oleh kenyataan bahwa ia tidak mengakui “pedoman-pedoman resmi mengenai kelakuan baik dalam masyarakat, yang menadainya dengan istilah mendua “adat kebiasaan”, yang dipertentangkannya dengan apa yang dimasud hukum yang sesungguhnya. Meskipun, dalam polemiknya dengan Austin dan Holland, ia menegaskan bahwa perbedaan antara “hukum sesungguhnya” dan peraturan-peraturan yang lebih luas dan lebih luwes tidak lain dari suatu “perselisihan secara lisan” dan is menulis: “ Kita tidak menghendaki pertengkaran tentang perbedaan istilah antara hukum dan keadilan dan melupakan ke dalaman keselarasannya, tetapi ia masih ragu-ragu memasukkan di dalamnya adat kebiasaan masyarakat”, yang diakuinya sendiri sebagai lapisan terdalam dari hukum dalam alam hukum.
Dilihat dari sudut bukunya yang kedua ini,  The Growth of the Law, 1927, adalah sangat tipical. Pada suatu pihak, cenderung semakin lama semakin mengarah ke sosiologi hukum dalam arti yang sebenarnya. Cardozo menulis: “Penyelidikan tentang adat kebiasaan merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang menuntut adanya penyelidikan fakta-fakta sosial”, daripada suatu cabang filsafat dan ilmu hukum itu sendiri; “namun kedua subjek itu akan bertemu dan satu pun jarang dapat berhasil tanpa diperlengkapi dengan yang lainnya. Di dalam metode sosiologi semakin sering ditemui approach dari sudut-sudut lainnya. Berbagai teknik hukum itu sendiri ditentukan oleh kondisi serta situasi-situasi dalam masyarakat pada masa itu. Sementara itu, keadilan sendiri “dapat berlain-lainan artinya bagi berbagai pikiran dan dalam berbagai zaman”. “Kita dapat belajar apakah suatu peraturan berjalan lancar atau tidak lancar dengan membandingkannya dengan suatu pedoman keadilan, yang kita ketahui atau dapat dirasakan berdasarkan pengalaman sehari-harinya”. Bahkan lebih, “sering berdasarkan perkara di depan pengadilan-pengadilan yang berkenaan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan dunia usaha atau transaksi-transaksi”. Kenyataan-kenyataan tentang kehidupan ekonomi atau keniagaan adalah pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipakai.” Demikianlah, maka azas-azas serta peraturan-peraturan hukum berakar pada bentuk-bentuk kebiasaan dan metode-metode keniagaan dan persahabatan, keyakinan-keyakinan utama dari keadilan, kompleks kepercayaan dan prkatek yang kita anggap sebagai adat kebiasaan di zamannya.
Cardozo bersandar pada definisi Holmes tentang hukum sebagai suatu “ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan”. Tetapi supaya tidak terlampau membatasi lapangan bahasan atau studi sosiologi hukum, ia member suatu interpretasi yang luas terhadap konsepsi ini. Menurut Cardozo, cukup memadai untuk menetapkan kemungkinan berhasil; bahwa adat istiadat pada suatu hari akan dapat “berwujud sebagai suatu pertimbangan” untuk menganggapnya sebagai hukum. “Boleh jadi adat kebiasaan itu tidak mempunyai tanda resmi, tetapi hal ini bukanlah suatu penghalang bagi kita untuk bersandar kepada tanggapan bahwa apa yang belum ada kelak aka nada juga, apabila keadaan menghendakinya”, “yang memungkinkan kita berkata bahwa asas-asas dalam hukum apanila ada kekuatan atau pemberian keyakinan dari suatu kecenderungan bahwa asas itu akan atau seharusnya dilaksanakan”.
Buku terakshir Cardozo, Paradoxes of Legal Scinces (1928) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju selangkah lagi ke arah sosiologi yang ebas dari teknik yuridis (yurisprudensi) dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Sosiologi hukum haruslah dibimbing oleh kesadaran, demikian tulis Cardozo dalam bukunya ini, bahwa “hukum menentukan suatu hubungan tidak selalu antara titik-titik yang berlainan kedudukannya”. Di dalamnya harus berkuasa asas kerelatifan”. Relativisme ini kemudian ditambah dengan kenyataan bahwa “perdamaian dari apa-apa yyang tak dapat didamaikan, penggabungan antitese …. adalah masalah besar bagi hukum”. “Tatacara dan kebiasaan (jika kita tak menyamakan dengan hukum) setidak-tidaknya adalah sumber hukum”. “tekanan adat kebiasaan dapat menetapkan arah hukum”. Penggambaran hubungan-hubungan antara hukum sebenarnya dan adat kebiasaan, dan bahkan hubungan-hubungan antara norma-norma hukum dan norma-norma susila, haruslah dibebaskan “dari kesewenang-wenangan konsep. Sebab konsep itu lebih merupakan tirani daripada abdi, apabila dihadapi sebagai wujud-wujud yang nyata dan berkembang tak semena-mena tanpa menghiraukan akibat-akibatnya kepada batas logikanya. Di sini, seperti juga di mana-mana, tirani melahirkan pemberontakan, dan pemberontakan melahirkan emansipasi”. Demikianlah, maka dinamisme yang serba nisbi dan anti konseptualisme mulaimenguasai pikiran-pikiran terkahir Cardozo. Yang disokong oleh suatu renungan tentang partikularisme, kekhususan, nilai-nilai konkret dan oleh pluralism, kemajemukan sosiologis. Kelompok bukanlah suatu kualitas yang constant melainkan dapat berubah-ubah tanpa beraturan. Di samping yang lain-lainnya, kita mempunyai klan, gereja, klub, gilda, dan lain-lainnya, yang masing-masing menuntut kesetiaan, yang berbagai macam kadarnya kehebatannya pada berbagai masa dan tempat”.
Apakah dari segala pertimbangan metodelogis ini tidak timbul keperluan untuk membersihkan sosiologi hukum dari seni teleologis ilmu hukum, yang terutama sekali dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan dari pengadilan-pengadilan dalam suatu masa tertentu, dan untuk membebaskan paham tentang hukum ini dari segala pembatasan oleh tipe-tipe khusus sistem hukum? Adalah tidak mungkin bagi kita untuk mengetahui arah terkahir sosiologi Cardozo, seandainya kematiannya tidak mengakhiri pekerjaan-pekerjaannya. Apa yang dapat kita katakana hanyalah, bahwa setelah ia bertolak dari dasar yang jauh lebih sempit daripa Pound dan setelah mengabaikan masalah-masalah tipologi dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh, Cardozo ternyata sangat menyadari kompleksitas kenyataan sosial hukum, yang lapisan-lapisan ke dalamanya saling sengketanya serta terlihat jelas. Dengan demikian banyak sumbangannya kepada sosiologi hukum sistematis, apalagi berkat keluwesan pikiran filsafatnya yang memungkinkan dia menegaskan corak cabang ilmu ini sebagai cabang dari sosiologi jiwa manusia. Tetapi, orientasi teleologis praktis, selalu jelas tersimpul dalam sosiologi Cardozo, dan menghalang-halangi relativisme konseptualistisnya menghasilkan manfaat yang sebanyak-banyaknya.     

JENIS-JENIS SOSIOLOGI HUKUM

1.    SOSIOLOGI HUKUM SISTEMATIS
Sosiologi hukum sistematis bertugas menelaah hubungan fungsional antara kenyataan sosial, jenis-jenis hukum (kinds of law), kerangka hukum (f rameworkof law), dan sistem-sistem hukum (systems of law). Dalam kelompok-kelompok terjelmakan kerangka-kerangka hukum. Kerangka-kerangka hukum ini adalah sintese dan keseimbangan (equalibria) antara berbagai jenis hukum. Struktur kelompok yang dibangun oleh sintese dan keseimbangan diantara berbagai bentuk kemasyarakatan (sociality). Dalam masyarakat majemuk, sintese-sintese dan keserbanekaan kelompok-kelompok  melahirkan sistem-sistem hukum.
Jenis-jenis hukum yang bersaing di dalam kerangka hukum menurut dua aspek: horizontal dan vertikal. Sudut pandangan horizontal menganggap jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari kedalaman yang sama; sudut tinjauan vertikal menganggap jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari lapisan-lapisan kedalaman yang tindih-menindih dalam kenyataan hukum. Setiap bentuk kemasyarakatan yang aktif, yang mewujudkan suatu segi dari cita kebenaran, dan setiap lapisan ke dalam dari kenyataan hukum mempunyai dua tugas; (1) menelaah jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari berbagai macam bentuk kemasyarakatan; (2) menelaah jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi lapisan-lapisan kedalaman yang dapat ditemukan di dalam setiap bentuk kemasyarakatan, apabila bentuk kemasyarakatan itu menjadi fakta normatif.
a.    Bentuk-Bentuk Kemasyarakatan dan Jenis-Jenis Hukum
1)   Klasifikasi Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Klasifikasi horizontal dari bentuk-bentuk kemasyarakatan berkembang pada dua tingkatan kedalaman yang berlainan: kemasyarakatan yang langsung dan spontan dan kemasyarakatan yang terorganisasi dan direfleksikan. Kemasyarakatan yang spontan dijelmakan dalam keadaan-keadaan langsung (spontaneous states) dari akal budi kolektif, baik berupa praktek-praktek yang dibimbing oleh pola yang luwes, maupun perbuatan-perbuatan kolektif yang melahirkan hal-hal baru serta bersifat kreatif. Kemasyarakatan yang terorganisasi terikat pada pola tingkah laku kolektif dalam arti dibimbing oleh pola-pola yang baku (chrystalized) dalam skema-skema yang dibuat dengan sengaja, yang telah ditentukan terlebih dahulu dan terpusat (centralized). Demikianlah, maka kemasyarakatan yang terorganisasi mentang dinamika spontanitas dari akal budi kolektif dan terpisah daripadanya. Berbagai jenis kemasyarakatan spontan mengadakan tekanan-tekanan ke dalam, bertindak secara spontan dalam kesadaran kita menganggapnya sebagai suatu tekanan dari suatu keadaan kesadaran ini kepada kesadaran yang lainnya dan dalam kehidupan kolektif sebagai tekanan dari suatu bentuk kemasyarakatan yang spontan kepada yang lainnya. Sebaliknya, dalam kemasyarakatn terorganisasi lebih kepada adanya sangsi-sangsi dan pemaksaan dari luar, yang kadangkala terpencil dan sempit dari struktur bawah (infrsturktur) yang spontan dan terkadang pula struktur bawah ini dalam keadaan tertentu menjadi transcendent. Sementara watak atau struktur atas (superstruktur) tergantung kepada sifat sampai dimana dikelilingi oleh struktur bawah yang spontan dan dalam bentuk-bentuk yang khusus. Dengan demikian kemasyarakatan yang spontan selalu mendasari kemasyarakatan yang terorganisasi.
Dalam kemasyarakatan yang spontanitas, boleh jadi orang pada mulanya memandang kemasyarakatan karena interpenetrasi atau peleburan sebagian (partialfusion) kedalam “kita” (We), sebagai kebalikan dari kemasyarakatan karena interpendensi (saling bergantung) antara intuisi kolektif dan perhubungan kelambangan (symbolic communication). Jikalau timbul suatu “Kita” (“Kita bangsa Amerika”, Kita bangsa Prancis”, “Kita bangsa Inggris”, “Kita kaum plotter”, “kita kaum intelektual” dan lain-lainnya), maka “Kita”, ini merupakan suatu keseluruhan yang tidak terbagi lagi, suatu kesatuan baru yang tidak dapat diurai menjadi jumlah anggota-anggotanya dan bagian-bagian itu tersimpul di dalam keseluruhan.
Lain sekali halnya dengan Kemasyarakatan karena konvergensi dan interdependensi, di mana kesadaran dan kelakuan-kelakuan membentuk suatu kenyataan baru karena koordinasi dan erat hubungan timbal baliknya. Walaupun kesadaran dan kelakuan-kelakuan saling terikat antara keduanya, namun pada hakikatnya keduanya tetap berbeda. Kesadaran dan kelakuan tetap saling transcendent dan bertentangan dengan keseluruhannya meskipun salin berorientasi satu sama lain. Kesadaran dan kelakuan saling berhubungan dengan perantara tanda-tanda seperti perkataan, isyarat, pernyataan, tanda-tanda lahiriah, kelakuan-kelakuan yang berarti. Demikianlah, tanda-tanda sebagai perantara, sedangkan pola-pola, lambang-lambang sebagai dasar yang pertama dari terbentuknya kemasyarakatan. Misalnya, dalam pertukaran, persetujuan (kontrak), perhubungan mengenai milik (kekayaan), maka hanyalah isyarat-isyarat lahirih (gestures), pernyataan-pernyataan tertulis digunakan sebagai dasar (basis) bagi ikatan-ikatan yang diperbuat.
Kriterium kedua untuk membeda-bedakan bentuk-bentuk kemasyarakatan ialah intensitas kemasyarakatan yang spontan oleh peleburan hanya untuk sebagian. Apabila kesadaran terbuka hanya pada permukaan tetapi tertutup pada bagian yang lebih dalam dan bersifat lebih pribadi disebut massa (masses). Apabila kesadaran terbuka dan saling menyusup sampai pada tingkatan-tingkatan yang aspirasi kepribadian diintegrasikan dalam “Kita” tetapi tidak mencapai puncak integrasi disebut perkauman (community) dan apabila kesadaran terbuka selebar-lebarnya dan kedalaman tidak termasuk dalam pribadi diintegrasikan dalam peleburan kita sebut communion.
Tebal tipisnya peleburan dan tenaga tekanan adalah sama sekali tidak saling bersesuaian, bertentangan dengan apa yang kita duga. Masa peleburan kesadaran itu paling dangkal adanya dan lapisan-lapisan terdalam tertutup bagi satu sama lain, tetapi tekanan kelompok terhadap individu paling kuat. Sebaliknya, ketika peleburan sebagian dari kesadaran itu merangkum dan mengintegrasikan lapisan-lapisan “aku” lebih dalam maka tekanan terasa kurang dari spontanan sosial. Dalam perkauman (community) tekanan tidak sekuat dalam massa (mases), dalam communion tidak sekuat dalam masyarakat, yang pada hakikatnya hampir tak sekuat seperti tak kelihatan. Selain itu, kehebatan dan luas kemasyarakatan berdasarkan interpenetrasi, maka intens (hebat) ikatan kemasyarakatan, bukannya makin luas. Tetapi sebaliknya: makin intens makin kurang luas; makin luas, makin kurang hebat. Demikianlah, pada lazimnya, Communion terwujud dalam lingkungan yang sangat terbatas, misalnya communion lebih mudah dalam serikat buruh daripada federasi serikat-serikat buruh. Perkauman itu adalah bentuk kemasyarakatan di dalam suatu kelompok sedangkan massa dan communion merupakan bentuk kemsayarakatan yang terjelma dalam keadaan tertentu saja.
Penjelmaan-pejelmaan kemasyarakatan kerana semata-mata adanya konvergasi (karena ada titik konvergensi atau hanya karena persamaan, pembatasan-pembatasan tertentu, dank arena “hubungan dengan orang-orang lain, baik yang bersifat antar perseorangan atau antar kelompok yang dinyatakan dengan suatu ukuran. Dan adalah isi ini, yang menjadi tujuan (obyek) gerak penyelarasan kembali (rapprochement) atau perpisahan. Bahkan individu-individu atau kelompok-kelompok yang bersengketa atau bertempur, harus lebih dahulu bertemu dalam suatu obyek-obyek keinginan, kebutuhan, kepentingan, yang dalamnya mereka tidak mencapai saling pengertian. Dalam pengertian ini, maka tidaklah ada perumusan, perjuangan, atau sengketa yang tanpa titik convergensi dalam suatu tanda yang sama, titik convergensi yang ada lebih dahulu daripada ketegangan, tabrakan, pembatasan atau penyamaan.
Kemasyarakatan karena peleburan sebagian dapat dibagi berdasarkan fungsinya. Fungsi adalah semata-mata suatu aspek dari suatu tugas (task) bersama yang harus diselenggarakan dan sangat berbeda dengan tujuan (yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu peraturan (statute) dan hanya berhubungan dengan superstruktur yang terorganisasi) yakni motif dari tindakan (perbuatan) kolektif (collective action), istilah untuk aspirasi dalam kemasyarakatan berdasarkan peleburan (tujuan serta nilai, ke mana ia cenderung). Pertama, kemasyarakatan bersifat unifungsional apabila aktivitasnya terwujud dalam suatu tujuan saja artinya mendapat inspirasi oleh satu tugas saja, mendapatkan inspirasi oleh satu nilai saja yang dijelmakan dalam satu tujuan saja misalnya peleburan sebagain buruh dalam satu pabrik dan sebagainya. Kedua, kemasyarakatan bersifat multifungsional dimana di dalamnya terdapat berbagai tugas. Ketiga sifatnya suprafungsional yang didalamnya tersangkut keseluruhan tugas-tugas yang tidak dapat disebutkan satu per satu aspek dari keseluruhan tugas tersebut, misalnya peleburan sebagian anggota-anggota suatu bangsa.
Kemasyarakatan unifungsional mengabdi pada kepentingan khusus, kemasyarakatan superfungsional mengabdi pada kepentingan umum (bersama), sedangkan kemasyarakatan multifungsional mengabdi pada kepentingan khusus dan kepentingan umum. Kepentingan umum (bersama) bukan berarti kepentingan dalam kemasyarakatan itu sama. Kepentingan bersama merupakan keseimbangan (equilibrium) diantara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan jumlah aspek-aspek yang senilai dari kepentingan bersama adalah sama dengan jumlah kemungkinan-kemungkinan dari berbagai macam yang bertentangan yang hakikatnya dapat berubah-ubah.

2)   Jenis-jenis Hukum yang Bersesuaian dengan Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Mikrososiologi hukum membedakan jenis hukum yang sama jumlahnya dengan bentuk kemasyarakatan yang aktif. Jenis-jenis hukum berdasarkan klasifikasi sosiologis secara horizontal, mengemukakan perbedaan jelas antara hukum sosial dan hukum perseorangan (hukum antar perseorangan, inter individual law). Hukum sosial adalah suatu hukum yang berdasarkan integrasi obyektif ke dalam “Kita” ke dalam keseluruhan yang imanen. Orang diperbolehkan dikenakan hukum dan ikut langsung ke dalam keseluruhan untuk mengambil bagian dalam hubungan-hubungan hukum. Hukum sosial berdasarkan pada kepercayaan sehingga hukum sosial tidak dapat dipaksakan dari luar dan hanya mengatur dari dalam dengan cara imanen. Sehingga hukum sosial itu bersifat otonom.
Hukum perseorangan (individual law) merupakan hukum antar perseorangan dan kelompok yang berdasarkan pada ketidakpercayaan (curiga). Hukum perseorangan mendekatkan orang-orang dengan lainnya namun juga memisahkan dan membatasi kepentingan mereka. Terdapat hukum perdamian yang saling bantu-membantu, mempunyai tugas yang diemban bersama-sama namun di sisi lain terdapat hukum sengketa, hukum peperangan dan hukum perpisahan, yang dapat memecah belah mereka. Berdasarkan tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban dalam hukum sosial dan hukum perseorangan sangatlah berbeda. Hukum sosial dengan tuntutan dan kewajiban yang saling susup-menyusupi satu sama lain yang merupakan keseluruhan yang tidak terpecahkan dan yang berlaku adalah keadilan distributif. Dalam hukum perseorangan tuntutan dan kewajiban hanya membatasi dan saling bertabrakan serta menggunakan keadilan komutatif.
Dalam kemasyarakatan interpenetrasi terbagi dalam massa, perkauman (community) dan communion maka hukum sosial dapat dibagi menurut tingkat intersitanya yakni hukum sosial untuk massa, hukum sosial untuk perkauman, dan hukum sosial untuk communion.
Hukum sosial massa, bahwa ikatan persatuan dalam massa itu sangat lemah namun daya tekannya sangat kuat, maka hukum sosial sebagai pengintegrasi berlaku tidak kuat dan lebih banyak melakukan kekerasan. Integrasi yang tercapai hanya terlihat pada permukaan saja. Hukum berlaku bergantung kepada jaminan yang menjadi dasarnya. Tuntutan dari kelompok menguasai kewajiban-kewajibannya sehingga unsur atributif hampir lenyap menghilang kebelakang unsur yang bersifat imperatif. Sedangkan hak-hak dari anggota yang berintegrasi tidak dapat diketengahkan. Hukum sosial massa berciri hukum obyektif (perintah-perintah) yang hampir mengabaikan hak-hak subyektif. Maka hukum yang mengintegrasikan massa di antara semua bentuk hukum sosial adalah yang paling dekat kepada hukum penguasaan yang subordinatif.
Hukum sosial perkauman, pada hakikatnya perkauman merupakan peleburan untuk sebagain (partial fusion) dan tekanan maka asas hukum sosial yang timbul dalam perkauman ditandai dengan sifat-sifat yang mengikat dan keras. Sifatnya yang mengikat dari hukum sosial perkauman dipengaruhi oleh dua faktor asasi, sebagaimana yang dikemukakan. Pertama, perkauman adalah bentuk paling seimbang dari kemasyarakatan (sociality) yang berdasarkan interpenetrasi dan biasanya merupakan suatu ikatan sosial yang sangat mantap (stable), yang paling mudah terwujudkan di dalam suatu kelompok. Ini biasanya memberi suatu keteguhan dan kekuatan yang jauh melebihi apa yang diduga kepada fakta normatif dari masyarakat, kepada jaminan yang menjadi tempat berpijaknya hukum tersebut. Kedua, perkauman pada umumnya merupakan suatu bentuk kemasyarakatan yang sangat menguntungkan bagi lahirnya hukum, karena disanalah kepercayaan-kepercayaan hukum cenderung untuk dibedakan dari kepercayaan-kepercayaan moral dan ekstase mistik (bersifat religi dan magi), seperti yang sering berlaku dalam communion. Dalam hukum sosial perkauman suasana atau iklim dari suatu perkauman (community) adalah suatu milieu yang sangat baik bagi keseimbangan antara hukum sosial yang obyektif dan hak-hak yang subyektif.
Hukum sosial communion, mendefinisikan communion sebagai peleburan sebagian (partial fusion) yang paling kuat  dan tekanan yang paling lemah maka hukum sosial communion ditandai dengan asas yang berwibawa dan tekanan yang kurang. Misalnya wibawa adat yang diperlemah karena umur communion yang sangat singkat karena ketiadaan kematapan (stability) dari interpenetrasi yang dalam. Communion sering bercorak karismatis dan mistis. Lingkungan yang lebih pada kepercayaan-kepercayaan agama dan moral daripada kepercayaan-kepercayaan hukum. Dalam kelompok dengan hukum sosial communion, hukum sosial obyektif menguasai hak-hak subyektif.
Bentuk kemasyarakatan berdasarkan interdependensi dan pembatasan yang dibagi dalam hubungan yang berdasarkan perpisahan, penyelarasan kembali (rapprochement) dan yang sifatnya sempurna maka hukum perseorangan dapat dibagi atas hukum perseorangan berdasarkan pemisahan, hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, dan hukum perseorangan berdasarkan struktur campuran.
Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan, hukum ini timbul dari sengketa, pertentangan, benturan, dan persaingan di dalam keseluruhan (kelompok) mereka. R. Ihering , merasa  yakin bahwa semua hukum perseorangan mempunyai asal yang sama, dan tidak lain dan tidak bukan adalah prosedur hukum mengenai sengketa-sengketa bersifat formal dan menjamin kesetiaan segenap pihak kepadanya. Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan merupakan tipe yang sangat umum dalam hukum perseorangan karena tidak dibatasi oleh hukum rapprochement maupun hukum perseorangan campuran. Hukum jenis ini mudah mengubah dirinya menjadi hukum siapa yang terkuat (law of the strongest) yang selanjutnya melebur kesegala peraturan hukum kemudian menjadi kekerasan. Singkatnya, hukum perseorangan berdasarkan  pemisahan unsur atributnya mendorong pemisahan dan menguasai unsur imperatif yang hampir tidak kelihatan.
Hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, hukum rapprochement atau dinamakan juga hukum penyelarasan kembali memiliki bentuk yang agak aneh. Hukum ini ditandai dengan adanya hubungan yang pasif. Mungkin untuk menemukan peristiwa-peristiwa yang didalamnya rapprochement adalah suatu unsur utama, tetapi tidak istimewa dari hubungan-hubungan dengan yang lainnya, adalah suatu unsur yang dihalangi oleh sedikit pemisahan yang masih ada. Itulah sebabnya rapprochement menjadi bentuk kemasyarakatan yang aktif dan memisahkan hukum. Hubungan-hubungan aktif berdasarkan rapprochement terdapat misalnya apabila diberikan hadiah-hadiah berharga untuk memulai suatu hubungan, atau apabila diadakan konsensi-konsensi tanpa dikembalikan dan tanpa pengertian adanya kewajiban untuk mengembalikan dan lainnya. Dalam hukum perseorangan rapprochement unsur imperatif lebih utama dan menguasai unsur atribut, serta merupakan tipe yang paling bersifat damai dari hukum individual. Ketika suatu pemberian (hadiah) diiringi dengan asas memberi dan mengambil ataukah konsensi terjadi bersifat timbal balik (reciprocal) maka hukum perseorangan rapprochement berubah menjadi hukum perseorangan yang campuran.
Hukum perseorangan yang berstruktur campuran, hukum ini menyeimbangkan hukum pemisahan dan hukum rapprochement. Bentuk hukum perseorangan adalah paling umum dan lazim. Ini adalah bentuk yang terpikir oleh orang pada umumnya, apabila hukum antar perseorangan dan antar kelompok bertentangan dengan hukum sosial. penjelmaan klasiknya adalah hukum kontrak dan harus pula ditambahkan kategori yang lebih luas daripada hukum transaksi, kredit-kredit, dan segala macam kewajiban. Ikatan hukum yang diselenggarakan dengan kontrak itu terdiri atas: a) suatu konvergensi kemauan-kemauan dari pihak-pihak yang saling mengadakan perjanjian dengan maksud menyelenggarakan kewajiban timbal balik yang berlaku dikemudian hari (rapprochement) dan b) oposisi (pertentangan) dari dua atau lebih kemauan-kemauan yang berusaha betul-betul mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan (untuk memberi sesuatu atau menerima sesuatu dan lain-lainnya: pemisahan). Pihak yang saling mengadakan perjanjian selaras dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan jika mengenai klausul-klausul kebendaan dan cara melaksanakannya (pemisahan). Maka tidak mungkin menyifatkan dengan secara tegas, sebagaimana yang sering diusahakan secara salah, hubungan kontrak, baik sebagai konsensus kemauan-kemauan dan kewajiban-kewajiban (Durkheim) maupun sebagai sengketa serta ketentuannya (Tonnies). Rahasia ikatan-ikatan kontrak, maupun ikatan-ikatan pertukaran pada umumnya, berbagai macam kewajiban dan lain sebagainya, terletak dalam saling hubungan antara rapprochement dan pemisahan.
Hukum sosial massa, hukum perkauman (community) dan hukum kecama’ahan (communion) adalah kesimpangsiuran dengan hukum sosial dari peleburan-peleburan unifungsional dan superfungsional, yakni hukum yang mengabdi kepada kepnetingan umum atau khusus. Yang harus diperhatikan hanyalah, bahwa hukum sosial peleburan-peleburan superfungsional selalu merupakan hukum umum, hukum sosial dari persatuan-persatuan unifungsional, selalu berupa hukum khusus. Meski pun demikian, ada kecokragaman bentuk-bentuk dari hukum sosial yang spontan (dinyatakan secara skematis, tidak kurang dari dua puluh empat), bermula dengan hukum sosial khusus dari massa yang unifungsional dan berakhir dengan hukum sosial umum dari communion yang bersifat unifungsional atau multifungsional, hukum sosial untuk umum dari perkauman yang multifungsional atau superfungsional.

b.    Sosiologi Hukum Sebagai Pelukisan Lapisan-Lapisan Kedalaman
Setiap jenis hukum yang dibahas sampai sekarang ini, merupakan suatu skala lapisan-lapisan yang bertingkat, baik hukum sosial, hukum massa, hukum perkauman, hukum communion, hukum unifungsional, multifungsional maupun superfungsional dengan segala kehidupan sosial mengembangkan dirinya melalui tingkatan yang skematis dan simbolisme menuju kedinamisan dan kesegeraan (immediacy) yang mengarah ke bawah dan sebaliknya dari spontanitas dan keluwesan kekristalisasi dan konseptualisasi yang kuat mengarah ke atas. Memungkinkan ditemukannya dalam semua hukum suatu kemajemukan vertical (vertical pluralim) dan mempunyai segi rangkap. Ada hukum yang tidak terorganisasi yang selalu hadir di bawah hukum yang terorganisasi. Dilain pihak ada hukum yang ditentukan terlebih dahulu, hukum luwes (fleksibel) yang dirumuskan ad hoc dan hukum intuitif.
Dua klasifikasi vertikal ini, yang sering mengacukan satu sama lain, pada hakikatnya tidak saling bersesuaian sama sekali, kerana hukum yang tak terorganisasi keduanya dapat dikenal dengan tiga macam cara yang berlain-lainan mendahului, ad hoc dan segera. Keduanya tetap hukum positif, karena berdasarkan “fakta-fakat normatif” yang menjaminnya dank arena dikenal oleh tiga prosedur tersebut. Dengan demikian, kita akan menunjukkan bahwa dua segi klasifikasi itu bersilang, dan menuju kepada pengenalan enam macam tingkatan kedalam di dalam sesuatu jenis hukum, yakni: a) hukum terorganisasi yang telah ditentukan lebih dahulu; b) hukum terorganisasi luwes; c) hukum intuitif yang terorganisasi; d) hukum yang tak terorganisasi yang ditentukan lebih dahulu; e) hukum tidak terorganisasi yang luwes; f) hukum tidak terorganisasi intuitif.
Hukum yang tidak terorganisasi dan yang terorganisasi. Hubungan-hubungannya yang berlain-lainan. Hukum yang terorganisasi selalu diletakkan di atas hukum yang tidak terorganisasi yang selalu cenderung menutupi dirinya dengan hukum terorganisasi yang lebih mantap dan keras. Antara hukum yang terorganisasi dan hukum yang tidak terorganisasi tetap selalu timbul ketegangan dan tingkat kehebatannya berubah-ubah. Hal ini timbul karena hukum yang terorganisasi tidak pernah untuk keseluruhannya dapat menyatakan hukum yang tidak terorganisasi. Sebaliknya, hukum yang tidak terorganisasi dapat hidup tanpa kulit hukum yang terorganisasi.
Di lapangan hukum sosial, hukum tidak terorganisasi memainkan peranan yang jauh lebih besar dibandingkan di lapangan hukum antar perseorangan. Di lapangan hukum antar perseorangan kelancaran hubungan-hubungan dengan orang lain haruslah direduksi menjadi pola-pola yang tipis yang berhubungan dengan superstruktur terorganisasi yang ada arti hukumnya. Sebaliknya hukum sosial berlaku juga tanpa perantara apapun di dalam tiap-tiap interpenetrasi yang konkrit yang kekhususannya dijelmakannya hic et nunc. Dalam hukum sosial, sengketa, dan kompromi antara tingkatann-tingkatan terorganisasi dan tingkatan-tingkatan yang spontan dari kehidupan hukum memainkan peranan yang utama. Demikianlah, agar mendapatkan kejelasan yang lebih nyata, kita hendak membatasi analisis kita pada lapangan ini saja.
Adanya hukum sosial terorganisasi yang diletakkan di atas hukum yang spontan, baik hukum massa, perkauman, atau communion, maka jenis-jenis hukum yang terorganisasi dibagi atas hukum massa yang terorganisasi, hukum perkauman yang terorganisasi, dan hukum communion yang terorganisasi.
Hukum massa yang terorganisasi, bahwa peleburan-peleburan yang kurang intensif (massa) dan peleburan-peleburan yang paling intensif (communion) merupakan milieu yang paling kurang baik untuk menegakkan superstruktur-superstruktur yang terorganisasi. Dalam hal ini superstruktur tidaklah bersesuaian dengan tingkat penyatuan dari infrastruktur. Superstruktur yang terorganisasi sukar mempertahankan dirinya. Jika terdapat perlawanan lebih besar dari kemasyarakatan spontan maka organisasi memisahkan diri. Semakin mampu massa mempertahankan diri maka sering organisasi itu mampu memperkuat “jarak” yang memisahkannya dengan infrastruktur, menimbulkan keseganan bagi yang ada diluarnya, mengintensifkan transendensi dan kekerasan, serta mempunyai kecenderungan menjadi organisasi dominasi yang bersifat menguasai dan memiliki hukum yang subordinatif.
Hukum perkauman yang terorganisasi, karena adanya penyatuan secara pukul rata menjadi corak khusus perkauman yang dapat bersesuaian dengan penyatuan superstrukturnya yang terorganisasi dan kehidupan langsung dari bentuk kemasyarakatan dan kelangsungan akar-akarnya di dalam bentuk kemasyarakatan yang spontan. Ini terjadi karena setiap organisasi yang dilihat dari segi hukum merupakan suatu jaringan hak-hak sosial “subyektif” yang memberi dan membagi kompetensi-kompetensi, maka hukum perkauman yang spontan yakni antara keseimbangan antara hukum “obyektif” dan hak-hak “subyektif” yang merupakan cirinya, menyatakan dirinya lebih mudah dalam lingkungan yang terorganisasi daripada sesuatu hukum spontan yang mana pun juga. Hukum sosial yang spontan dalam perkauman mengikat, mantap, dan pelanggaran-pelanggaran menimbulkan ketidaksetujuan spontan yang ringan, akibatnya hukum perkauman cenderung memiliki sifat-sifat otoritas dan paksaaan dengan kekerasan.
Hukum communion yang terorganisasi, penyatuan (unifikasi) communion lebih kuat daripada superstruktur yang terorganisasi maka yang tersebut terakhir disini mempunyai dan banyak kesukaran untuk mempertahankan dirinya dan untuk melestarikan dirinya selalu berakar dalam infrastruktur yang ada di bawahnya. Communion cenderung menyempit dan pecah belah sedangkan organisasi cenderung meluas atau mempertahankan status quo. Maka bentuk masyarakatan yang terorganisasi yang letaknya di atas communion hampir tidak dapat menegakkan dirinya sendiri, misalnya dalam bentuk kemsyarakatan kuno, dimana communion menempati tempat teratas dan organisasi ditingkat minimumnya.
Hukum yang ditentukan lebih dahulu, Hukum Luwes yang ditemui and hoc, Hukum Intuitif. Segala hukum yang spontan, sebagaimana halnya dengan semua hukum yang terorganisasi yang dikenali dengan tiga cara oleh karena itu dapat dibedakan enam lapisan kedalaman dari kenyatan hukum.
(a)      Hukum terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu. Lapisan yang teratas dan yang paling kaku dari kenyataan hukum ini adalah hukum yang berhubungan dengan organisasi yang tertib teliti dan sementara itu diakui oleh undang-undang, “hukum-hukum”, praktek pengadilan, perkara-perkara, dan lain-lainnya. Corak statis dari hukum demikian itu disebabkan oleh dua hal: hampir tidaknya gerak yang dari yang terorganisasi dibandingkan dengan yang spontan, dan penetapan oleh suatu prosedur pengenalan teknis yang bertujuan mencegah kesangsian, penciptaan suatu pola membeku yang menguntungkan keamanan hukum, yang kalau tidak, tingkat kekakuannya dapat berubah-ubah.
(b)     Hukum luwes yang ditemui ad hoc. Sifat kurang dinamis dari semua hukum yang terorganisasi di sini menjadi berkurang karena cara menemukannya, yang memperhatikan peristiwa-peristiwa dan perkara-perkara yang konkret, sebagaimana halnya dengan hukum yang mengatur berfungsinya ke dalam dari semua organisasi-organisasi, misalnya hukum dari semua administrasi dan dinas pemerintahan, khususnya hukum-hukum sewenang-wenang dan menegakkan disiplin, hukum polisi kehakiman (police juridique), dan lain-lainnya.
(c)      Hukum intuitif yang terorganisasi. Sifatnya boleh dikatakan kaku dari hukum yang terorganisasi dapat dibatasi lebih lanjut oleh cara pengenal secara intuitif. Yakni apabila fakta normatif yang terorganisasi diakui atau dikenali secara langsung oleh pihak-pihak bersangkutan yang tertentu. Hukum intuitif memainkan peranan pada tingkat kehidupan soaial yang terorganisasi dalam menerapkan secara efektif hukum-hukum yang luwes maupun yang ditentukan terlebih dahulu dengan mengisi kekosongan-kekosongan di dalamnya dan mengubah arti-artinya.
(d)     Hukum spontan yang ditetapkan. Hukum spontan ternyata sering dinyatakan lebih dahulu oleh teknik-teknik yang sedikit banyaknya menghentikan geraknya. Hukum ini lebih dinamis daripada hukum terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu, tetapi dengan membandingkan unsur-unsur dari kedua jenis hukum terorganisasi lainnya (hukum luwes atau intuitif) adalah lebih sukar, karena disini semuanya bergantung kepada corak serba tertib dan cermat dari sumber formal, kepada situasi-situasi yang konkret dan kepada keseimbangan-keseimbangan yang tidak mantap (goyah).
(e)      Hukum spontan yang ditemui ad hoc. Disini dinamisme hukum yang tidak terorganisasi hanya mendapat rintangan-rintangan yang tidak seberapa banyaknya. Contoh ialah hukum spontan yang dikenali oleh pemeriksaan bebas oleh seorang hakim, hukum “standars and diretives” dalam ilmu hukum Anglo Saxon, hukum spontan yang dikenal oleh pengakuan adanya tingkat keadaan-keadaan baru yang datang dari pihak yang dirugikan sendiri (misalnya konsensi-konsensi oleh majikan dalam hukum perburuhan, atau oleh suatu kelompok negara-negara dalam  hukum internasional, dan lain-lainnya).
(f)      Hukum spontan intuitif. Inilah tingkat terdalam dan paling dinamis dari kenyataan hukum. Sifat gerak dari hukum tidak terorganisasi tidak lagi dicampuri oleh cara pengenal, yang sendirinya selalu bergerak dan berubah dengan cepat. Hukum spontan intuitif, berdasarkan pemahaman secara langsung tanpa prosedur-prosedur yang formal dari fakta-fakta tidak terorganisasi yang normatif, oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri, memainkan peranan yang penting sekali dengan memberi kemungkinan bergerak kepada kehidupan hukum.
Sebagaimana yang telah diuraikan, enam lapisan hukum yang diperbedakan oleh mikrososiologi vertikal itu saling bersilangan dengan berbagai hukum sebagai hasil pembagian mikrososiologi horizontal. Secara skematis, pembagian ini menghasilkan tidak kurang dari 162 (27x6) jenis hukum yang saling bertabrakan dan saling berseimbangan di dalam setiap kerangka hukum, yang intensitas dan aktualitasnya sesuai dengan setiap kelompok, setiap satuan kolektif yang nyata. Jelaslah, bahwa kita mengutarakan angka ini semata-mata untuk menyingkapi suatu gambaran yang sebenarnya dari “mikrokosmos hukum” yang pada asasnya atau setidak-tidaknya pada kenyataannya, terdapat pada setiap kelompok yang aktif, betapa pun kecilnya kelompok itu.  Mikroskomos inilah yang melarang kita menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang terlalu cepat dan gegabah mengenai corak atau watak hukum dari berbagai pengelompokan (misalnya negara, serikat-serikat buruh, gereja-gereja dan lain-lain), dan tentang keteraturan (regularistios) yang menguasai perubahan-perubahan sistem-sistem yang bersesuaian dengan tipe-tipe masyarakat menyeluruh.

2.    SOSIOLOGI HUKUM DIFERENSIAL

Tipologi Hukum Dari Pengelompokan-pengelompokan Khusus

a.    Klasifikasi Pengelompokan Sosial
Sebagaimana sosiologi hukum sistematis mengawali dengan klasifikasian bentuk-bentuk kemasyarakatan, dan sosiologi hukm diferensial mengawalinya dengan mengklasifikasikan tipe-tipe kelompok atau satuan-satuan kolektif yang nyata, sebagaimana kenyataan hukum itu dipelajari nantinya berdasarkan fungsinya. Setiap kelompok, fungsi-fungsi setiap satuan keolektif yang nyata, merupakan suatu sintesa, suatu keseimbangan dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, kesatuan yang sementara itu diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang lebih luas dari masyarakat yang menyeluruh. Apakah yang member corak khusus kepada kelompok-kelompok khsusus ialah unsure sintesa yang bersifat menyatukan, tetapi tidak bersifat total. Tenaga-tenaga yang sentripetal (mengarah ke pusat) lebih berkuasa dari tenaga-tenaga sentrifugal (lari dari pusat); kesatuan akal budi kelompok lebih berkuasa daripada masyarakat majemuk (plurality) dari bentuk-bentuk masyarakat yang diintegrasikan, tetapi dengan syarat bahwa kelompok khusus itu sama sekali tidak terlepas dari masyarakat menyeluruh (all inclusive society), dan tetap ada di dalam suatu keseluruhan yang lebih luas.
Kelompok-kelompok khusus merupakan unsure-unsur pokok dari setiap kelompok yang menyeluruh, dan yang tersebut terakhir ini member corak kesejarahannya. Kelompok-kelompok sama sejenisnya yang berintegrasi; misalnya dalam masyarakat-masyarakat kuno, fasis, atau masyarakat lainnya;berbeda-beda bukan saja berupa fungsi-fungsi daripada keseimbangan-keseimbangan yang tidak stabil yang tersusun oleh bentuk-bentuk kemasyarakatan yang secara tetap ada didalamnya, sejarah dari lingkungan-lingkungan kebudayaan (Timur, Barat, dan lain-lainnya), dan tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh termasuk didalamnya. Keluarga atau kelompok jabatan misalnya mungkin akan berlainan sekali strukturnya dalam satu situasi yang konkret dibandingkan dengan kelompok-kelompok itu dalam situasi yang lainnya. Dalam masyarakat kuno, keluarga adalah identik dengan klan, klan ini identik dengan gereja, serta kelompok politik, kelompok jabatan adalah identik dengan persaudaraan magis, sebagaimana dalam tipe-tipe yang menyeluruh, kelompok jabatan ini identik dengan kasta, atau dengan perkumpulan bebas, atau dengan jawatan umum, dan lain-lainnya. Di dalam keluarga, bahkan berbeda dengan kelompok-kelompok lain, terkadang yang berkuasa adalah keluarga sekerabat, terkadang keluarga berdasarkan perkawinan, terkadang hanya rumah tangga. Tipe-tipe kelompok adalah lebih konkret, lebih terpengaruh oleh perubahan-prubahan kesejrahan dan geografis daripada bentuk-bentuk kemasyarakatan, itulah sebabnya maka klasifikasi ini adalah lebih sukardan lebih mustahil daripada pengklasifikasian unsur-unsurnya. Selain itu, jikalau pelukisan kelompok-kelompok dapat berhasil sepenuhnya hanya apabila diperhatikan tipe-tipe dari segala masyarakat yang menyeluruh, yang didalamnya mereka itu diintegrasikan, poin-poin yang menyokong pentingnya studi itu, yakni orang harus bersandar kepada suatu klasifikasi umum dari kelompok-kelompok.
Klasifikasi ini haruslah berdasarkan serangkaian kriteria-kriteria yang cermat, yang pada umumnya adalah saling bersilangan. Kriteria-kriteria itu hendaknya adalah sebagai berikut: 1) luasnya, 2) lamanya, 3) fungsinya, 4) sikapnya, 5) Asas organisasinya, 6) bentuk paksaannya, 7) jenis persatuannya.
Kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok yang menyeluruh. Satuan kolektif yang nyata terbagi menurut luasnya di dalam kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok yang meliputi. Kelompok yang meliputi ini di dalamnya bentuk kemasyarakatan superfungsional diwujudkan. Kelompok yang meliputi didapatkan dalam bangsa, masyarakat internasional dan umat manusia. Sedangkan kelompok khusus, misalnya negara, kota, gereja, keluraga, dan serikat buruh, jabatan-jabatan, kelas-kelas, dan lainnya hanya merupakan kelompok-kelompok sebagian yang terbatas karena tidak mewakili lebih dari satu sektor dari kelompok menyeluruh. Di dalam pengelompokan ini hanya dapat diwujudkan bentuk kemasyarakatan fungsional.
Kelompok-kelompok yang temporer dan yang bertahan lama. kelompok-kelompok menyeluruh saja yang pada hakikatnya berlangsung lama, sebaliknya kelompok-kelompok lainnya hanya bersifat sementara. Kelompok yang bersifat sementara misalnya; (1) orang banyak (crowds), (2) pertemuan-pertemuan (meeting), (3) demonstrasi-demonstrasi, (4) komplotan-komplotan, (5) gerombolan-gerombolan (bands), (6) regu olahraga untuk satu kali pertandingan, dan sebagainya. Kebanyakan kelompok khusus berlangsung lama, tetapi tidak sama lamanya dan pembubarannya banyak sedikitnya dihalangi rintanagn-rintangan.
Kelompok-kelompok menurut fungsi-fungsi. Semua kelompk untuk sebagainnya yang berlangsung lama dapat dibagi dalam tiga tipe, bergantung kepada sifat umum fungsi-fungsinya dan tidak tergantung kepada hal apakah bentuk unifungsional atau multifungsional yang berkuasa dalam menyeimbangkan mereka. Tipe-tipe itu ialah: (1) Kelompok kekeluargaan berdasarkan nenek moyang mistis atau nenek moyang yang sebenarnya, misalnya klan, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga sekerabat, kelompok anak-anak, dan lainnya. (2) Kelompok berdasarkan daerah dihubungkan dengan tempat tinggal dekat satu sama lain, misalnya dusun, kotapraja, kabupaten, daerah, negara, atau masyarakat politik atau kelompok ketatanegaraan. (3) Kelompok kegiatan ekonomi, semua kelompok yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi, misalnya jabatan-jabatan, serikat buruh, koperasi, kasta-kasta, pabrik, dan sebagainya. (4) Kelompok yang tidak mendapatkan keuntungan berupa uang, misalnya partai politik, perhimpunan-perhimpunan kesarjanaan, perkumpulan olahraga, klub-klub. (5) Kelompok mistis-ekstatis, misalnya gereja-gereja, kongregasi-kongregasi, orde-orde keagamaan, persaudaraan magis, sekte-sekte, dan lain-lain. (6) Kelompok-kelompok persahabatan atau kelompok teman semeja, pemuja-pemuja dan penganut-penganut seorang pemimpin dan lainnya.
Kelompok-kelompok yang terpecah dan kelompok-kelompok yang bersatu. Persaudaraan oleh pertalian darah (kinship), kegiatan-kegiatan ekonomi-ekonomi mistis ekstatis diantara mereka sendiri dibagi menurut sikap mereka dalam kelompok-kelompok terpecah dan bersatu. Kelompok-kelompok bersatu selalu memiliki sikap berdamai, misalnya suku/marga, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga kerabat, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, industri-industri, kelompok filantropis, kesarjanaan, gereja-gereja, dan kelompok yang bersatu lainnya. Kelompok anak-anak yang merupakan lawan kelompok-kelompok orang tua merupakan kelompok yang terpecah. Misalnya juga serikat buruh, organisasi pengusaha, perkumpulan produsen dan konsumen, partai politik, kelompok magis-ekstatis, sekte-sekte keagamaan termasuk dalam kelompok terpecah.
Kelompok-kelompok yang Tidak Terorganisasi dan yang Terorganisasi. Kebanyakan kelompok, juga yang bersifat sementara, pada kenyataannya  memiliki kemampuan untuk berorganisasi. Pada hakikatnya, kemampuannya itu adalah berkaitan dengan lebih berpengaruhnya bentuk kemasyarakatan aktif dibandingkan bentuk kemasyarakatan pasif, karena yang tersebut terakhir ini tidak dapat menjelma dalam superstruktur yang terorganisasi. Lazimnya, bentuk kemasyarakatan, sebab setiap kelompon bersifat melaksanakandan memelihara kesatuannya karena perbuatan diperlukan untuk membentuk kelomopok. Kita hanya dapat mengemukakan suatu kekecualian: dalam kelompok-kelompok persahabatan dan pemujaan (adoration), bentuk kemasyarakatan yang pasif biasanyan merupakan sifatnya yang terutama dan lazimnya pun mencegah pengorganisasian. Pada kenyataannya bahwa kebanyakan kelompok dapat berorganisasi sama sekali tidak berarti bahwa organisasi disusun dengan sebaik-baiknya. Banyak kelompok yang tetap tidak terorganisasi, meskipun mampu berbuat demikian (misalnya kelas-kelas masyarakat, jabatan-jabatan, industry-industri, kelompok-kelompok aktivitas ekonomi, masyarakat ekonomi dalam keadaan-keadaan yang tertentu). Kemungkinan untuk berorganisasi bergantung kepada situasi dalam masyarakat menyeluruh yang di dalamnya kelompok-kelompok itu diintegrasikan.
Kelompok dengan Paksaan yang Bersyarat dan Tidak Bersyarat. Jikalau jaminan yang mengelilingi semua hukum adalah suatu fakta kemasyarakatan yang bersifat spontan, jikalau derajat kekerasan dan kelunakan paksaan (termasuk hubungan antara paksaan represif dan restitutif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Durkheim) ditentukan oleh rintangan-rintangan atau dorongan-dorongan untuk mewujudkannya yang diorganisasi oleh bentuk kemasyarakatan yang spontan, maka kontras antara paksaan yang bersyarat dan paksaan yang tidak bersyarat timbul dari kesatuan kelompok itu sendiri. Itulah sebabnya, maka perbedaan antara paksaan yang bersyarat dan yang tidak bersyarat duhubungkan dengan perbedaan antara berbagai tipe-tipe kelompok dan dapat memberikan suatu kriteria bagi klasifikasinya.
Pada hakikatnya, paksaan-paksaan yang bersyarat mempunyai bentuk serba keras dan represif (misalnya hukum siksa dan penjara oleh gilda-gilda dan universitas-universitas pada abad pertengahan; boikot dan pemecatan oleh serikat-serikat buruh modern; perang penghukuman, sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Dasar Liga Bangsa-Bangsa). Sebaliknya, paksaan-paksaan yang tidak bersyarat bersifat lunak dan bersifat restitutif (mengganti kerugian) misalnya denda-denda ringan, kewajiban membayar karena menyebabkan kerusakan-kerusakan dalam hukum sipil, namun yang demikian itu tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa secara hukumnya atau secara sahnya tidak mungkin melolokan diri daripadanya, karena paksaan-paksaan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak dapat ditinggalkan oleh anggota-anggotanya sesuka hatinya.
Kelompok-kelompok unitaristis, federalistis, dan konfederalistis. Tiap-tiap kelompok, karena merupakan suatu sintesa dan keseimbangan, dan sedkit banyaknya  telah mencapai persatuan, maka diperlukanlah suatu klasifikasi kelompok-kelompok menurut luasnya persatuan mereka itu. Tetapi ini hanya mungkin berkenaan dengan kelompok-kelompok yang terorganisasi, karena hanya disitulah derajat persatuan itu menunjukkan dirinya dengan cara yang mungkin dapat dipahami dalam pola-pola yang dicerminkan dan ditentukan terlebih dahulu, berdasarkan kompetensi-kompetensi dari organisasi digabung dan ditetapkan hierarkinya. Kelompok yang terorganisasi adalah unitaristis, apabila organisasinya merupakan suatu sintesa langsung dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, atau apabila sub-sub organisasi yang terdapat di dalamnya memainkan peranan kecil karena organisasi pusat menguasai mereka (misalnya segala macam desentralisasi). Kelompok federalistis, apabila organisasinya merupakan satu sintesa dari sub-sub organisasi, yakni satu sintesa yang sedemikian rupa sehingga kelompok pusat dan sub-sub kelompok senilai dalam membentuk persatuan. Sedangkan kelompok yang konfederalistis, apabila organisasinya adalah satu sintesa sub-sub organisasi yang demikian tersusun sehingga sub-sub organisasi berkuasa atas kelompok pusat.
Sebagian terbesar dari kriteria yang menjadi dasar klasifikasi kelompok-kelompok ini saling bersilangan, sehingga timbul sedemikian banyak tipe. selain itu, kita harus memperhatikan kenyataan bahwa tipe-tipe yang kita ciptakan itu sangat luas dan sering memerlukan pembagian lagi berupa subtipe-subtipe (kelompok-kelompok memecah seperti sekte, jabatan, golongan sosial, partai politik secara sosiologis sangat berbeda satu sama lain, yang masing-masing memerlukan studi tersendiri) dan bahwa tipe-tipeitu berbeda satu sama lain sebagai fungsi-fungsi dari situasi-situasi dalam masyarakat yang menyeluruh. Dengan demikian haruslah ditarik kesimpulan bahwa hanya penyelidikan-penyelidikan “Sosiografis” yang luas dan secara empiris melukiskan jumlah dan corak ragam kelompok-kelompok khusus yang tidak terhingga banyaknya, dalam suatu masyarkat yang menyeluruh pada suatu masa kesejarahan (catatan penerjemah: masa yang berkaitan dengan sejarah) yang tertentu, dapat member gambaran yang lengkap dan jelas. Setiap klasifikasi umum dari tipe-tipe kelompok tidak dapat menjadi lain daripada tetap skematis dan abstrak, karena sesungguhnya ia hanya merupakan suatu program penyelidikan sosiografis yang konkret, sedang klasifikasi hanya merupakan satu titik penyangga bagi penyelidikan-penyelidikan itu. Tetapi, justru ini membenarkan dan menegaskan manfaatnya menelaah tipe-tipe  kelompok yang khususnya terbukti jika diterapkan kepada masalah-masalah sosiologi hukum diferensial yang menelaah kerangka-kerangka hukum atau tata tertib hukum yang sesuai untuk tipe itu  masing-masing.

b.    Diferensiasi Kerangka-Kerangka Hukum Sebagai Tipe Kelompok
Setiap kelompok yang didalamnya bentuk kemasyarakatan aktif memegang peranan terpenting dan yang  mewujudkan suatu nilai yang positif (seperti setiap bentuk kemasyarakatan yang memenuhi syarat-syarat ini, sedang kelompok yang bersangkutan merupakan sintesa yang mempersatukan) menyatakan dirinya sebagai “fakta normatif” yang melahirkan peraturan hukumnya sendiri. Fakta normatif kelompok adalah sumber bukan dari jenis-jenis hukum, melainkan dari keseimbangan tertentu di dalam kerangka hukum, suatu tata tertib hukum dari jenis-jenis hukum,  dalam kebanyakan hal dapat dianggap yang terutama sekali sebagai suatu sintesa berbagai jenis hukum sosial. Ini disebabkan oleh dua hal: pertama, karena hukum antar individu biasanya dilahirkan dari hubungan lahiriah antara kelompok-kelompok (hukum antar kelompok, sebagaimana hukum antar individu, dapat berupa hukum rapprochement, hukum pemisahan, atau campuran dari keduanya), atau antara individu-individu yang termasuk dalam berbagai kelompok. Kedua, karena pengaturan oleh hukum antar individu dalam kehidupan hukum yang telah jauh perkembangannya akhirnya dipusatkan di sekitar dua kerangka yang tertentu, yakni peraturan yang bersesuaian dengan kelompok negara politik kedaerahan (the politico-territorial state) (khususnya bagi hukum individual yang terorganisasi) dan peraturan yang bersesuaian dengan masyarakat ekonomi (khususnya bagi hukum individual yang spontan).
Kemampuan masing-masing dari berbagai kelompok untuk melahirkan Kerangka-Kerangka Hukum Tidaklah semua kelompok yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan mendapat keuntungan yang sama oleh struktur mereka bagi penyusunan kerangka-kerangka hukum. Pertama, kelompok-kelompok sementara waktu (transitory groups) tidak mempunyai stabilitas yang diperlukan untuk ini.orang banyak (crowds), rapat-rapat, komplotan-komplotan dan lain-lain. Lebih merupakan suatu kekacauan jenis-jenis hukum daripada suatu tata tertib hukum ketimbang menyeimbangkannya. Kedua, kelompok-kelompok yang selamanya tidak terorganisasi hanya dengan susah payah membangun kerangka-kerangka hukum, terkecuali kelompok-kelompok yang berlangsungnya untuk kurun waktu yang lama, seperti bangsa, masyarakat internasional, masyarakat ekonomis yang spontan (catatan penerjemah, spontan dalam buku ini adalah yang tercipta sendirinya), industry-industri dan lain sebagainya.
Rangka Hukum Politik, Ekonomi, dan Mistis-ekstatis. Sungguh penting untuk membedakan kelompok-kelompok menurut fungsi,menurut kadar persatuannya, dan akhirnya menurut tujuannya. Yang khusus menarik hati dilihat dari segi pertama ialah diferensiasi kerangka-kerangka hukum dalam kerangka-kerangka berdasarkan kelompok-kelompok, kelompok aktivitas ekonomi dan kelompok mistik-ekstatis. Kerangka-kerangka hukum yang dilahirkan kelompok-kelompok local selalu ditandai oleh sifat ketidak-daerahan (extra-teritoriality). Maka akibatnya ialah bahwa yang tersebut pertama lebih cenderung kepada kelakuan, sedang yang tersebut terakhir cenderung kepada kekenyalan (elasticity), keluwesan (flexibility) dan mobilitasnya. Hal ini terlihat jelas dalam kenyataan bahwa lingkungan subjek permasalahan yang diperundangkan dalam peraturan hukum territorial dapat lebih dahulu dilihat dan ditetapkan sebelumnya, sedang kerang-kerangka hukum yang bersesuaian dengan kelompok-kelompok ekonomisnya khususnya sering secara tidak terduga-duga muncul di atas subyek-subyek yang tidak ditentukan (misalnya perjanjian kolektif, pengaturan industri).
Kerangka Hukum Persatuan, Federal, dan Konfederasi. Sintesa jenis hukum tidak sama caranya dalam kerangka-kerangka hukum persatuan, federal, dan konfederasi, dan masing-masing memiliki corak-corak atau pola-pola khas sesuai dengan tipe-tipe kelompoknya. Demikianlah hukum komunion dan hukum massa memainkan peranan hanya dalam kerangka hukum persatuan, sedang dalam kerangka hukum federal dan konfederasi, hukum perkauman dengan sendirinya memegang peranan terpenting. Tetapi akibat yang menguntungkan terhadap efisiensi hukum dilenyapkan kembali oleh kenyataan bahwa kerangka-kerangka hukum federal dan konfederasi khususnya kembali  bersifat “formalistis”, yang hanya dapat dikenal melalui prosedur-prosedur yang ditentukan sebelumnya dan tidak memungkinkan bagi hukum yang luwes dan hukum intuitif. Selain itu, tipe-tipe tata tertib hukum ini berdiri di atas lapisan yang lebih tinggi daripada kerangka-kerangka persatuan (unitary frameworks), yang memungkinkan serentak semua metode pengenal, yang demikian mendapat intensitas sebagai pengganti dari ketelitian yang tidak mereka peroleh.
Kerangka Hukum yang Terpecah-belah dan Menyatukan. Kerangka-kerangka hukum yang bersesuaian dengan kelompok-kelompok yang terpecah-belah dan yang bersatu berbeda dalam kadar kefektifannya, yang ada hubungannya dengan keragaman aspek yang tidak sama dai sintesa jenis-jenis hukum yang dihasilkannya. Pada hakikatnya, tata tertib hukum suatu sekte, golongan sosial, jabatan, kelompok-kelompok produsen dan lain-lain, merupakan suatu keseimbangan yang sekaligus lebih disederhanakan dan lebih hebat daya kemampuannya daripada kerangka-kerangka hukum suatu gereja, kelompok niaga, industry, masyarakat ekonomis yang menyeluruh dan lain-lain. Dibandingkan dengan ketentuan hukum dari suatu kelompok yang menyatakan, maka “hukum golongan, hukum proletar, hukum borjuis, hukum golongan tengah dan lain-lain, dipandang dari segi ini, adalah sangat karakteristik. Dalam perjuangan, pertentangan “hukum proletar dan hukum borjuis”, kita tidak saja menjumpai suatu sengketa antara dua golongan itu masing-masing, tetapi juga suatu sengketa di antara pandangan-pandangan yang berbeda mengenai nilai-nilai hukum antara aspek-aspek keadilan. Itulah sebabnya maka keyakinan kolektif demikian kuatnya, sintesa yang mempersatukan yang semakin menyederhanakan dan semakin mengefektifkan kerangka-kerangka hukum ini.
Kerangka Hukum Nasional dan Internasional. Sampai sekarang kita telah menganalisis hanya tipologi hukum dari sebagian kelompok-kelompok. Jelas bahwa kelompok-kelompok yang menyeluruh juga melahirkan tata tertub hukumnya yang khusus. Di sini kita harus memandang kerangka hukum dari bangsa serta masyarakat internasional, karena umat manusia yang (ditengah-tengahnya bentuk-bentuk pasif dari kemasyarakatan memegang peranan terpenting) ternyata steriil dilihat dari sudut hukum. Tata tertib hukum nasional dan internasional mempunyai beberapa persamaan, dalam arti tata tertib itu mempunyai corak yang khas karena sifatnya yang supra fungsional. Ini terutama sekali berarti, bahwa tidak ada yang dapat menyatakan diri terkecuali dalam banyak ragam kerangka hukum fungsional (segi-segi nasional dan internasional); misalnya, hukum, politik, hukum ekonomi, hukum kegerejaan, dan lain-lain. Ini selanjutnya berarti, bahwa kerangka-kerangka hukum bangsa dan masyarakat internasional, demi strukturnya, tetap berbentuk spontan, menjalankan sintesanya yang bersifat mempersatukan di lapangan hukum tidak terorganisasi, hanya dengan menggunakan kerangka-kerangka hukum terorganisasi yang merdeka (misalnya, kerangka-kerangka hukum terorganisasi dari Liga Bangsa-Bangsa, Kantor Perburuhan Internasional, dan lain-lain). Akhirnya, tata tertib nasioanl dan internasioanl mempunyai kekuasaan hukum lebih tinggi daripada kerangka-kerangka dari sebagiannya yang diintegrasikan didalamnya (misalnya, tata tertib hukum bangsa lebih berkuasa daripada tata tertib hukum negara dan masyarakat ekonomi). Tata tertib ini mengatur hubungan-hubungan dan sengketa-sengketa di antara yang tersebut terakhir, yakni menetapkan mengenai hierarki atau persamaan. hukum perkauman memainkan peranan utama dalam kerangka hukum nasional, sedang dalam kerangka hukum internasional dikuasai oleh hukum massa. Tata tertib hukum nasional dan internasional mempunyai beberapa persamaan dalam arti mempunyai corak yang khas karena sifatnya yang suprafungsional.

c.    “Kedaulatan” dan Hubungan-Hubungan Antara Berbagai Tata Tertib Hukum dan Tata Tertib Hukum Negara
Jika dipandang dari aspek sosiologisnya saja, orang harus menafsirkan asas kedaulatan sebagai preponderansi persatuan atas keragaman, kecenderungan sentripental atas kecenderungan sentrifugal, dalam setiap satuan atau kelompok kolektif yang nyata, maka kita harus mengakui pula, bahwa setiap kelompok memiliki kedaulatan atas bentuk-bentuk kemasyarakatan yang merupakan unsur-unsurnya. Pada hakikatnya, kelompok sebagai kenyataan tidak dapat hidup tanpa menyatakan dirinya sebagai keseluruhan, yang tidak dapat direduksikan lagi menjadi unsur-unsur yang merupakan bagian-bagiannya, yang akan dipersatukannya dan keterpaduannya harus lebih berkuasa. Demikian pula, kita harus mengakui dalam arti ini bahwa semua kelompok-kelompok yang bersifat sebagian, yang diintegrasikan didalamnya. Ini akan menyebabkan keluar pernyataan, bahwa setiap kerangka hukum adalah berdaulatterhadap segala jenis hukum yang disintesakan didalamnya, bahwa tata tertib hukum multifungsional berdaulat terhadap tata tertib hukum unifungsional (dari bangsa serta masyarakat internasional) adalah berdaulat terhadap yang lain-lainnya (misalnya terhadap tata tertib hukum negara, masyarakat ekonomi, dan lain-lain).
Kedaulatan sebagai suatu kualitas tertentu dari kekuasaan, hanya muncul apabila kita dari skala mikrososiologi beralih kepada skala makrososiologi. Kedaulatan kelompok-kelompok  berbeda-beda kadarnya, karena seluruh kedaulatan, kecuali kedaulatan masyarakat-masyarakat menyeluruh, tidak dapat melebihi kedaulatan yang relative belaka. Karena itu, kelompok-kelompok suprafungsional, seperti misalnya bangsa dan masyarakat internasional sajalah yang dapat memiliki kedaulatan mutlak.
Kekuasaan sosial dari kelompok yang berdaulat secara relative atau mutlak hanyalah sebagai suatu fungsi dari kerangka hukum kelompok, lebih tepat lagi: dari tata tertib hukum sosialnya; sehingga kekuasaan tersebut berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kepercayaan-kepercayaan mistik-keagamaan. Orang dapat pula mengatakan bahwa kedaulatan sesuatu kekuasaan sosial biasanya adalah suatu kedaulatan hukum yakni kedaulatan dari suatu kerangka terhadap jenis-jenis hukum sosial yang diseimbangkannya atau kedaulatan dari satu tata tertib hukum atas tata tertib- tata tertib hukum lainnya. Maka analisis sosiologis berkesimpulan bahwa masalah asasi dari kedaulatan ialah masalah kedaulatan hukum, dan kedaulatan hukum ini, jika dilihat dari arti superlatifnya, selalu dimiliki hanya oleh kelompok-kelompok yang menyeluruh dan suprafungsional. Maka asas kedaulatan itu hanyalah membenarkan kesimpulan kita tentang ketidakmungkinan menyelenggarakan hierarki yang ditetapkan lebih dahulu antara kerangka hukum politik dan hukum ekonomi. Hubungan-hubungannya yang pada hakikatnya dapat berubah-uabah, diatur dengan tepatnya oleh tata tertib hukum yang berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, dan tata tertib hukum ini sajalah memiliki kedaulatan hukum yang mutlak; yang tersebut terakhir ini sajalah pada saat-saat tertentu dapat menentukan kelebihutamaan atau persamaan di antara kerang-kerangka hukumnya fungsional dan bersifat sebagian (partial) yang terliput didalamnya.
Terdapat empat macam tipe hukum sosial menurut lingkup tipologi hukum kelompok-kelompok yang tersebut di atas yakni:
Kerangka-kerangka hukum sosial murni dan independen, jika ada sengketa, lebih tinggi atau sederajat dengan tata tertib hukum negara misalnya hukum nasional suprafungsional, hukum internasional, hukum gereja Roma Katolik (hukum gereja dan hukum kanun) dan dari gereja-gereja lainnya jika negara dan gereja dipisahkan, dan akhirnya hukum ekonomi dalam keadaan ekonomi disusun secara otonom yang mengubahnya dari hukum khusus (particularistic law) menjadi hukum adat.
Kerangka-kerangka hukum sosial murni yang dibawahkan per-walian Negara, yakni mempunyai hak yang memaksa tanpa syarat dan bersifat otonom; tetapi jika ada sengketa, tunduk dan menyerah kepada tata tertib hukum negara. Lahirnya hal ini dinyatakan oleh pemindahan kerangka-kerangka demikian ke dalam lapangan “hukum privat”, karena perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, sebagaimana kita ketahui, bergantung kepada berbagai keputusan negara. Demikianlah halnya sekarang dengan kerangka-kerangka hukum kelompok berdasarkan pertalian darah, kelompok-kelompok kegiatan yang tidak bertujuan memperoleh manfaat, dan bahkan sebagian terbesar kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, yang dibawah rezim yang ada menyatakan dirinya sebagai kelompok-kelompok khusus, tidak terhitung jumlahnya.
Kerangka-kerangka hukum sosial otonom uang dianeksasi oleh negara, yakni yang dibawahkan olehnya, baik dengan jalan inkorporasi didalamnya sebagai “jawatan-jawatan umum yang didesentralisasikan” maupun hanya dengan mengangkatnya ke dalam lapangan istimewa dari hukum publik. Apabila aneksasi demikian itu mengenai kelompok-kelompok kesempatan yang luasnya terbatas (kotapraja, majelis kota kerajaan, kabupaten dan lain-lain), yakni kerangka-kerangka hukum pemerintah daerah atau hukum organisasi-organisasi tuan tanah-tanah (misalnya pemilik-pemilik untuk menggunakan tepi sungai, pemilik-pemilik tambang, dan lain-lain), maka aneksasi-aneksasi itu adalah yang paling kentara, meskipun ada kenyataan bahwa negara adalah suatu blok kelompok-kelompok lokal.
Kerangka-kerangka hukum sosial yang ditempa dalam kerangka hukum negara demokratis, yang karakteristiknya telah kita ketahui.
Adalah jelas bahwa setiap kerangka hukum ini, sebagaimana halnya dengan semua kerangka yang jelas berupa fungsi-fungsi dari tipe-tipe kelompok, merupakan suatu keseimbangan yang tidak menetap dari  berbagai jenis hukum, khususnya dari hukum massa, perkauman, dan communion. Adalah tidak kurang jelasnya, bahwa bergantung kepada keadaan-keadaan historis yang konkret dan perubahan dalam kerangka-kerangka hukum yang berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, kerangka-kerangka hukum yang ada dibawah perwalian atau aneksasi oleh negara terkadang bergerak ke arah suatu tata tertib hukum sosial yang murni dan independen, dan terkadang terbalik ke arah tata tertib hukum negara.gerakan kerangka-kerangka hukum yang bersifat sebagai perantara inilah yang terkadang menjelmakan kelebihutamaan negar, terkadang kelebihutamaan masyarakat ekonomis, atau akhirnya persamaan hukum dari berbagai kelompok ini.

Tipologi Hukum Masyarakat-Masyarakat yang Menyeluruh
Keanekargaman yang tidak terhitung jumlahnya, segi dan isi setiap masyarakat yang menyeluruh – setiap penjelmaan “fenomena sosial total (total social phenomena) tidak memungkinkan penentuan dalam tipe-tipe sosiologis, kecuali jikalau beberapa aktivitas sosial diambil sebagai tempat bersandar. Demikianlah, klasifikasi tipe-tipe masyarakat menyeluruh akan membawa hasil yang sangat berlainan sesuai dengan cara memandangnya, apakah dari segi ekonomi, agama, moral, hukum, atau fenomena lainnya. Banyak usaha dilakukan untuk mengadakan klasifikasi dan suatu diskusi yang panjang lebar dan mendalam tentang hal ini, yang dilakukan oleh S.R. Steinmetz dapat ditemukan dalam L’Annee Socielogique (1900), jilid III. Haruslah pula ditambahkan analisis-analisis doktrin-doktrin  tentang “zaman-zaman peradaban” (eras of civilization) yang dikembangkan oleh Grabner, Schmidt dan Kopper, dan tentang “morpologi kebudayaan” dari Grobenius dan Spengler, yang dikecam oleh Mauss secara singkat tetapi mendalam dalam catatannya. “perihal peradaban-peradaban” (On Civilization), dalam Prem. Sem. Internationale de Synthese (1930). Jika segala usaha ini tidak dapat mendatangkan hasil-hasil yang memuaskan, terutama sekali ini adalah disebabkan (disamping pengaruh prasangka evolusionisme) oleh usaha secara monisme untuk menyelenggarakan suatu tipologi yang khas yang berwenang untuk menelaah sekaligus segala aspek kenyataan sosial.
Kita akan menetapkan tujuh macam tipe masyarakat yang menyeluruh dari segi pandangan reaksi-reaksi terhadap sistem-sistem hukum. Weber dari segi tinjauan ini membedakan antara kekuasaan-kekuasaan karismatis, tradisionla (istimewa patrimonial), dan rasional; ia bukan saja mengadakan pembedaan antara sistem-sistem hukum yang sama sekali yang diserap oleh sistem supernatural (magis atau religious), sistem yang setidak-tidaknya rasional (baik mengenai prosedurnya, yakni “rasionalisasi formal”, mau pun mengenai isinya, yakni “rasionalisasi materil” (Zweckrationalisation), yang acapkali berkaitan erat dengan absolutism patrimonial atau sisa-sisa dari dari konsepsi teologis), tetapi juga akhirnya oleh bantuan logika formal yang imanen pada hukum. Weber juga menunjukkan bahwa hukum memiliki berbagai watak, bergantung kepada hal apakah ia dirumuskan atau dipraktekkan oleh nabi-nabi dan ulama, oleh hakim-hakim (yang mungkin dibentuk oleh praktek di pengadilan atau dalam mazhab-mazhab teologis), oleh pemilik kekuasaan patrimonial, atau akhirnya oleh suatu birokrasi ahli-ahli hukum yang terlatih dalam mazhab-mazhab khusus.
Setelah mempertimbangkan segala hal, maka kita mendapatkan tipe-tipe masyarakat menyeluruh sebagai berikut: (1) Sistem masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar magis-keagamaan, (2) Sistem hukum dari masyarakat yang mendapat kesejenisan (homogeneity) oleh asas karismatisme teokratis, (3) Sistem hukum dari masyarakat yang mendapat kesejenisannya oleh pengutamaan kelompok dosmetik-politik sistem yang sedikit-banyaknya dirasionalkan, (4) Sistem-sistem hukum dari masyarakat feodal berdasarkan pengutamaan yuridis gereja sistem yang setengah mistik dan setengah dirasionalkan, (5) Sistem hukum dari masyarakat yang dipersatukan oleh pengutamaan kota dan kekaisaran sistem yang lebih dirasionalkan, (6) Sistem hukum dari masyarakat yang dipersatukan oleh pengutamaan negara teritorial dan otonomi kehendak individual, (7) Sistem-sistem hukum dari masyarakat-masyarakat dewasa ini yang didalamnya kelompok-kelompok aktivitas ekonomi dan negara teritorial berjuang untuk mendapatkan suatu keseimbangan hukum baru-sistem yang bersifat sementara.
Sistem hukum masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar Magis-Keagamaan, masyarakat arkais yang menyeluruh adalah suku bangsa (phratry, curia) yang terbentuk oleh repetisi golongan-golongan yang serum pun yang dinamakan klan (genos, gentes). Klan serta suku bangsa (tribes) mempunyai dasar keagamaan; lambang-lambangnya (emblems) adalah totem dari dewa-dewa mereka, yang didalamnya mereka terikat menjadi saru secara mistik. Kelompok-kelompok yang berdasarkan pertalian darah di sini tidak berebda dengan kelompok mistik-ekstatis, karena pertalian darah dan esogami yang timbul dari padanya dalam hal ini pada prinsipnya berkaitan dengan totem yang sama. Kelompok lokal tidak diberi batas yang jelas, klan tidak selalu merupakan suatu “masyarakat desa”. Kelompok keagamaan di sini menyerapi kelompok-kelompok lokal (locality groups), sebagaimana yang dilakukannya terhadap kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, setidak-tidaknya sedemikian rupa hingga tersebut terakhir ini mempunyai sifat domestik. Dalam keadaan yang sedemikian itu, akan sukarlah melawan kecenderungan untuk mereduksikan segala ketentuan hukum menjadi suatu kerangka tunggal hukum sosial dari klan dan suku yang mempunyai asas keagamaan berdasarkan tabu-tabu yang berasal dari yang keramat dan menyisihkan setiap tipe hukum antar individu, segala keluwesan, segala sifat mampu berbeda, kesangkupan bergerak, bahkan semua hukum yang bersifat khusus.
Sistem Hukum dari Masyarakat yang disejeniskan oleh Asas Teokratis-Karismatis. Masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dapat mempersatukan dirinya dengan melenyapkan pembidangan (segmentation) menjadi klan-klan dengan berbagai cara dan jalan. (1) cara pertama ialah dengan memaksakan suatu persatuan baru kepada bidang-bidang yang identik dan kombinasi kesukuannya, dan persatuan baru itu ialah negara-gereja yang menjelma di dalam seorang Tuhan yang hidup berupa Raja-Pendeta, yang didalamnya tersimpul suatu kombinasi khusus dari agama dan magi dan yang mengakibatkan terjelmanya kekuasaan teokratis-karismatis; kepala negara, yang mewakili Tuhan yang bertindak atas nama-Nya, yang memiliki cukup sifat-sifat yang diperlukan untuk fungsinya berdasarkan sifat-sifatnya sendiri, pada umumnya bersifat magis (charisma). (2) cara bersatu yang kedua ialah melalui absorpsi dari bidang-bidang yang telah dileburkan ke dalam kelompok keluarga besar, yang merupakan suatu identitas dari kelompok berdasarkan pertalian darah (sekarang ini berdasarkan darah, khususnya keturunan pihak laki-laki) dengan kelompok kegiatan ekonomi, seringkali sama dihubungkan dengan kelompok lokal dan ketetanggaan. Masyarakat yang menyeluruh dibimbing ke arah kesejenisan oleh berkuasanya kelompok politik dan keluarga besar terhadap kelompok lainnya, yang dapat menyebabkan timbulnya suatu negara patriakal. (3) akhirnya cara ketiga ialah pelenyapan bidang-bidang oleh apa yang dinamakan “synoecisme”: suatu hubungan serta interpenetrasi bidang-bidang yang untuk sebagiannya menjadi kelompok-kelompok keluarga besar, dalam suatu “kota” atau “polis” dengan dasar kedaerahan, yang mendapatkan kedudukan utama. Menurut sejarahnya, ketiga tipe ini dapat dijalin satu sama lain juga digabungkan ke dalam berbagai bentuk.
Sistem hukum dari masyarakat yang memperoleh kesejenisan oleh kedudukan utama dari kelompok keluarga besar dan politik – sistem yang sedikit banyaknya dirasionalisasikan. Kelompok berdasarkan pertalian darah dan berdasarkan keturuna laki-laki, yang meliputi pula kegiatan ekonomi dan sedikit banyaknya terpaut kepada tanah, dapat memperoleh kedudukan utama dalam masyarakat menyeluruh terhadap klan-klan, suku-suku, serikat-serikat dan lain-lain. Kelompok keluarga besar dengan demikian menjadi benih negara dan dapat dilukiskan sebagai kelompok keluarga besar dan politik (domestic politic), terkadang berperan sebagai contoh bagi suatu negara patriakal yang sebenarnya. Struktur sosial yang dilukiskan dalam Wasiat Lama, dalam Liad dan Ordyssey dan juga Zadruga dari Salvia adalah berbagai contoh tentang kedudukan utama dari kelompok domestik politik (keluarga besar dan politik) dalam bentuk patriarkal. Beberapa ciri dari tipe ini dapat pula dipelajari dalam “keluarga Romawi”, yang terintegrasi dalam jenis-jenis yang sangat berbeda-beda dari masyarakat yang menyeluruh, dan akhirnya juga dalam latifundia yang didiami oleh coloni dari Imperium Romawi (zaman yang kemudian). Hausgenossenschaften Jerman, yang muncul melalui  Marks (klan-klan yang menjadi “masyarakat-masyarakat desa” yang setiap tahunnya membagi-bagikan persil-persil tanah kolektif di antara keluarga-keluarga), Gau (county atau kabupaten) dan Sippenschaft (suku), menyarankan adanya kelompok-kelompok domestik-politik tanpa corak patriarkal yang sebenarnya. Sesuai dengan kedudukan utama kelompok politik itu yang bertalian dengan milik tanah perseorangan maka kepala itu dapat manjadi raja dari suatu negara patriakal dan latifunda Romawi merupakan salah satu gambarannya. Selalu contoh-contoh dalam sejarh orang dapat menyebut kerajaan (monarchy) Frankish (abad ke-6 hingga abad ke-19), juga kerejaan Rusia dalam zaman Moskwa, dan akhirnya pelaksanaan secara patriarkal dari teokrasi-teokrasi Mesir, Tiongkok, dan Islam.
Sisten hukum yang bersesuaian dengan kedudukan utama dari kelompok domestik politik dalam suatu masyarakat yang menyeluruh mempunyai ciri-ciri sebagai beriktu: (A) disuborsinasikan hukum sosial di lapangan politik oleh hak individual dari kepala sebagai pemilik tanah, (B) ada pencampuradukan antara legislasi dan administrasi pada suatu pihak, dan pengurusan ekonomi pada lain pihak, (C) bagian terpenting dari kehidupan hukum tetap bebas dari campur tangan negara patriakal, karena dipusatkan ke dalam kebiasaan rakyat, dikodifikasi atau tidak, dan hukum terutama sekali dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan rakyat (mallus dalam zaman Frankish), yang anggotanya terdiri dari orang-orang tua saja, (D) kelompok domestik politik yang merupakan kelompok yang terbatas dan tetap mantap (stable), pada umumnya mewujudkan dirinya di dalam pergaulan hidup sebagai masyarakat dan bukannya sebagai massa atau communion, (E) munculnya pula unsur masyarakat – sungguh pun terbatas – mengenai kehidupan hukum terjadi bersama-sama dengan susutnya pengaruh kepercayaan-kepercayaan keagamaan dan kegaiban (religious and magical) dalam hukum.
Sistem Hukum dari masyarakat Feodal dengan dasar yang bersifat Semi-Rasional, Semi-Mistik. Tipe feudal masyarakat adalah suatu keseimbangan yang sangat kompleks antara berbagai tipe kelompok-kelompok dan kerangka-kerangka hukumnya yang bersesuaian, suatu keseimbangan yang asas-asasnya tidak dapat direduksikan menjadi suatu asas yang tunggal. Pada satu pihak, adalah kedudukan utama kelompok dari blok atau federasi kelompok-kelompok patriarkal yang tersusun dengan hierarki, yang dibangun atas kombinasi dari hak istimewa (privilege) dan pengabdian kepada seorang raja feudal (vaasalage), yang melahirkan serangkaian “kekayaan feudal” (fiefs). Dilain pihak, adalah kedudukan utama dari suatu kelompok mistik ekstatis yang dibawah pengaruh Kristen, telah mendapat bentuk suatu gereja yang sangat berlainan dari kelompok-kelompok lainnya dan yang pada abad-abad pertengahan menjelmakan persatuan suprafungsional di bawah segi yang berupa sorpus mysticum. Kedua blok ini membagi kedudukan istimewanya.
Sistem Hukum Masyarakat yang dipersatukan oleh kelebihutamaan kota dan imperium-sistem yang sifatnya lebih rasional. Unifikasi tata tertib hukum dari masyarakat yang menyeluruh dapat terjadi melalui supremasi suatu kelompok territorial yang khas, kota, kota kecil, yang melambangkan asas kedaerahan dan ketetanggan-ketetanggan yang mula-mula membatasi dan lambat laun membubarkan kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah dan kepercayaan-kepercayaan agama (geno, gente, jaria fratri dan lain-lain;) demikianlah maka terjadi hubungan langsung antara kekuasaan pusat dan patres familias (singuli singulas familias incipient habere dan kemudian dengan setiap warga negara perseorangan. Unifikasi semacam ini sangat jelas pada polis Yunani (abad-abad ke-7 sampai ke-5 sebelum Masehi) dan civitas Romawi (abad ke-5 sampai abad pertama sebelum Masehi). Penegasan kedudukan utama kota di atas semua kelompok lainnya ditandai oleh ciri-ciri khas sebagai berikut: pendemokrasian dan penduniawian hukum, diferensiasi hukum dari agama dan tata susila, perbedaan antara hukum publik dan hukum privat dan akhirnya individualism hukum. Pendemokrasian tampil bersama dengan penguatan dari asas territorial. Pemasukan kelas murba (plebeian) ke dalam kehidupan kota, persamaan dihadapan hukum, pada mulanya, dan kemudian dengan hak-hak yang sama (perubahan oleh Solon, Cleisthenes dan Pericles di Yunani; hukum dari “Luh Duabelas” (The twelve Tables), perubahan-perubahan yang menurut dugaan dilakukan oleh Servius tullius, serangkaian hukum yang memuncak pada lex Hortensia  di Roma) telah diiringi oleh penggantian keompok-kelompok berdasarkan kelahiran dan baptisan mistik (dengan melalui lapisan-lapisan kelas yang berhak memilih berdasarkan kekayaan) dengan kelompok-kelompok baru berdasarkan kediaman. Peranan comitia tributta yang berangsur-angsur menggantikan commetia curiatta adalah khas bagi perkembangan ini.
Sistem Hukum yang diduniawikan dan dilogikan untuk keseluruhan oleh kedudukan utama negara Teritorial dan otonomi Hasrat Individual (pengutamaan hukum negara dan kontrak). Tipe masyarakat menyeluruh yang sistem hukumnya yang sama sekali dirasionalisasikan bersandar atas kekuasaan tertinggi dari hukum negara territorial dan atas kebebasan perjanjian-perjanjian individual bersesuaian dengan rezim kapitalistik klasik yang menjadi corak khas dari kehidupan  Barat sejak abad ke -16 sampai akhir abadke-19. Sistem ini sedang dirombak dengan pesat di bawah ancient regime ketika negara territorial, dengan bentuk kerajaan absolute dengan dukungan golongan borjuis (golongan ketiga), telah mulai memperkuat kedaulatannya” yang tidak terpisah dan tidak dapat diganggu gugat” terhadap feodalisme dan sistem gilda, dan keluar melawan  Imoefrium Romawi Suci dan Sri Paus. “Satu raja, satu hukum” adalah semboyan utama dari rezim ini yang cenderung ke arah pembubaran-pembubaran ”badan-badan perantaraan” yang ada diantara individu, dan juga kepada peneguhan persamaan seluruh warga negara dihadapkan hukum. Hanya satu hukum yang cukup umum sifatnya dan telah ditetapkan terlebih dahulu, yang penggunaannya dapat dikalkulasikan sebelumnya, dan member kemerdekaan bergerak kepada hasrat individual (laisser faire, laisser passeri), yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan borjuis yang sedang lahir serta perusahan-perusahaan industry dan perdagangannya yang besar. Pada zaman itulah hukum Romawi diterima seluruhnya di Jerman, tampilnya berbagai gereja yang saling saing-menyaingi, berkat reformasi, mengakibatkan gawatnya masalah pembatasan kekuasaan negara yang menguntungkan kebebasan individu.
Sistem Hukum Peralihan dari Masyarakat Kontemporay. Dalam  sistem ini berbagai jenis hukum sosial, baik murni maupun yang digabungkan ke dalam negara, mengadakan balas dendam. Karena kegiatan ekonomis, walau pun orang menyampingkan perkembangan serikat dagang, dipusatkan sebagai perusahaan-perusahaan – organisasi-organisasi besar dan berkuasa, yang didalamnya berlaku hukum ekonomi yang bersifat subordinasi yang menghindarkan diri dari kedaulatan rakyat dan tidak memiliki hubungan dengan kontrak  dank arena tidak mungkin ada persamaan hasrat-hasrat hukum antara yang perekonomiannya kuat dan yang perekonomiannya lemah, maka sistem “Pernyataan Hak-hak” dan Code Napoleon dengan cepat diperlemah oleh kekuatan-kekuatan yang membawa pengembangan. Sifat hukum dari sistem kedaulatan hukum negara dan kontrak, karena hanya mengakui hukum terorganisasi yang ditetapkan terlebih dahulu, mempercepat keruntuhannya dengan mengobarkan sengketa yang hebat dengan hukum-hukum spontanitas dan luwes yang dilahirkan oleh masyarakat ekonomi.

3.    SOSIOLOGI HUKUM GENETIS
Sosiologi hukum genetis harus menolak prasangka evolusionistis yang menyakini bahwa “benih” dari suatu perkembangan searah yang tidak dicampuri dari lembaga hukum dapat diketemukan dalam masyarakat primitif dan yang mengacaukan atau mencampuradukkan masalah tipologi hukum masyarakat dengan masalah mengenai asalnya. Dua masalah yang benar-benar menyangkut mengenai sosiologi hukum genetis adalah: (a) Penelaahan tentang regularitas sebagai tendensi-tendensi perubahan di dalam setiap tipe sistem hukum, dan (b) Penelaahan faktor-faktor regularitas dari perubahan sedemikian itu di dalam kehidupan hukum pada umumnya.

a.    Sebagai Tendensi-Tendensi Perubahan
Regularitas di dalam perubahan yang dapat dilaksanakan bagi kehidupan sosial hanya dapat  dikenakan ke lapangan makrososiologi disebabkan oleh adanya hubungan dengan struktur dan saling kait-mengkait antara kelompok-kelompok; keseluruhannya tidak dapat dikenakan pada lapangan mikrososiologis. Dilain pihak, keteraturan-keteraturan ini bukanlah “hukum” evolusi yang bersifat statis maupun dinamis, karena sifatnya yang sangat tidak menetu yang  menggambarkan kenyataan sosial dan kenyataan hukum (berhubungan dengan lambang-lambang dan nilai-nilai kolektif). Ketentuan-ketentuan di lapangan ini hanyalah merupakan “sesuatu yang bersifat kebetulan” (Weber) “probabilitas” berupa hal-hal yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu. Itulah sebabnya maka kita menamakannya “keteraturan yang merupakan kecenderungan”. Akhirnya, sebagaimana kita katakana di atas, keteratuan-keteraturan berupa tendensi-tendensi itu dapat ditetapkan hanya untuk satu tipe msyarakat yang menyeluruh.
Keteraturan bersifat umum dari perubahan lembaga-lembaga yang menurut beberapa ahli sosiologi telah mengakuinya, dapat dikembalikan kepada: gerak dari keunggulan undang-undang terhadap kontrak (Spencer dan H. Maine); perluasan dan generalisasi lingkungan orang-orang yang terikat pada tata tertib hukum yang sama (Tarde); menggantikan yang progresif dari hukum restuitif untuk hukum represif dan perkembangan sejajar dari peranan negara dan kontrak (Durkheim); pengadaan (multiplication) dan perjalinan yang semakin intensif dari pengelompokan-pengelompokan khusus dan undang-undangnya, yang menyebabkan upaya memperteguh hak-hak individu (yang tersebut terakhir ini memperoleh kebebasan karena perjuangan antara kelompok-kelompok dan mereka tidak saling batas-membatasi, ef. Bougle, Les idees egalitaries, 1899); rasionalisasi dan pelogisan (logication) hukum yang semakin meningkat (Weber). Sebenarnya segala keteraturan atau regularitas ini hanya berlaku bagi perubahan-perubahan hukum dalam tipe-tipe masyarakat tertentu, dan teristimewa masyarakat primitif. Masalah ini menjadi lebih rumit lagi karena pada kenyataannya, bahwa setiap masyarakat yang menyeluruh dan setiap sistem hukum yang bersesuaian dengan masyarakat yang demikian itu adalah suatu mikrokosmos kerangka-kerangka hukum dan jenis-jenis hukum, sehingga gerak-gerik yang berlawanan dapat terjadi di dalam satuu tipe yang sama, sebagaimana usaha yang kita lakukan untuk menetapkannya ketika mengkritik tesis Durkheim.
Keteraturan-keteraturan atau regularitas dari perubahan yang mungkin dapat dilihat pada sistem patriarkal adalah suatu tendensi ke arah pembentukan keluarga-keluarga atas dasar harta kekayaan (harta pusaka) karena dibagi-bagi antara ahli-ahli warisnya. Hal ini membawa pertentangan antara hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok keluarga yang sebenarnya dan hukum dari kelompok domestik politik yang dalamnya unsur politik sebenarnya lebih kuat, sementara itu, unsur aktif tumbuh di dalam kelompok domestik politik, yang hukumnya, yang karena menjadi lebih berlaku secara efektif dan lebih diakui secara formal, mulai membatasi hukum kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah, yang dalamnya hukum intuitif dan hukum adat memegang peranan penting.
Sistem hukum yang berdasarkan yang mengutamakan negara territorial dan otonomi yang merupakan kehendak inidvidu mempunyai corak khas sebagai berikut: pertama, langkah-langkah maju secara progresif ke arah persamaan hak-hak, bermula dari persamaan dihadapan kekuasaan politik menuju kepada persamaan dihadapan hukum, kemudian persamaan hak-hak sipil dan akhirnya kepada hak-hak politik, termasuk di dalamnya akan kemerdekaan. Kedua, ada kecenderungan ke arah “hukum rasional yang mendahului perombakan-perombakan hukum positif (peranan yang bertambah besar dari “utopia” dalam hukum). Tendensi-tendensi lainnya adalah berupa gerak ke arah mobilitas dan kenyataan dapat dipindah-pindahkan semua hak perseorangan, yang khususnya diperlihatkan dalam semakin diutamakannya “hukum kepercayaan” atas hukumyang myata (E. Levy); kesukaran yang makin meningkat bagi hukum kepercayaan dan bagi hukum negara untuk menembus ke dalam kehidupan batin kelompok-kelompok ekonomi yang dikuasai oleh hukum otoritas di daerah kekuasaan hukum yang resmi. Itulah sebabnya, maka ada suatu pendalaman yang berturut-turut dari ketidakseimbangan antara tata tertib hukum negara dan kerangka hukum masyarakat ekonomi.
Dalam sistem hukum sekarang, yang mengalami perliahan sebagaimana telah kita perlihatkan, ada tendensi-tendensi yang bertentangan ke arah demokrasi pluralistis dank e arah totaliterisma. Jelaslah, bahwa tidak ada keteraturan dalam gerak dapat ditentukan sebelumnya. Keteraturan-keteraturan lainnya tidak dapat disangkal lagi berjalan sejajar dengan dekandensi hukum undng-undang dari negara dan kontrak, suatu langkah kembali menuju ke arah pengkhususan peraturan-peraturan yang semakin sering dilakukan, yang berlaku bagi lingkungan-lingkungan terbatas dari pihak-pihak yang berkepentingan; memperkuat secara progresif dari kerangka hukum sosial atas kerugian yang dialami hukum individual; pertumbuhan peranan hukum ad hoc dan hukum intuitif atas kerugian hukum yang diakui sebelumnya, dari pengaruh kebiasaan, pertumbuhan di dalam hukum yang diakui sebelum adanya pernyataan-pernyataan sosial, praktek pengadilan dan praktek lainnya, persetujuan-persetujuan kolektif, dekrit, dan lain-lain, semuanya atas kerugian yang dialami perundang-undangan negara; perjuangan yang semakin sengit antara kerangka-kerangka hukum dari berbagai golongan dan profesi.

b.    Faktor-Faktor yang Intrinsik dan Yang Ekstrinsik
Faktor-faktor haruslah dibedakan dengan jelas dari sebab-sebab dalam arti yang sesungguhnya. Pembedaan ini berlaku baik bagi ilmu alam amupun ilmu sosial. Misalnya,untuk menerangkan meletusnya batu karang, daya perlawanan batu karang, dinamit dan api adalah faktor-faktor, sedangkan sebabnya yaitu tenaga dan meluapnya gas. Mengenai fenomena sosial, maka penelaahan sebab musabab pada suatu pihak dan faktor-faktor dilain-lain, adalah sulit sekali karena hal-hal yang tersebut ini: (a) sebab dari fakta-fakta sosial selalu terletak di dalam “fenomena sosial total” (menurut Cooley di Amerika dan Mauss di Perancis); jikalau berbagai aspek masyarakat harus diterangkan, maka aspek-aspek itu haruslah diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang saling berkaitan dan dari aspek-aspek itu harus dipisahkan secara tidak sewajarnya; (b) fenomena total, yang benar-benar merupakan “sebab-sebab” sosial yang nyata, merupakan tipe-tipe kualitatif dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dan karena itu keterangan sebab musabab berlaku dalam sosiologi hanya dalam tipe khusus yang berkaitan dengannya; (c) berbagai faktor sosial yang hanya merupakan aspek-aspek abstrak dari suatu keseluruhan yang tunggal yang menjelma dalam suatu tipe yang menyeluruh yang kualitatif, adalah saling berjalinan dan saling pengaruh-mempengaruhi. Jikamisalnya, dasar ekologis, ekonomi, agama, magi, moral dan sifat pengetahuan yang berkuasa adalah faktor-faktor transformasi, dari kenyataan sosial, maka kenyataan hukum ini pada gilirannya merupakan faktor transformasi dari setiap fenomena ini, dan pada umumnya masing-masing ada dalam keadaan yang sama dilihat dari sudut pandang ini.
Dasar Ekologi Masyarakat dan Hukum. Lapisan bawah materiil dari masyarakat, yang pada dasarnya bersifat demografis dan geografis yakni volume serta kepadatan penduduk, cara penyebarannya di bumi dan bahkan sifat penyebarannya tidak dapat disangkal lagi adalah faktor-faktor dari gerak umum kehidupan sosial (tujuan penelaahan morfologi sosial dalam arti yang sebenarnya) dan gerak aspek-aspeknya yang khusus: ekonomi, moralitas, dan lain-lain, yang oleh Halbwachs dinamakan morfologi sosial “dalam arti seluas-luasnya dari istilah itu.
Durkheim, Mauss, dan Halbwach yang membuat telaah-telaahan penting mengenai akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh volume serta kepadatan penduduk dalam masyarakat, selalu menegaskan bahwa kepadatan materiil itu sendiri dapat dipengaruhi oleh “kepadatan moral”. Durkheim percaya, ia dapat membuktikan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang bersifat ekstensif dan juga sangat padat penduduknya, di situ hukum restitutif bersesuaian dengan kesetiakawanan organis memegang peranan lebih penting daripada hukum menggunakan contoh khusus tentang perubahan-perubahan menurut musim dalam masyarakat-masyarakat Eskimo, berusaha menunjukkan beberapa sistem hukum suku-suku primitif berlainan dalam musim dingin  dan dalam musim panas. “hukum musim dingin”, katanya sangat erat hubungannya dengan hal bertempat tinggal bersama, kenang-kenangan akan klan, dan diresapi oleh agama dan tendensi-tendensi kolektivitas. “hukum musim panas” yang mengatur kehidupan kelompok-kelompok kecil yang bertebaran, mempunyai sifat yang lebih menguntungkan individulisme. Halbwach memperlihatkan berbagai akibat dari luas tanah serta kepadatan penduduk dan juga cara berkumpul (di pedusunan, desa-desa yang bertebaran, kota-kota yangsedang besarnya, pusat-pusat perkotaan) terhadap organisasi kehakiman, struktur dan berfungsinya pengadilan, hubungan antara hakim-hakim dan mereka yang tunduk kepada pengadilan-pengadilannya dan akhirnya rezim-rezim politik.
Ekonomi dan Hukum. Tidak dapat disangkal bahwa ada hubungan erat antara hukum dan ekonomi, keduanya saling mempengaruhi secara timbal balik. Ahli-ahli sosiologi Inggris, Hobhouse, Ginsberg dan Wheeler dalam buku mereka, The Material Culture and Social Institutions of the Simple People (1930), telah berusaha memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional antara hukum dan ekonomi dengan mempergunakan statistik, dengan menunjukkan adanya kadar hubungan yang tinggi bagi masyarakat primitif, yang memang sungguh dapat dilakukan bagi tipe-tipe masyarakat lainnya, khususnya masyarakat borjuis dalam taraf peralihan dewasa ini.
Konsepsi Marx mengenai keutamaan faktor ekonomi adalah berdasarkan premis-premis rangkap yang dapat diragukan kebenarannya. Pertama, bahwa hukum hanya untuk suatu proyeksi ideologis, suatu epifenomena dari tenaga-tenaga produktif, yang berarti bahwa hukum tidak mempunyai kenyataan sosial sendiri. Kedua, konsepsi Marx tersebut seluruhnya (Marx menulis bahwa “keseluruhan hubungan-hubungan produksi itulah yang dinamakan masyarakat”, dan Die marxistische Geschichts-, Gesellschafts-und Staatstheorie, 1923, dua jilid, secara panjang lebar mendalami dan membenarkan penyamaan ini). Akhir tesis Marx sampai kepada suatu tautologi: jika ekonomi dan kenyataan sosial identik, maka jelaslah adanya sifat ketergantungan secara sepihak dari hukum kepada tenaga-tenaga produksi, karena perubahan-perubahan dari fenomena sosial hanya ada dalam masyarakat secara keseluruhanya, tidak diluarnya, dan justru demikianlah interpretasi Marxistis tentang ekonomi, yakni ekonomi tidak dianggap sebagai faktor melainkan sebagai sebab.
Konsepsi Stammler, yang merupakan reaksi terhadap marxisme, melebih-lebihkan kebalikannya, Stammler, menjadi tidak dapat dipengaruhi oleh ekonomi, karena ekonomi ini hanya merupakan benda inderawi masyarakat yang dibentuk oleh hukum. Tetapi setelah menyangkal kemudian untuk menganggap hukum atau ekonomi sebagai faktor-faktor, Stammler mebuat hukum tidak dapat berubah strukturnya dan member tempat yang lebih utama daripada ekonomi, baik aksiologis maupun genetis. Selain sangat bertentangan dengan pandangan metodologis, tesis Stammler juga bertabrakan dengan fakta-fakta yang keras: misalnya sengketa-sengketa yang tidak terbilang banyaknya antara struktur-struktur hukum dan ekonomi. Seperti adanya bidang-bidang kenyataan sosial, yang didalamnya peraturan hukum tidak dapat diterapkan dan yang dipandang dari segi hukum adalah sterile (misalnya, bentuk-bentuk kemasyarakatan pasif dan pada kelompok-kelompok di mana sifat pasif merajalela); begitu pula halnya peranan sistem hukum dalam berbagai tipe masyarakat yang, menyeluruh, yang naik turun kadar intensitasnya.
Teori satu-satunya yang dapat diterima ialah konsepsi yang menyatakan bahwa  dalam berbagai tipe masyarakat yang menyeluruh, terkadang ekonomi, yang dengan mendahului kenyataan hukum, merupakan faktornya dan terkadang kenyataan hukum yang mengatur kenyataan ekonomi bergerak  lebih cepat daripada hukum; karena terkadang sangat lamban geraknya, maka perubahan-perubahan didalamnya sangat besar dipengaruhi oleh ekonomi. Tetapi tidak dapat disangkal pula, bahwa dalam masyarakat feudal kita melihat gerak yang lebih cepat dari hukum dibandingkan dengan ekonomi, terkadang menetapkan dalam keadaan-keadaan yang kaku (hukum raja feudal, monopoli-monopoli gilda), terkadang mendorongnya kepada persaingan bebas dan penumpukan barang-barang (hukum Romawi dan hukum kotapraja-kotapraja merdeka).
Sebaliknya, dalam masyarakat yang patriarkal hukum dan ekonomi satu sama lain saling mempengaruhi, sedang dalam masyarakat primitif dan apalagi dalam imperium teokratis-teokratis karismatis, hukum, ekonomi, agama dan magi, tidak dapat dibedakan satu sama lain, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang supranatural menguasai hukum maupun ekonomi.
Agama, Moralitas, Pengetahuan dan Hukum. Agama, moralitas dan pengetahuan sebagai mentalitas kepercayaan dan kelakuan kolektif, ada persamaannya dengan hukum karena kenyataan bahwa semuanya secara khusus ada hubungannya dengan lapisan-lapisan kenyataan sosial simbolis dan rohani. Tetapi peranannya sebagai faktor-faktor perubahan dalam kenyataan hukum, berubah-ubah bersama-sama dengan tipe masyarakat, dan selain itu, setiap faktor ini tidak sama pengaruhnya terhadap hukum.
Agama dan lebih luas lagi, kepercayaan kepada supernatural memainkan peranan penting dalam kehidupan hukum masyarakat primitif dan masyarakat teokratis-karismatis. Dalam tipe-tipe masyarakat lainnya peranan agama berubah-ubah sesuai dengan intensitas kepercayaan dan struktur gereja dan juga menurut hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Tunduknya gereja kepada pemerintahan kota Purba, misalnya, banyak sekali mengurangi peranan agama sebagai faktor hukum. Kemerdekaan dan kedudukan-istemawa hukumnya dalam abad-abad pertengahan sangat menambah pengaruh agama Kristen atas hukum (meskipun terpisah dari kehidupan duniawi).
Pada masyarakat maju, yang didalamnya agama, moralitas dan hukum dibedakan satu sama lain, maka hubungan kenyataan hukum dan moralitas yang efektif sangat intensif. Hukum merupakan penglogisan dari nilai-nilai moral, yang geraknya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, ada penyesuaian antara tuntutan dan kewajiban. Dengan demikian hukum itu berubah secara langsung  sebagai fungsi dari perubahan moralitas. Tetapi yang demikian sama sekali tidak berarti, bahwa perubahan moralitas dan perubahan secara mutlak ada sejalan dengan masyarakat. Sebaliknya, ada sengketa-sengketa yang terus-menerus. Dan pada asasnya hukumlah yang pada umumnya terlambat dibelakang moralitas. Ada pun moralitas, dalam langkahnya yang lebih cepat daripada hukum, biasanya merupakan suatu faktor yang paling penting dalam perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam hukum. Moralitas, karena strukturnya, adalah jauh lebih dinamis, lebih revolusioner, lebih bergerak, lebih mengarah kepada masa depan (dari sana dia mendahului pengarahannya) daripada realisasi-realisasi ekonomis, dan keseimbangan kekuatan-kekuatan daripada moralitas.
Pengetahuan sebagai suatu fenomena sosial dapat bertindak sebagai suatu faktor perubahan dalam kenyataan sosial di bawah dua segi. Pertama, pengaturan secara intelektual, yang sebagai suatu unsur dari semua hukum perubahan pula kepercayaan hukum dan kelakuan-kelakuan. Misalnya, cukuplah terjadi perubahan dalam gagasan tentang sebab musabab, materi, masyarakat, keperibadian, dan lain-lain, untuk membawa perubahan-perubahan yang hebat pada lembaga-lembaga hukum seperti tanggung jawab, milik, waris, kewajiban-kewajiban dan lain-lain. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan-perubahan hukum dengan cara yang lebih berpusat dan terbatas. Pengetahuan itu turut terlibat dalam cara-cara mengenal atau mengakui hukum, mempengaruhi sumber-sumber formal dari hukum. Bahkan orientasi dan pendidikan intelektual para hakim, ahli-ahli hukum di abad-abad pengetahuan, para hakim, jaksa dan guru-guru besar dalam hukum dewasa ini. Makin dirasionalisasi dan diduniawaikan, sistem hukum itu, semakin kuat pengaruh pengetahuan itu atas kenyataan hukum.
Psikologi Kolektif dan Hukum. Sebagai lapisan yang terdalam dari kenyataan hukum, yang menembusi segala penjelmaan dan aspeknya, mentalitas kolektif itu sesungguhnya ada di bawah segala faktor yang telah disebut satu per satu. Psikologi kolektif mempengaruhi hukum dengan tidak langsung melalui agama, moralitas, pengetahuan, dan bahkan melalui ekonomi serta dasar marfologis dari masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita pun harus memperhatikan akal budi kolektif sebagai faktor-faktor langsung dari kehidupan hukum.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Dimana sosiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan hukum merupakan ilmu yang mempelajari tentang kenegaraan; peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengatur segala tingkah laku individu dan kelompok-kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Sedang sosiologi hukum merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukum dengan segala aspek gejala sosial dalam lingkungan bermasyarakat. Adapun peletak-peletak dasar dari sosiologi hukum antara lain: Durkheim, Duguit, Levy, Hauriou, Max Weber, Eugene Ehrlich, O.W. Holmes, Roscoe Pound, dan Benyamin Cardozo.
Dalam pembahasan ini ada tiga jenis sosiologi hukum yang diuraikan yakni sosiologi hukum sistematis (mikrososiologi hukum), sosiologi hukum diferensial yang terdiri dari tipologi hukum dari pengelompokan- pengelompokan khusus dan tipologi hukum masyarakat- masyarakat yang menyeluruh, dan terakhir sosiologi hukum genetis.

SARAN
Diharapkan kepada mahasiswa Sosiologi FIS UNM khususnya angkatan 2008 agar lebih memahami ilmu sosiologi hukum mulai dari definisi sosiologi, hukum, dan sosiologi hukum, para tokoh pencetus dan peletak dasar sosiologi hukum dengan buah pemikiran masing-masing tokoh sampai kepada pengaplikasian ilmu ini dalam masyarakat luas.
Keberhasilan dalam mempelajari sosiologi hukum itu perlu didukung oleh semangat rasa ingin tahu yang cukup besar yang kemudian diaplikasikan kepada sikap gemar membaca, bertanya, dan berdiskusi.

SUMBER PUSTAKA

S. Johnson, Alvin. 2006. Sosiologi Hukum. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar