Selasa, 31 Januari 2012

Perilaku Sosial Masyarakat Perkotaan

PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN

Salah satu persoalan kompleks yang terjadi hamper di semua kota besar di dunia adalah berkembangnya perilaku yang dinilai asocial dan bertentangan dengan norma-norma kewajaran. Semakin makmur satu negara dan semakin taat hukum masyarakat, maka perilakunya pun memiliki ketertiban yang sejalan dengan cita-cita pertumbuhan kota modern. Namun faktanya, kondisi negara amatlah beragam, kota modern dibangun bukannya semakin tertib, tetapi mengundang kaum urban untuk hijrah secara besar-besaran menuju kota baru tersebut. Atau pula dapat terjadi di sejumlah kota besar, justru angka kriminalitas semakin meningkat karena masyarakat semakin terasing dengan ruang yang besar dan serba sistematis tersebut.
Tidak ada kota yang tidak mengandung masalah di dunia ini, namun tingkat permasalahan itulah yang menjadi ukuran “keberhasilan” program pembangunan perkotaan. Terdapat dua masalah kunci di kota-kota besar yaitu masalah makro perkotaan dengan sistem pengelolaannya dan masalah detil perkotaan yang menyangkut perilaku warganya dalam memelihara dan berkegiatan di dalam kota. Justru permasalahan detil kota inilah hingga akhir abad ke-20, yang menciptakan kota sebagai bagian permasalahan sosial yang kompleks. Kota-kota di Indonesia tak luput dari permasalan di atas dengan variasi permasalahan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kota-kota lainnya di dunia, karena di samping jumlah penduduk yang beragam, juga kepadatan kota yang kian tak terkendali.
Salah satu figure kota besar di Indonesia dengan sejumlah permasalahan yang kompleks adalah kota Jakarta. Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta memiliki kecenderungan amat terbuka terhadap pertumbuhan bangunan-bangunan baru, terutama pembangunan gedung-gedung milik negara kea rah inti kota yang diberin tanda dengan Monumen Nasional, hal ini untuk menghilangkan struktur perkotaan yang telah dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian ditunjuknya gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada tanggal 28 April 1966, membawa nafas baru dalam sejarah perkotaan nasional. Kebijakan ini melahirkan Rencana Induk Pembangunan DKI Jakarta yang dikenal dengan nama “Master Plan” 1965-19985, selama 11 tahun (1966-1977), wajah ibu kota mengalami perubahan fisik menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Kemajuan kota Jakarta kemudian banyak ditiru oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kemudian untuk menindak lanjuti rencana pembangunan kota berikutnya, pemda DKI Jakarta berhasil menyusun Rencana Tata Ruang DKI Jakarta 2005 yang disahkan melalui peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 5 Tahun 19984. Sejak tahuan 1990-an, wajah Jakarta memiliki kesamaan dengan kota-kota besar di dunia, yaitu tumbuhnya bangunan-bangunan pencakar langit , jalan laying, dan pusat-pusat hiburan. Kondisi ini menurut perluasan wilayah hingga Bogor, Tangerang dan Bekasi, dengan katung0katung daerah satelit untuk perumahan baru. Dampak pertumbuhan ini, berakibat pula pada pola perilaku sosial masyarakatnya, seperti jam kerja lebih lama, meluasnya kemacetan lalu lintas, tuntutan akan hiburan dan kenyamanan semakin tinggi, perubahan pola makan, tuntutan ekonomi biaya tinggi, hingga hubungan kekerabatan yang mulai memudar.
Sejalan dengan peningkatan pendapatan, kebutuhan akan pemukiman mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk di berbagai wilayah tanah air. Secara umum pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 19711-1980 adalah 4% per tahun. Percepatan pertumbuhan penduduk ini kemudian menuntut pemekaran kota-kota padat, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Malang, Ujungpandang (Makassar), Palembang dan lainnya. Pada Repelita IV (1984-1988), perencanaan kota dan wilayah untuk pertama kalinya dimasukkan dalam program nasional. Target yang ingin dicapai adalah pengembangan dan perencanaan wilayah yang meliputi 394 kota, 194 wilayah lokal, dan 204 kecamatan. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata memiliki gradasi kualitas yang berbeda-beda, ada yang mengalami percepatan dengan kualitas yang cukup baik, adapula yang justru semakin semrawut karena pembiayaan pembangunan diperkirakan berbelok kepada hal-hal yang bersifat nonteknis (suap, kolusi, manipulasi, kompensasi, korupsi, ataupu upeti kepada para pejabat).
Tak menentunya pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia menjadi masalah yang diagendakan pemerintah menyangkut ketersediaan air bersih, energi listrik, sanitasi, pembuangan sampah dan prasarana utama lainnya. Permasalahan yang kini kompleks tersebut disertai dengan pertambahan penduduk dan urbanisasi yang tak terkendali, menjadi salah satu kendala dalam pengembangan tata ruang kota di Indonesia secara keseluruhan. Namun demikian, pola perencanaan kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda dan dilanjutkan dengan program pengembangan kota setelah kemerdekaan adalah dengan cara mengadopsi konsep kota modern. Secara bertahap, aspek-aspek pengembangan kota “kosmologis” sebagaimana diterapkan pada pengembangan kota zaman Hindu, telah mengalami perubahan sejalan dengan masuknya pemikiran Barat ke Indonesia. Namun ternyata pertumbuhan kota secara organic lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kota yang diprogramkan.
Pembangunan kota-kota baru yang modern sebagai implikasi kebutuhan pemukiman yang semakin besar umumnya didasarkan pada pendekatan keilmuan tata kota (planologi), sebagaimana terlihat pada pengembangan kota Bumi Serpong Damai, perluasan wilayah Jabotabek, Jonggol, Sala Baru, reklamasi pantai Utara Jawa, kota-kota di pulau Batam, Bontang, pembangunan daerah Busang dan berbagai kota satelit. Fenomena ini merupakan program modernisasi yang semakin mengakar sejalan dengan program pembangunan lainnya.
Jika pada tahun 1971 penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 17,2%, maka pada tahun 1980 berkembang menjadi 22,3%, pada tahun 1990 telah mencapai 31%, pada akhir Pembangunan Jangka Panjang I telah mencapai 35% dan pada akhir Pembangunan Jangka Panjang II jumlah penduduk telah mencapai 50%. Fenomena ini akan menyebabkan pulau Jawa menjadi sebuah “kota pulau” yang besar dengan muatan segala persoalan sosial di dalamnya.
Pembangunan kota baru di Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan: (1) berfungsi sebagai pusat kedudukan pemerintahan atau provinsi, seperti Banjar Baru (Kalimantan Selatan), Palangkaraya (Kalimantan Tengah); (2) sebagai kota kabupaten seperti Bale Endah (Kabupaten Bandung), Gresik (Kabupaten Surabaya), Sumber (Kabupaten Cirebon); (3) berkaitan dengan pertumbuhan industri dan penggalian bahan alam seperti Tembagapura, Cilegon, Soroako, Asahan, Bontang. Berdasarkan letak geografis, beberapa kota baru di Indonesia memiliki ciri yaitu:
a. Kota baru yang tumbuh dari kota induk yang meluas dengan skala yang besar ke wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan kota induk.
b. Kota baru yang tumbuh sebagai satelit, kota yang terbentuk bagi peruntukkan tempat tinggal yang letaknya terpisah dari kota induk tetapi secara fungsional tergantung pada kota induk. Contoh kota satelit tersebut diantaranya Kebayoran Baru (1950), Banjar Baru (1953), Bale Endah (1976).
c. Kota mandiri, yaitu kota baru yang terbetuk sebagai kota mandiri dalam memenuhi kehidupan dan kegiatan usaha penduduknya. Kota jenis ini dapat terbentuk dari kota “perusahaan”, kota “pertambangan”, kota “administrasi pemerintahan”, ibu kota provinsi dan lainnya. Kota jenis ini diantaranya Bandung Raya, Gerabang Kertosusila, Jabotabek.
d. Kota yang terbentuk karena kegiatan yang spesifik seperti pariwisata, instalasi militer, pusat rekreasi atau sejenisnya. Jenis kota ini diantaranya Lhokseumawe, Soroako, Bontang, Batam, Cilegon.
Dalam dunia Tata Ruang dan Perkotaan di Indonesia terdapat landasan hukum yang menjadi surat keputusan bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum No.503/KPTS/1985 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota, sedangkan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum memilul Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota, Kriteria Perencanaan Kota dan Pembinaan Perkoataan. Kemudian keputusan bersama ini diperkuat oleh Keputusan menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, yang meliputi Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan, Rencana Umum Tata Ruang Kota, Rencana Detil Tata Ruang Kota dan Rencana Teknik Tata Ruang Kota.
Di samping kota-kota baru yang dibangun oleh pemrintah maupun swasta, kota-kota yang tumbuh sejak masa pemerintahan kolonial berkembang pula amat cepat, bukan hanya dari segi fisiknya saja, tetapi juga jumlah penduduk dan aktivitasnya. Demikian pula perilaku masyarakat kota menjadi amat beragam karena datangnya kaum urban dari berbagai daerah pinggiran kota, maupun daerah lain. Berdasarkan pengamatan penulis terdapat sejumlah perilaku khas (stereotip) yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, diantaranya:
1. Perwajahan kota yang tak tertib
Hampir diberbagai kota besar dan kecil di Indonesia berhadapan dengan permasalahan yang sama yaitu terjadinya ‘unjuk visual’ yang membuat kota seperti ‘tong sampah’ yang segala ada. Bangunan di pinggir jalan selalui dipenuhi oleh iklan-iklan produk dengan bentuk yang acak, mulai papan took, bilbor, spanduk, baliho dan tayangan-tayangan visual verbal. Semuanya masing-masing ‘berteriak’. Dengan wujud dan dimensi yang semakin besar. Bilbor yang tadinya ckup dua kali dua meter kini mulai terpajang dalam bentuk delapan kali lima meter dengan tinggi sepuluh meteran. Diletakkan diperempatan jalan strategis, kemudian di bawahnya masih terbentang spanduk dan bilbor-bilbor kecil. Dalam posisi itu, lampu lalu lintas dan rambu lalu lintas hilang tertelan oleh ‘hutan visual’ yang tal tertata. Demikian pula para pedagang makanan kakilima, kini memiliki kecenderungan memanfaatkan spanduk-spanduk bekas dengan unsur rupa tersisa, kemudian dengan penempatan yang menyita lahan pejalan kaki, maka semakin riuhlah keadaan.
2. Ruwetnya sistem informasi
Kurangnya papan informasi dan tanda-tanda penunjuk arah, menyebabkan para wisatawan dan pendatang baru amat sulit mencari alamat yang dituju, di samping juga informasi tentang kendaraan, nomer trayek, bahkan posisi pelaku di tengah kota. Unsur keruwetan visual yang memiliki kesamaan di berbagai kota, menyebabkan para pengguna jalan kebingungan. Pusat-pusat penerangan wisata, peta kota, hingga arah jalan tak lagi memiliki makna, karena tidak direncanakan secara sistematis dan komunikatif. Tersesat di tengah kota, terutama pendatang baru, amatlah terbiasa karena sistem informasi dan sistem pertandaan kota belumlah jelas benar.
3. Kemacetan permanen
Tiadanya disiplin berlalu lintas, bahkan dibeberapa kota padat selalui ditandai oleh kemacetan permanen yang terjadi pada jam-jam tertentu, atau situasi tertentu. Kemacetan di satu ruas jalan berdampak kepada kemacetan total sebagian besar kota. Hal ini menumbuhkan sikap asocial para pemakai jalan, terutama kendaraan angkutan umum yang mengejar target perolehan setoran. Hal itu juga terjadi dengan para pejalan kaki yang tak lagi tertib dalam memakai jalan, sehingga di jalan tak ada lagi hukum yang dapat ditegakkan. Biaya kemacetan tiap hari makin tinggi, dibandingkan hasil produktif yang seharusnya diperoleh. Demikian pula halnya dengan pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan di satu lokasi telah mencapai batas yang ditolerir.
4. Kota yang kotor
Perilaku kebersihan kota yang masih rendah, ditandai oleh sebaran sampah, debu, lubang, tidak tertibnya parker dan lalu lalang manusia di jalan-jalan padat kendaraan. Jumlah penduduk yang terlampau padat dengan strata dan kegiatan sosial yang beraneka menciptakan situasi kota menjadi ‘chaos’. Demikian pula pedagang kakilima, pertokoan sporadic, papan took yang ‘berteriak’, bahu jalan yang tak beraturan, kabel listrik dan telpon yang semrawut serta sampah yang bertebaran membangun citra kota menjadi kumuh serta berkesan tak terawat.
5. Pamer ‘kemewahan’
Kebiasaan ‘berteriak’ dengan bahasa visual, melalui coretan, tulisan, hiasan lampu, keanekaan pagar, keanekaan bentuk rumah dan sebagainya merupakan fenomena baru mereka yang berlebihan dalam keberjasilan ekonomi. Akibatnya tumbuhlah berbagai jenis bangunan yang amat tak beraturan dan beraneka dan juga yang disertai oleh tiadanya penegakan peraturan izin bangunan. Demikian pula, tumbuhnya mal-mal dan supermarket yang besar tanpa memikirkan besaran jalan dan jumlah kendaraan, sehingga di samping kemacetan, juga tumbuhnya kecemburuan sosial sebagain masyarakat.
Terdapat tardisi baru para superkaya di Indonesia untuk memiliki kendaraan mewah lebih dari tiga buah dengan rumah mewah di berbagai kota. Meskipun masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Namun di tengah masyarakat yang berada dalam kondisi amat memprihatinkan, hal itu merupakan pemicu tumbuhnya rasa kebencian yang mendalam, terutama jika dilakukan oleh para pejabat negara atau anggota dean perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi teladan.
6. Masyarakat miskin yang tak terkendali
Akibat lemahnya sector hukum. Tiadanya dinas sosial dan lembaga pengawasan kota yang efektif, memunculkan kebiasaan tak tertib pedagang kakilima, asongan, pengemis, pengamen, penyebarang, peminta sumbangan, hingga preman. Kota seolah menjadi satu wilayah tak bertuan, penguasaannya tergantung kepada uang dan kekuasaan. Kondisi itulah yang membangun masyarakat ‘tersisih’ semakin membesar, tidak saja mereka yang berekonomi lemah, para penganggur, tetapi juga mereka yang berekonomi kuat dan berkeinginan untuk menertibkan diri.
Masyarakat tersisih ini menjadi kekuatan besar ketika bersatu dan berupaya melawan petugas hukum yang berusaha menertibkan keadaan. Perlindungan oleh preman, pimpinan masyarakat, lembaga swadaya dan organisasi politik menjadikan kelompok masyarakat yang tersisih memiliki perlindungan terhadap situasi tersebut.
7. Mentalitas ugal-ugalan
Kegetiran menghadapi hidup yang tak menentu di berbagai kota di Indonesia, menyebabkan masyarakat mudah menderita depresi dan frustasi sosial. Perilaku pengemudi, bis, truk gandengan, angkutan kota dan angkutan tak bermesin yang menjadi raja jalanan. Bahkan banyak pula remaja yang bermotor, pengemudi becak, pejalan kaki, mengemdarai mobil mewah dan juga kendaraan tentara menjadi ‘hero’ di tengah jalan.
8. Pekerjaan tumpang tindih
Kebiasaan pemerintah daerah untuk menunda perbaikan jalan, gorong-gorong, saluran air, tumpang tindih pekerjaan PU, perbaikan lampu lalu lintas dan juga keurangnya pemeliharaan pohon telah menjadi suatu hal yang lumrah. Dalam perencanaan yang lebih konseptual, pekerjaan yang tumpang tindih itu termasuk juga wewenang setiap instansi dan jadwal pekerjaan. Fenomena ini telah menjadi wacana pembangunan hamper di seluruh kota di Indonesia termasuk kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan desain dan perencanaan pembangunan. Kondisi tersebut mempengaruhi pula perilaku sosial dalam menjalankan pelaksanaan desain di lapangan, serta kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
9. Warga merasa tak memiliki
Perilaku warga yang merasa tak memiliki kota, dengan jalan mebuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum ataupun peduli terhadap kerusakan kota. Kondisi tersebut terjadi karena banyak warga kota luar daerah dan juga tidak konsistennya penegakan ketertiban di berbagai tempat oleh aparat pemda sendiri, sehingga menumbuhkan apatisme sosial dan ketakpedulian sosial. Hal itu memicu setiap warga menjadi amat sensitive dan amat reaktif terhadap pergesekan sosial.
Sumber:
Sachari, Agus. 2002. Sosisologi Desain. Bandung: Penerbit ITB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar