Kamis, 23 Februari 2012

Nilai Luhur Budaya Lokal

KEPERCAYAAN TOWANI (TO LOTANG)
DI KELURAHAN DUA LIMPOE KEC. MANIANGPAJO KAB. WAJO

Kegiatan Adat Towani Tolotang
Berikut ini saya akan sedikit menceritakan natural religion yang terdapat di salah satu kecamatan yang ada di kabupaten saya yakni tepatnya di Kecamatan Maniangpajo Kabupaten Wajo yang sampai hari ini masih dipercayai dan diyakini oleh para pengikutnya yakni kepercayaan Towani Tolotang.
Secara historis nama To Lotang atau Towani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang berasal dari bahasa bugis terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To yang berarti orang dan kata lotang (bahasa Bugis Sidrap) yakni Lautang yang berarti Selatan. Pendatang ini terusir dari Wajo, oleh karena pada saat itu Arung Matowa Wajo telah memeluk Islam dan mewajibkan semua rakyatnya juga memeluk agama Islam. Bagi rakyatnya yang tidak mau mengikuti perintahnya, maka sebagai konsekuensinya harus meninggalkan tanah Wajo. Kemudian sekelompok masyarakat Wajo yang tidak bersedia memeluk agama Islam, dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita yang kemudian mengadakan perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi (raja addetuang sidenreng, 1609 M). Setelah itu sebagian masyarakat To Lotang berpindah ke daerah Anabanua (Kel. Dua Limpoe Kec. Maniangpajo) perbatasan antara Kabupaten Wajo dan Kabupaten Sidrap.
Pada komunitas Towani di daerah Anabanua termasuk golongan Towani Tolotang dan yang berada di Amparita Kab. Sidrap terbagi atas dua yakni Towani Tolotang dan Tolotang Benteng karena pada dasarnya komunitas Tolotang terbagi atas dua. Towani Tolotang dalam kepercayaannya masih mempertahankan ajaran dari leluhurnya sedangkan Tolotang Benteng telah berafiliasi dengan ajaran agama Islam, hal ini nampak pada ritual keagamaannya yang memasukkan unsur-unsur keagamaan Islam didalamnya, misalnya beribadah di mesjid layaknya umat Islam pada umumnya.
Komunitas Adat Towani dalam kehidupan sehari-hari menganut kepercayaan Towani yang diajarkan oleh leluhurnya (I Pabberre). Hal ini dapat terlihat pada setiap tahunnya masyarakat Towani melakukan ritual penyembahan kepada leluhur mereka yang biasa mereka laksanakan di rumah lewat doa dan ada juga Upacara Perringnyameng yang dilaksanakan setiap bulan januari yang dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan dengan para pemimpin adat (uwwa).
Kepercayaan yang dianut mewajibkan mereka untuk taat pada ajaran yang bertumpu pada lima keyakinan, yaitu Percaya adanya Dewata SeuwaE (keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa), percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia, percaya adanya hari kemudian, percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan, percaya kepada Lontaraq sebagai kitab suci. Penyembahan Towani kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kuburan nenek moyang. Lima ajaran inilah telah mengkristal pada diri masyarakat Towani sehingga dalam kesehariannya kepercayaan telah menjadi falsafah hidup mereka.
Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah: pertama, Mappenre nanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritual/upacara, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan Uwatta.
Kedua, Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritual pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada Dewata. Biasanya juga untuk menetukan hari pelaksanaan upacara Perrinyameng. Ritual tudang sipulung ini dilakukan di rumah pemimpin adat (Uwa dan Uwatta) dengan membawa sesajian berupa Sokko Patanrupa. Sokko Patanrupa (nasi ketan empat macam). Yakni nasi ketan putih diibaratkan air, nasi ketan merah diibaratkan api, nasi ketan kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Hal ini menandakan bahwa Towani mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin. Itulah sebabnya, setiap upacara Mappenre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa. Dimana pada saat sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun.
Ketiga, Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritual tertentu di kuburan I Pabberre di Perrinyameng (Pare-Pare). Dalam prosesi upacara Perrinyameng dilakukan bersama dengan berjalan kaki tanpa alas kaki dari Amparita menuju ke kuburan I Pabberre. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan ataukah sesuai dengan waktu yang disepakati saat ritual acara Tudang Sipulung.
Pada komunitas Towani pelapisan masyarakat didasarkan pada sistem pertalian darah dan keturunan, namun dalam gelar bangsawan Towani tidaklah sama dengan yang dipakai dikalangan masyarakat Bugis, ukuran ini tidak lepas dari sejarah Towani itu sendiri. Golongan Uwa menempati posisi tertinggi, pada tingkatan ini terbagi pada dua gologan yakni Uwatta sebagai tokoh sentral dan Uwa yang berada satu tingkat di bawahnya, kemudian golongan To Sama, yang terdiri dari masyarakat biasa. Uwatta itu adalah keturunan dari La Panaungi (penerima wahyu dari Dewata SeuwaE).
Dalam pelaksanaan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat Towani tidak melakkukannya secara langsung tetapi melalui upcara ritual tertentu dengan menggunakan simbol totem. Upacara dipimpin oleh pimpinan kelompok yaitu Uwatta dan pembantunya. Beberapa simbol seperti yang telah dipaparkan sebelumnya adalah kuburan (seperti kuburan I Pabberre di Perringnyameng), sumur (seperti yang terdapat di Wani, Wajo). Penggunaan simbol kuburan dan sumur dikarenakan kedua simbol ini mempunyai makna spritual yang begitu kuat bagi Komunitas Adat Towani. Tidak sembarang tempat yang dapat ditempati untuk melakukan ritual keagamaan, hanya tempat yang dianggap sakral dan keramat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar