Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang (Upaya Maksimalisasi Keuntungan)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa pengusaha tenun
sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo lebih mengutamakan maksimalisasi
keuntungan dibanding hal lainnya. Istilah massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat diartikan saudara tetap saudara tapi
dalam hal harta benda tidaklah dikenal harta bersama. Jenis penelitian ini
menggunakan desain studi kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data
diperoleh dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena massijing
watakkale te’massijing warangparang itu terjadi pada relasi sosial
ekonomi pengusaha tenun sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo.
1. Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang Pada Relasi Ekonomi Pengusaha Tenun Sutera.
Jiwa wiraswasta dan falsafah wawang
asugirenna to Wajo’e (ajaran tentang bagaimana dapat menjadi orang
kaya bagi orang-orang Wajo) mengingatkan kita pada semangat
kapitalisme dan etika protestan tentang ajaran protestan menjadi spirit untuk
bekerja keras dalam memperoleh kekayaan. Pada masyarakat Bugis Wajo yang menjadi
spirit adalah keinginan untuk dihargai dan atau untuk memperoleh prestise.
Dalam skala orang Wajo seseorang dikatakan
berprestasi dan mendapatkan penghargaan dari masyarakat lainnya jika menempati
posisi elit yang strategik yaitu:
a) To Mapparenta (Pemerintah), yaitu orang yang
menduduki posisi strategis pada organisasi pemerintahan maupun organisasi
kemasyarakatan. Contohnya menduduki jabatan sebagai kepala desa/lurah, camat,
bupati atau sebagai kepala bagian pada instansi tertentu.
b) To Panrita (Ahli agama), yaitu orang yang
memiliki pengetahuan agama yang baik dan karisma sehingga ditokohkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Contohnya ustadz, dhai, khiyai dan sebagainya.
c) To Acca (Cendikiawan), yaitu orang yang pandai
dan cerdas. Contohnya dosen, guru dan orang-orang yang memiliki keahlian pada
bidang yang ditekuninya.
d) To Sugi Mappanre na saniasa (orang kaya), yaitu
orang yang memiliki kekayaan harta benda yang cukup berlimpah, pengusaha yang
terampil atau cekatan.
e) To Warani (Pemberani/pahlawan), yaitu orang yang
pemberani atau pahlawan yang selalu waspada. Contohnya polisi, tentara dan atau
orang-orang yang berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan daerahnya.
Falsafah di atas sejalan dengan teori Need
For Achievement (keinginan untuk berprestasi) dari David C. Mc.
Clelland dalam Andi Adijah (2009:77). Teori ini menguraikan seseorang bisa
berhasil dalam usaha karena didukung oleh motivasi untuk dihargai. Seseorang
dikatakan termotivasi ketika dia melakukan atau melebihi apa yang diharapkan
kepadanya.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai teori Need
For Achievement digunakan teori tentang manusia dan motivasi yang
didalamnya memiliki beberapa azas antara lain:
1. Setiap orang dewasa memiliki sejumlah motif
dasar atau kebutuhan yang dapat dipandang sebagai katup atau jalan keluar yang
menyalurkan dan mengatur aliran keluar daripada energi potensial tersebut dari
bak cadangan.
2. Walaupun kebanyakan orang dewasa yang berasal
dari kebudayaan tertentu memiliki susunan motif atau jalan keluar energi yang
sama, namun mereka akan sangat berbeda dalam kekuatan relatif atau kesiapan
berbagai motif tersebut. Suatu motif yang kuat dapat diibaratkan sebagai sebuah
katup atau jalan keluar energi yang terbuka dengan mudahnya dan memiliki suatu
bukaan yang lebih besar bagi arus keluarnya energi (biasanya disebabkan oleh
penggunaan yang seringkali). Suatu motif yang lemah dapat diibaratkan sebagai
sebuah katup yang kaku, melekat, bahkan walaupun terbuka hanya mengalirkan arus
energi keluar yang terbatas.
3. Diwujudkan tidaknya suatu motif, yakni apa
energi tersebut mengalir keluar melalui jalan keluar tersebut menjadi perilaku
dan kerja yang bermanfaat, tergantung pada situasi khas dimana orang berada
menemukan dirinya sendiri.
4. Karakteristik situasi tertentu akan membangun
atau memicu berbagai motif, membuka berbagai katup atau jalan keluar energi.
Masing-masing motif atau jalan keluar energi peka sekali terhadap berbagai
susunan karakteristik situasi.
5. Karena berbagai motif diarahkan kepada berbagai
jenis kepuasan maka pola perilaku yang dihasilkan dari pembangkitan suatu motif
(dan pembukaan jalan keluar energi) berbeda pula untuk masing-masing motif
mengarah ke suatu pola perilaku yang berbeda.
6. Dengan mengubah sifat situasi akan bangkit atau
diwujudkan motif yang berlainan sebagai akibat hasil pengenergian pola perilaku
yang berlainan satu dengan yang lainnya (Sitompul dalam Andi Adhijah, 2009:13).
Terkait dengan motif untuk dihargai tentunya
sebagai pelaku usaha diharuskan bekerja dengan baik untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Orang yang memiliki motif prestasi yang tinggi akan
memikul tanggung jawab pribadi untuk tindakan-tindakannya sendiri, mencari
(menggunakan) umpan balik atas hal-hal yang berkenaan dengan
tindakan-tindakannya sendiri, menggunakan resiko sedang atas tindakan
pribadinya (memilih perilaku yang menantang tetapi dapat dicapai secara
realistik), dan berusaha melakukan sesuatu dalam suatu cara yang kreatif dan
inovatif (Andi Adijah, 2009:14).
Teori keinginan untuk berprestasi relevan dengan
kehidupan nyata di kalangan masyarakat Bugis Wajo termasuk para pedagang. Para
pedagang Bugis Wajo memiliki tekad untuk mencapai prestasi di daerah sendiri
atau di daerah perantauan mereka. Prestasi yang dimaksudkan tentu yang searah
dengan aktivitas perdagangan, yakni menjadi to sugi mappanre na saniasa seperti
memiliki dan memimpin satu atau beberapa tempat usaha.
Efektifitas dan efisiensi tentunya tidak bisa
dihindari oleh pengusaha untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.
Efektif yang dimaksud disini adalah langkah-langkah yang dilakukan itu harus
memberi pengaruh yang besar, sedangkan efisien dimaksudkan adalah setiap
pengorbanan yang telah dikeluarkan dapat memberikan manfaat yang besar.
Dalam relasi ekonomi massijing watakkale
te’massijing warangparang harus dilihat sebagai suatu sistem
(manajemen dagang bugis) yang mengandung prinsip efektifitas dan efisiensi.
Watak atau sikap tersebut datang dari falsafah dagang ajjasia
naburukiko labo, natunaiko sekke yang berarti bahwa jangan sampai kau
hancur karena sikap dermawanmu dan janganlah terhina karena kikir.
Massijing watakkale te’massijing warangparang pada praktek sehari-harinya dapat dicontohkan
sebagai berikut: seorang kakak harus mengembalikan uang yang telah dipinjamnya
pada saudaranya. Bagi masyarakat Wajo hal tersebut adalah hal yang wajar dan
bahkan hal tersebut juga berlaku pada kelompok-kelompok lainnya.
Pada komunitas pedagang hal tersebut dianggap
wajar karena hal tersebut adalah sebuah konsekuensi dalam kegitan perdagangan.
Hal tersebut sesuai dengan tipe tindakan yang dikemukakan Weber (Johnson,
1986:220) tentang tindakan rasional instrumental. Disini informan berharap ada
imbalan atau balasan dari tindakan yang dilakukan seperti membantu orang lain
karena berharap akan dibantu juga di kemudian hari. Tindakan rasional
instrumental ini adalah bagian dari relasi ekonomi. Rasionalisasi dari tindakan
menjual barang dagangan kepada anggota keluarga sendiri adalah suatu tindakan
untuk menjaga kelancaran usaha. Hal tersebut sesuai dengan falsafah dagang
yaitu ajjasia naburikiko labo.
Dalam proses transaksi tersebut terdapat modal
sosial yang mampu meredam hal-hal yang negatif. Kata ajja natunaiko
sekke merupakan cerminan dari sikap kolektivitias. Bagi masyarakat
Wajo sikap kikir akan membuat kita jauh dari teman atau dari orang lain, jadi
ketika kita menjadi makhluk yang terasing secara otomatis kita sulit untuk
melakukan usaha perdagangan karena usaha perdagangan membutuhkan relasi sosial
yang kuat.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Fukuyama (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para
anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Adapun Cox (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu
rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan,
norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya
koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
Modal sosial ditransmisikan melalui
mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan
sejarah (Supriono, 2007:3). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis
komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human
capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma
moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi
kebajikan-kebajikan.
Coleman menambahkan bahwa capital social merupakan
aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu. Modal sosial
pada dasarnya ada pada tiap kelompok. Secara tidak sadar tiap kelompok
membutuhkan modal sosial tersebut untuk menjaga stabilitas dalam kelompoknya.
Kalimat massijing watakkale te’massijing
warangparang itu datangnya dari masyarakat luar berdasarkan apa yang
mereka pahami tentang perilaku masyarakat Wajo. Masyarakat luar telah salah
dalam menafsirkan sikap hemat dari masyarakat Wajo sehingga mereka
menganggapnya kikir. Sikap hemat tersebut bukanlah kikir tapi adalah satu
langkah yang digunakan mengembangkan usaha. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindakan rasional instrumental. Sebagaimana yang
diungkapkan Weber dalam Johnson (1986:220) bahwa tingkat rasionalitas paling
tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan
secara rasional ke suatu sistem tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya
diperhitungkan dan dipertimbangkan secara rasional.
Pertukaran uang dengan barang atau jasa adalah
konsekuensi logis dari kegiatan jual beli atau dapat dikatakan bahwa untuk
mendapatkan barang atau jasa diperlukan alat tukar yang memiliki nilai yang
setimpal dengan barang atau jasa yang diinginkan. Dalam masyarakat itu adalah
hal yang wajar saja ataupun dalam keluarga. Seorang ayah harus membayar barang
yang telah dibeli dari anaknya juga adalah sesuatu yang wajar saja. Jadi tindakan
tersebut bukanlah tindakan yang berkonotasi negatif seperti yang dilontarkan
pada pedagang bugis Wajo. Yang menjadi tidak wajar ketika ada transaksi dalam
urusan keluarga atau yang sifatnya sangat privasi, misalya seorang anak harus
mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya selama dia
bersekolah.
Realitas yang telah dijelaskan sebelumnya adalah
realitas pada komunitas paguyuban atau biasa dikenal dengan istilah gemeinschaft seperti
yang diungkapkan oleh Tonies adalah bentuk kehidupan bersama di mana
anggota-anggota diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah
serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa
kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga
bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat diumpamakan dengan
organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai
di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya
(Soekanto, 2003:132-133).
Fenomena sosial ini ketika dikaitkan pada
dinamika in-group dan out-group tentulah akan semakin
memperjelas bagaimana massijing watakkale te’massijing warangparang lahir
sebagai sebuah realitas sosial. Ketika seorang bertemu dengan sesama
kelompoknya tentulah sikap atau tindakan yang muncul berupa sikap simpati dan
merasa dekat dengan anggota-anggota kelompok. Pada kasus pengusaha tenun sutera
dapat dijelaskan bahwa ada sikap simpati atau baik berlaku pada sesama
kelompoknya dan atau keluarganya sendiri, contoh dalam kegiatan dagang adalah
pemberian potongan harga, bantuan modal, dan saling menjaga kualitas dari
barang yang dihasilkan. Pada tinjauan out-group sikap yang dimunculkan adalah
sikap antagonism atau antipati.
Penulis melihat bahwa massijing
watakkale te’massijing warangparang memiliki kecenderungan pada
nilai-nilai kapitalisme antara lain:
a) Nilai individualisme. Individualisme berarti
seseorang harus menjadi dirinya sendiri yaitu individu anggota masyarakat harus
mampu independen, tidak bergantung pada orang lain sebab tiap orang memiliki
hak untuk menjadi dirinya sendiri. Disamping itu juga ada unsur lain yang
sangat penting yaitu self reliance (keyakinan diri), self
interest (minat pribadi), self confidence (kenyamanan
pribadi), self esteem (harga diri) dan self
fulfillment are meaning of individualism (pemenuhan kebutuhan pribadi
adalah arti individualism secara mendalam).
b) Nilai kebebasan. Nilai individualisme tidak
dapat dipisahkan dengan semangat kebebasan karena nilai individualisme sendiri
dapat teraktualisasikan melalui independensi. Independensi dalam kapitalisme
meliputi kebebasan berusaha dan kebebasan pasar.
c) Nilai produktivitas. Dalam kapitalisme setiap
induvidu diharuskan untuk memproduksi/berkarya untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Semakin banyak produk (karya) yang dihasilkan seseorang maka makin
berharga dirinya di tengah mata masyarakat. Penghargaan datang tidak hanya dari
keturunan seperti halnya dalam sisten feodalisme namun penghargaan datang
karena orang tersebut mampu menghasilkan lebih banyak dibandingkan individu
lain.
d) Nilai efisiensi. Dalam sistem produksi massal,
nilai produktifitas tidak akan terpisah dari nilai efisiensi. Dalam nilai
efisiensi maka unsur produktifitas dengan memaksimalkan produksi yang dapat
ditempuh melalui dua hal yaitu tenaga kerja yang didisiplinkan dan investasi
capital yang diregulasi (rasionalisasi kapital).
Nilai tersebut lahir pada komunitas out-group sesuai yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Massijing watakkale te’massijing warangparang akan memperhadapkan kita pada dua dimensi
kehidupan. Dalam skripsi penulis mengistilahkan dengan relasi sosial dan relasi
ekonomi. Dalam relasi sosial tentunya hubungan tersebut lebih nampak pada pola
interaksi sehari-harinya, sedangkan pada relasi ekonomi akan mengarahkan kita
pada tindakan ekonomi yang dilakukan individu.
Fenomena massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat pula dikaitkan dengan teori dramaturgi
dari Goffman (Poloma, 2007:229) bahwa kehidupan ini bagaikan panggung
sandiwara, dimana kita dituntut untuk memiliki dua peran. Perann yang pertama
adalah peran sebagai diri kita sendiri dan peran yang kedua adalah kita
berperan sesuai dengan status yang kita miliki dalam masyarakat. Dalam
kajiannya pada pedagang individu memiliki dua karakter, karakter yang pertama
sebagai dirinya sendiri dan karakter yang kedua sebagai seorang pedagang.
Ketika dia sebagai seorang pedagang ia akan bertindak selayaknya seorang
pedagang tapi ketika ia betindak sebagai dirinya sendiri maka tindakannya
didasarkan pada hubungan emosional.
Sebagai sebuah ilustrasi seoarang paman akan
bertindak layaknya seorang paman kepada keponakannya ketika ia berada pada
panggung keluarga dan ketika ia berada pada panggung perdagangan maka ia akan
berperan sebagai seorang agen dalam transaksi jual beli tersebut.
2. Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang pada Relasi Sosial Pengusaha Tenun Sutera.
Manusia
sebagai mahluk sosial dituntut untuk melakukan
hubungan sosial antar sesama dalam hidupnya, disamping tuntutan untuk hidup berkelompok. Kehidupan
berkelompok bukan ditentukan oleh adanya kepentingan tetapi adanya dasar-dasar
untuk hidup bersama. Keinginan untuk hidup bersama ini terwujud dalam
bentuk kerja sama dalam masyarakat.
Fenomena massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi
pada relasi sosial. Pada relasi sosial hal tersebut dilihat sebagai suatu
nilai. Ketika kita melihatnya sebagai sebuah nilai maka tindakan tersebut
diarahkan pada sikap yang peduli dan tidak peduli. Opini masyarakat tentang
istilah tersebut akan diarahkan pada apakah istilah itu mengandung konotasi
positif atau negatif. Nilai yang dimaksudkan disini adalah perilaku ekonomi
individu dalam interaksinya (dalam keluarga).
Pada kajian ini keluarga diasumsikan
sebagai in-group dan out-group adalah diluar anggota keluarga. Individu akan
bersikap simpati kepada sesama kelompoknya (in-group) dan akan bersikap
antagonis pada kelompok lainnya (out-group). Dalam kaitannya dengan in-group,
ada nilai yang sengaja dipelihara, nilai tersebut berperan pada struktur sosial
seperti jaringan dan norma yang berlaku. Orang manganggap bahwa nilai-nilai itu
amat penting untuk keselamatan dan ketidaksejahteraan masyarakat, orang merasa
loyal dan setia pada nilai-nilai tersebut. Misalnya seseorang yang berprinsip
bahwa janganlah kita tercerai-berai karena masalah harta benda.
Relasi sosial pada pengusaha tenun sutera
bersifat asiosiatif atau saling menguntungkan. Ada harapan dibalik tindakan
tersebut, disini kita melihatnya dengan menggunakan pendekatan tipe-tipe
tindakan sosial dari Weber (Johnson:1986:220) tentang tindakan afektif, disini
dapat diartikan bahwa tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar misalnya membantu orang lain
karena kedekatan secara psikologis. Tindakan ini merupakan bagian relasi sosial
pada fenomena massijing watakkale te’massijing warangparang dan
sesuai dengan falsafah dagang yakni ajjasia natunaiko sekke.
Relasi sosial merupakan pola tersendiri dalam
sistem sosial. Pola tersebut tentunya memberikan arah pada tindakan individu
dalam sistem sosial. Ketika masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem maka akan
diasumsikan sebagai berikut:
a) Sistem mempunyai tatanan dan bagian yang tergantung satu sama
lain.
b) Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya sendiri,
atau ekuilibrium.
c) Sistem bisa menjadi statis atau mengalami proses perubahan secara
tertata.
d) Sifat satu bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk bagian
lain.
e) Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka.
f) Alokasi dan integrasi adalah dua proses
fundamental yang diperlukan bagi proses ekuilibrium.
g) Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan
batas dan hubungan bagian–bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi
lingkungan, dan kontrol kecenderungan untuk mengubah sistem dari dalam (dikutip
dari http://fisip.uns.ac.id).
Asumsi di atas dapat kita gunakan dalam membedah relasi sosial dan
relasi ekonomi kaitannya dengan fenomena massijing watakkale
te’mmasijing warangparang.
Sebagai realitas sosial komunitas pengusaha
tenun sutera dilihat sebagai sebuah sistem yang memiliki tatanan dan bagian
yang saling terkait, selanjutnya sistem tersebut akan berusaha mempertahankan
tatanan yang sudah ada dengan kata lain selalu tercipta ekuilibrium. Hubungan
pada struktur sosial di komunitas pengusaha sutera bisa bersifat statis bisa
berubah secara perlahan dan tetap teratur.
Dalam kajiannya terhadap relasi ekonomi bahwa
masyarakat sebagai sebuah sistem dapat diartikan dalam transaksi jual beli
terdapat dua pelaku yakni penjual dan pembeli. Untuk tetap mempertahankan
keseimbangan tersebut maka dua pelaku itu harus hadir walaupun transaksi
tersebut berlangsung dalam satu keluarga.
Secara nyata dapat dikatakan bahwa fenomena massijing
watakkale te’massijing warangparang adalah sesuatu fenomena yang ada
pada setiap masyarakat. Di dalam massijing watakkale te’massijing
warangparang terdapat berbagai macam dimensi yang menyusunnya.
Fenomena massijing watakkale te’massijing warangparang akan
membagi kehidupan masyarakat Wajo dalam dua dimensi yang berbeda yaitu dimensi
kehidupan sebagai anggota keluarga. Dan dimensi yang kedua adalah dimensi
individu sebagai agen atau pelaku dalam transaksi jual beli.
3. Upaya Maksimalisasi Keuntungan Pengusaha Tenun
Sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo.
Manusia didominasi oleh
keinginan untuk mendapatkan uang melalui akuisisi sebagai tujuan utama
hidupnya. Akuisisi ekonomis tidak lagi menjadi subordinat sebagai cara-cara
manusia dalam memuaskan kebutuhan materialnya. Menurut Weber inilah esensi dari
spirit kapitalisme modern (Giddens dalam Weber, 2006: XXXV).
Menurut Weber akan sangat
keliru jika kita beranggapan bahwa kegiatan mengumpulkan kekayaan untuk
kepentingan atas kesenangan duniawi adalah sebuah pengenduran nilai-nilai
moralitas. Pandangan bagus ini pada dasarnya adalah moral itu sendiri; yang
menuntut adanya disiplin dari diri sendiri. Para pengusaha yang diasosiasikan
dengan pengembangan kapitalisme rasional ini justru bisa memadukan rangsangan
akumulasi kekayaan dengan gaya hidup hemat secara positif.
Dalam kegiatan perdagangan keuntungan adalah
tujuan yang ingin dicapai. Hal tersebut berlaku dalam kondisi apapun walapun
transaksi tersebut terjadi dalam satu keluarga, contohnya seorang seoarang ayah
menjual sesuatu kepada anaknya. Hal tersebut pun juga berlaku pada
pengusaha tenun sutera, dan tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah
maksimalisasi keuntungan.
Maksimalisasi keuntugan disini dapat dilihat
sebagai penerapan kegiatan transaksi dimana barang harus ditukar dengan uang.
Dalam kegiatan hal tersebut adalah hal yang wajar saja. Tindakan ini dapat
disebut sebagai sebagai tindakan rasional, hal tersebut sesuai dengan tipe
tindakan yang dikemukakan Weber (Johnson, 1986:220) tentang tindakan rasional
instrumental. Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai
upaya maksimalisasi keuntungan pada dasarnya bersumber dari falsafah ajjasia
naburukiko labo, natunaiko sekke yang berarti jangan kau hancur karena
terlalu banyak memberi (terlalu dermawan) dan jangan kau terhina karena
kekikiranmu.
Dalam relasi sosial ekonomi massijing
watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi
keuntungan tentunya memberikan efek tersendiri. Pada relasi sosial
ekonomi tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya dalam menjalankan usaha
agar tidak mengalami kerugian.
Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi keuntungan
dalam penerapannya tidaklah bersifat statis tapi terdapat dinamika tersendiri
di dalamnya. Dalam transaksi jual beli pada komunitas tersebut tidak hanya
berlangsung begitu saja tapi ada nilai-nilai sosial yang berlaku di dalamnya
seperti bali reso dan padaidi. Sipedagang
akan memberikan sedikit keringanan harga kepada pembeli yang masih memiliki
ikatan keluarga dengan meskipun pada dasarnya mereka berdagang untung mencari
keuntungan. Hal ini yang kemudian disebut sebagai modal sosial, seusai dengan
pendapat Fukuyama (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial
sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama
diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama
diantara mereka. Munculnya modal sosial dalam relasi sosial ekonomi pengusaha
tenun sutera merupakan suatu perilaku afektif. Menurut Weber perilaku afektif
ini berkaitan dengan nilai dan jauh dari rasionalitas (Soekanto, 1985: 47).
Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi keuntungan
bagi masyarakat Bugis Wajo tidaklah mengandung nilai yang negatif karena mereka
percaya bahwa dalam jual beli harus terjadi pertukaran didalamnya. Dapat pula
dikatakan bahwa maksimalisasi keuntungan adalah tindakan professional. Pada
transaksi jual beli sebagai upaya maksimalisasi keuntungan status anggota
keluarga dari agen yang melakukan transaksi jual beli itu kemudian hilang yang
ada hanyalah status antara pembeli dan penjual. Pada hubungan sosial lainnya
yang bukan transaksi jual-beli itu memiliki tempat yang lain, dalam artian bahwa
ada pemisahan antara hubungan transaksi jual-beli dengan hubungan sosial
lainnya.
Daftar Pustaka
Abercrombie, Nicholas. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Agustang, Andi. 2011. Filosofi Research (Dalam Upaya Pengembangan
Ilmu). Makassar.
Ahmadin. 2008. Kapitalisme Bugis (Aspek Sosio-Kultural dalam Etika Bisnis Orang Bugis). Makassar: Pustaka Refleksi.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Kecamatan Tempe Dalam Angka 2011. Wajo:
BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011. Wajo:
BPS.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1.
Jakarta: PT Gramedia.
Jusmaliani, M.E., dkk. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Moleong, J. Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Telaahan
Positivistik, Rasionalisti dan Phenomenologik. Yogyakarta: Rake Sarasin
P.C. Box 83.
Nasution, S. 2008. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar
bekerjasama dengan forum Jakarta-Paris.
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1985. Maxx Weber, Konsep-Konsep Dasar Dalam
Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Jakarta: Buku Kompas.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.
(Terjemahan) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adijah, Andi. 2009. Dinamika Gerak Dagang Pedagang Bugis Wajo di Makassar Mall. Tesis
ini diterbitkan. Makassar: PPs UNM.
Kesuma, A. Ima. 2001.
Dinamika Etnosentrisme Orang Wajo: Kajian
Sosiologis Etnosentrisme Bagi Enterpreneur Etnik Wajo di Kota Makasssar. Tesis
ini diterbitkan. Makassar: PPs UNM.
Dikmenum. 2007. “Distribusi”bamboomedia
onnet, (Online), (www.dikmenum.go.id, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).
Supriono, Agus.dkk. 2007. Modal Sosial: Defenisi, Dimensi, dan
Tipologi, (Online). (p2dtk.bappenas.go.id/downlot.php?file=Modal%20Sosial...pdf. diakses pada tanggal 4 April 2012).
RisnaFhani.Skripsi 2012.