Senin, 13 Februari 2012

Makalah Stratifikasi Sosial

STRATIFIKASI SOSIAL
MASYARAKAT BUGIS KECAMATAN BELAWA KABUPATEN WAJO

BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Misalnya jika masyarakat menghargai kekayaan material daripada kehormatan maka mereka yang memiliki kekayaan tinggi akan menempati kedudukan yang tinggi dibandingkan pihak-pihak lainnya. Gejala tersebut akan menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal.
Sebagaimana filosof Aristoteles (Soekanto, 2003:227) mengatakan bahwa zaman dahulu di dalam negara terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang berada di tengah-tengah. Membuktikan bahwa zaman itu dan sebelumnya orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. Barang siapa yang mempunyai sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak, dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Sistem lapisan dalam masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan sebutan stratifikasi sosial (social stratification). Ini merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Kelas sosial tersebut dibagi dalam tiga kelas yaitu kelas atas (upper class), kelas menengah (middle class)  dan kelas bawah (lower class).
Adanya lapisan masyarakat sangat berperan penting dalam aktivitas sosial individu atau kelompok dalam suatu organisasi sosial. Tanpa lapisan sosial dalam masyarakat maka masyarakat itu akan menarik untuk dilihat, dikenal, dan dipelajari.
Lapisan masyarakat sudah ada sejak dulu, dimulai sejak manusia itu mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial. Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara yang pemimpin dan yang dipimpin, golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja bahkan pada pembedaan kekayaan. Semakin maju dan rumit teknologi suatu masyarakat, maka semakin kompleks sistem lapisan masyarakat.
Bentuk-bentuk kongkrit lapisan masyarkat berbeda-beda dan sangat banyak. Namun secara prinsipil bentuk-bentuk lapisan sosial tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelas yaitu ekonomi, politis, dan didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Ketiga bentuk pokok tadi memiliki keterkaitan yang erat satu sama lainnya, dimana ketiganya saling mempengaruhi.
Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, namun dalam realitanya hal tersebut tidak demikian adanya. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Sistem lapisan dengan sengaja dibentuk dan disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Sehingga suatu organisasi masyarakat tidak akan pernah lepas dari terbentuknya lapisan sosial dalam masyarakat tersebut.
Terkait dengan uraian di atas maka untuk lebih memperdalam pengetahuan kita maka di dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan bentuk lapisan masyarakat yang terdapat di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo.
B.       RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan stratifikasi sosial?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk stratifikasi sosial di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo?
C.      TUJUAN
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami stratifikasi sosial.
2.      Untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk stratifikasi sosial di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak. Sebagaimana Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai pembedaan penduduk atau anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki. Sementara Max Weber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.
Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi adapula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.
Sifat sistem lapisan sosial di dalam masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification), terbuka (open social stratification), dan sistem lapisan sosial campuran. Stratifikasi sosial tertutup (closed social stratification) ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan
mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas
horisontal saja. Contoh:
sistem kasta, kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana, rasialis, kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih, feodal, kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan atau majikan. Stratifikasi sosial terbuka (opened social stratification) ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata
dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh:
seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya, seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha. Sedangkan stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah kekayaan (materi atau kebendaan), ukuran kekuasaan dan wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan.
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan sosial masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan dan peranan merupakan dua unsur baku dalam lapisan sosial dan mempunyai arti penting dalam bagi sistem sosial. Yang diartikan sebagai sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antara individu dalam masyarakat dan tingkah laku individu-individu tersebut.
Kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan itu dibedakan atas tiga macam yaitu pertama, ascribed status artinya kedudukan sesorang dalam masyarakat diperoleh karena kelahiran tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan, misalnya kedudukan anak bangsawan adalah bangsawan pula. Kedua, achieved status artinya kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja, misalnya profesi guru diperoleh dengan memenuhi persyaratan tertentu dengan usaha dan kemampuan yang dimilikinya. Dan ketiga, assigned status artinya kedudukan yang diberikan, mempunyai hubungan erat dengan achieved status, bahwa kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam hal ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu peranan merupakan suatu konsep perihal pa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Serta peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi stuktur sosial.

B.       BENTUK-BENTUK STRATIFIKASI SOSIAL DI KECAMATAN BELAWA KABUPATEN WAJO
Masyarakat Sulawesi Selatan agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Sulawesi Selatan (Mattuada, 1997). Sejak masa pra Islam masyarakat Sulawesi Selatan mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarkat Sulawesi Selatan. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
Pada suku Bugis (masyarakat bugis) menganut tiga tingkatan sosial. Ketiga tingkatan sosial itu adalah : Ana’ Arung, To Maradeka dan Ata. Ketiga tingkatan sosial yang dianut oleh suku yang terbesar di Sulawesi Selatan ini masing-masing memiliki bahagian-bahagian.
Lapisan teratas adalah Ana’ ArungSuku Bugis mengenal Ana’ Arung atas dua tingkatan sosial, yaitu Ana’ Jemma dan Ana’ MattolaTingkatan yang disebut pertama adalah anak bangsawan yang lahir pada saat ayahnya memerintah/menjadi raja. Anak ini menjadi pewaris dari kerajaan. Sedangkan tingkatan yang disebut berikutnya adalah anak bangsawan dari raja yang lahir sebelum atau sesudah ayahnya memerintah.
Ana’ Mattola terdiri dari tiga tingkatan sosial, yaitu Ana’ Mattola Matase, Ana’ Mattola Malolo dan Ana’ Cera’Ana’ Mattola Matase adalah anak yang lahir dari hasil perkawinan ayah dan ibu dari tingkatan sosial yang sama. Ana’ Mattola Malolo adalah anak yang lahir dari perkawinan ayah yang lebih tinggi darah kebangsawanannya dari pada ibunya. Sedangkan Ana’ Cera’ adalah anak yang lahir dari perkawinan antara seorang bangsawan dengan orang biasa.
Lapisan kedua, To Maradeka adalah orang yang tidak diperbudak oleh orang lain. Lapisan ini terdiri atas dua lapisan, yaitu To Baji (orang baik) dan To Samara (orang biasa). Sedangkan lapisan ketiga, Ata, terbagi kepada dua lapisan, yaitu. Ata Mana’ dan Ata Taimanu. Lapisan pertama adalah budak turun temurun sejak nenek moyangnya, jika mereka mempunyai keturunan maka keturunan tersebut menjadi budak lagi dari orang yang memperbudaknya. Lapisan kedua adalah golongan budak yang paling rendah dan dianggap paling hina, karena yang memperbudaknya adalah To Maradeka.
Era modern sekarang ini dasar penentuan stratifikasi sosial pada masyarakat bugis umumnya dan khususnya di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dapat dikatakan sudah tidak berdasar pada ascribed status, yakni status yang diperoleh dari kelahiran. Namun lebih kepada achieved status yakni status yang diperoleh melalui usaha-usaha yang dilakukannya dan assigned status yakni kedudukan yang diberikan karena adanya sesuatu hal yang berjasa dilakukan kepada masyarakat.
Masyarakat bugis di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo penentuan stratifikasi sosial lebih kepada kepemilikan harta dan tingkat pendidikan serta prestise yang diperoleh dari usaha-usaha yang dilakukannya. Seseorang yang memiliki harta banyak maka akan memperoleh kedudukan tinggi dalam masyarakat, sebaliknya mereka yang memiliki harta sedikit atau tidak ada akan memperoleh kedudukan rendah. Begitupun seseorang yang memperoleh kedudukan diposisi pemerintahan, memiliki gelar pendidikan yang tinggi seperti professor, doktor, dan sebagainya, atau mereka yang memiliki profesi-profesi yang dipandang tinggi oleh masyarakat seperti dokter, polisi, tentara, dosen dan lainnya. Kedudukan-kedudukan tersebut dalam masyarakat berada pada posisi atas.
Sekarang setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Dengan memiliki pengetahuan, mereka bisa merebut posisi dan menjadi terpandang di masyarakat. Begitu pun dengan stratifikasi sosial, menjadi kabur dan mengalami degradasi nilai. Akibatnya pola pandangan masyarakat tidak lagi terpaku dengan status yang diperoleh melalui keturunan. Mereka lebih mengutamakan peranan dan fungsi seseorang dalam masyarakat melalui prestasinya. Dengan demikian pelapisan sosial antara anak bangsawan dengan masyarakat biasa mulai berkurang dan stratifikasi sosial yang lama sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan.
Perubahan pola stratifikasi sosial terjadi karena konsep feodalisme perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Disamping itu masyarakat lebih berpikir rasional dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. Perkembangan zaman yang begitu cepat membuat sebagian masyarakat menjadi tertinggal karena tak mampu mengikuti arus modernisasi. Begitu pun dengan dinamika sosial, bagi mereka yang mampu tampil dalam pentas modernisasi (berpikir modern) maka merekalah yang mendapat posisi tinggi dalam lapisan sosial.
Pada dasarnya stratifikasi sosial masyarakat Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo itu selalu bersifat terbuka, hal ini didasarkan atas sifat keterbukaan dan nilai-nilai demokrasi yang berafiliasi dengan falsafah hidup masyarakat Wajo, yakni salah satunya adalah sebagai berikut:
Maradeka to wajoe, najaiang alena maradeka, tana’emi ata, naiya tau makketanae maradeka maneng”, artinya Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Dalam falsafah hidup tersebut tampak jelas bahwa ada sebuah keterbukaan, ada kebebasan untuk bertindak karena masyarakat Wajo mengakui dan menjunjung tinggi hak kemanusiaan.  

BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat gambaran bahwa telah terjadi pergeseran status sosial di masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya masyarakat Bugis di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Dimana status sosial tidak lagi didasarkan pada keturunan, kasta, maupun stratifikasi sosial lama. Jabatan struktural di pemerintahan, kekayaan, serta tingkat pendidikan lebih dominan berpengaruh dalam menentukan derajat sosial seseorang. Pergeseran ini semakin kental seiring perkembangan kehidupan.

B.       SARAN
Masyarakat diharapkan tidak bersifat tertutup, namun lebih bersifat terbuka dalam melakukan gerak sosial agar tercipta kehidupan sosial yang selaras tanpa adanya diskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman. 2008. Stratifikasi Sosial Masyarakat Sulawesi Selatan, (Online), (http://bz69elzam.blogspot.com/2008/08/stratifikasi-sosial-masyarakat-sulawesi.html., diakses pada tanggal 6 Januari 2011).

Irawanto, Febri. 2011. Bentuk-bentuk Struktur Sosial (Differensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial), (Online), (http://febriirawanto.blogspot.com., diakses pada tanggal 1 Januari 2012).

Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

MEMAHAMI NILAI LUHUR BUDAYA LOKAL WAJO

MEMAHAMI NILAI LUHUR BUDAYA LOKAL WAJO
“Maradeka Towajoe Adenami Napopuang”
Maradeka towajoe, najajiang alena maradeka, tanaemi ata naia tau makketanae maradeka maneng, ade assamaturusennami napopuang”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
Makkedatoi arung saotanre petta to taba’ la tiringeng : ”naia parajaiengngi wajo’, bicara malempu’e namagetteng ri ade’ mappuraonrona, namasse’ ri ade’ ammaradekangenna ia tona pasiamasengnge taue ri lalempanua, pasio’daningnge tau temmasseajingngeng, nassekitoi asseajingenna tanae. Napoalie’-birettoi to wajo’e maradekae, naiatosi napoasalamakengnge to wajo’e mapaccinna atinna namalempu’, namatike’, namatutu, nametau’ ri dewata seauae, namasiri’ ripadanna tau. Latonaro kuae paccolli’i pa’daungngi wajo’, pattakkei, pappalepangngi, papparanga-rangai, nalorong lao orai’, lao alau’, lao maninag, lao manorang, matereng raunna macekke’ riannaungi ri to wajo’e”.

Artinya:
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Abidin Abidin menyatakan bahwa nilai lokal yang unggul yang dimiliki oleh orang Wajo dalam kesejarahannya adalah “demokratisasi”. Letak keunggulannya dan relevansinya dengan nilai kini adalah adanya kata maradeka, yang sekarang diindonesiakan menjadi merdeka yang artinya bebas. Jadi kata merdeka itu diserap dari Wajo bila ada orang sastra (dari fakultas Sastra) yang mencoba menelusurinya. Ada empat nilai unggul dari kata mardeka towajoe, tanaemi ata, naiyya taumakketanae maradeka maneng, ade assamaturusengmi napopuang adalah (1) HAM, (2) pelayanan publik, (3) penegakan hukum, (4) demokratisasi (Arifin, 2010:213).
Analisis beberapa nilai sejarah lokal Wajo ditinjau dalam lintasan sejarah asal mula Wajo dan relevansinya dengan tuntutan demokrasi (perubahan sosial politik)

No
Uraian
Analisis
Relevansi Nilai Lokal
1
Tana Wajo diawali oleh integrasi manusia biasa yang diberi gelar Puangnge ri Lampulungngeng dalam kondisi damai, bebas (merdeka). Masyarakat memiliki kontrak social tertulis dan jelas yakni member kemerdekaan pada orang Wajo, dan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang.
Kedaulatan rakyat sangatr dijunjung tinggi (pemerintah milik rakyat dan untuk rakyat).
Mengembalikan hak pemeritahan ke tangan rakyat.
2
Pengangkatan pemimpin pemerintahan didasari atas kompetensi (keahlian, kecerdasan, kearifan dan kebijaksanaan). Jika pemimpin meninggal dan tidak ada yang pantas memimpin maka orang Wajo lebih baik tidak memiliki pemimpin (maradeka)
Tidak ditemukan system pewarisan pemerintahan/kepemimpinan.
Tidak membenarkan system pewarisan melainkan dengan prinsip kompetensi.
3
Penyelesaian masalah pemerintahan selalu dilakukan melalui musyawarah (sipetangngareng) atau melalui pemungutan suara.
Keterlibatan semua pihak sangat menentukan jalannya pemerintahan.
Menuntut keterlibatan semua pihak (stake holders)
4
Pemerintahan dijalankan melalui system dewan 40 raja yang diangkat, dan dibagi habis melalui pembagian jabatan yang professional berdasarkan kompetensi.
Memiliki system pemerintahan modern, dengan pembagian tugas yang jelas (deviding of the jobs), dilengkapi dengan struktur (hierarchi) dan role and regulation berdasarkan knowledge, skill dan experience.
Pemerintahan modern, dengan pembagian tugas yang jelas (deviding of the jobs), dilengkapi dengan struktur (hierarchi) dan role and regulation berdasarkan knowledge, skill dan experience.
Beberapa pandangan hidup orang Wajo yaitu:
a. Molawi ada naparapi (cakap mengikuti pembicaraan).
b. Duppai ada Napasau (cakap menyambut pembicaraan dan mengatasinya).
c. Matui ada nasitinaja (cakap menyusuri pembicaraan yang terarah).
d. Taroi gau ri akkuanna-e (berbicara yang patut).
e. Aja mumaelo natunai sekke, naburukiko labo (jangan pernah terhina dengan sifat kikir, dan hancur oleh sifat boros).
f. Resopa natinulu natemmangingngi, malomo naletei pammase Dewata Seuwae (kerja keras, rajin dan ulet adalah jembatan menuju keridhaan Allah).
g. Tellu ampikalena To Wajo’e : tau-e ri Dewatae, siri’e ri Tau’e, siri’e ri watakkale (tiga prinsip hidup orang Wajo yaitu : takwa kepada Allah, hormat pada orang lain, dan hormat pada diri sendiri).
h. Maradeka To Wajo-e, najajiang alena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna, napogau gau’na, ade assamaturusennami napopuang (orang Wajo dilahirkan dengan merdeka, bebas berespresi, bebas berbicara dan menyatakan pendapat, bebas berbuat, dan menjunjung hukum yang berdasarkan permusyawaratan).
i. Madecengngi ripangaro risaliweng jonge’na bubuna Wajo. Maupe ammani Wajo nawerengngi Dewata Seuwa-e na engkka baliwanuata muttamaiwi Taala paddaire pabbumpumpanua, napoarajangngi tanata napolebirengngi tapoasogirengi (lebih baik negeri kita buka lebar-lebar siapa tahu Dewata yang Esa merestui kita, ada orang masuk untuk menambah kebesaran negeri kita. Menjadikan besar negeri kita, serta memperkaya).
Petuah-petuah tersebut memberi cerminan yang berarti tentang sifat-sifat orang Wajo yang cerdas, cakap, dan memiliki budaya mendengar, memecahkan masalah dengan tenang, tidak sombong, hemat, percaya terhadap ke Esahan Allah, taat beragama, mudah beradaptasi, memiliki etos kerja, ramah-tamah, terbuka pada siapa pun saja, termasuk pendatang dari negeri lain. Konsep tersebut membawa serta arti yang besar terhadap segala aspek yakni, aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun politiknya.
Sumber: Arifin, Indar. 2010. Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik. Makassar: IKAPI.
www.rappang.com/2009/12/wajo.html

Selasa, 31 Januari 2012

Perilaku Sosial Masyarakat Perkotaan

PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN

Salah satu persoalan kompleks yang terjadi hamper di semua kota besar di dunia adalah berkembangnya perilaku yang dinilai asocial dan bertentangan dengan norma-norma kewajaran. Semakin makmur satu negara dan semakin taat hukum masyarakat, maka perilakunya pun memiliki ketertiban yang sejalan dengan cita-cita pertumbuhan kota modern. Namun faktanya, kondisi negara amatlah beragam, kota modern dibangun bukannya semakin tertib, tetapi mengundang kaum urban untuk hijrah secara besar-besaran menuju kota baru tersebut. Atau pula dapat terjadi di sejumlah kota besar, justru angka kriminalitas semakin meningkat karena masyarakat semakin terasing dengan ruang yang besar dan serba sistematis tersebut.
Tidak ada kota yang tidak mengandung masalah di dunia ini, namun tingkat permasalahan itulah yang menjadi ukuran “keberhasilan” program pembangunan perkotaan. Terdapat dua masalah kunci di kota-kota besar yaitu masalah makro perkotaan dengan sistem pengelolaannya dan masalah detil perkotaan yang menyangkut perilaku warganya dalam memelihara dan berkegiatan di dalam kota. Justru permasalahan detil kota inilah hingga akhir abad ke-20, yang menciptakan kota sebagai bagian permasalahan sosial yang kompleks. Kota-kota di Indonesia tak luput dari permasalan di atas dengan variasi permasalahan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kota-kota lainnya di dunia, karena di samping jumlah penduduk yang beragam, juga kepadatan kota yang kian tak terkendali.
Salah satu figure kota besar di Indonesia dengan sejumlah permasalahan yang kompleks adalah kota Jakarta. Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta memiliki kecenderungan amat terbuka terhadap pertumbuhan bangunan-bangunan baru, terutama pembangunan gedung-gedung milik negara kea rah inti kota yang diberin tanda dengan Monumen Nasional, hal ini untuk menghilangkan struktur perkotaan yang telah dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian ditunjuknya gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada tanggal 28 April 1966, membawa nafas baru dalam sejarah perkotaan nasional. Kebijakan ini melahirkan Rencana Induk Pembangunan DKI Jakarta yang dikenal dengan nama “Master Plan” 1965-19985, selama 11 tahun (1966-1977), wajah ibu kota mengalami perubahan fisik menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Kemajuan kota Jakarta kemudian banyak ditiru oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kemudian untuk menindak lanjuti rencana pembangunan kota berikutnya, pemda DKI Jakarta berhasil menyusun Rencana Tata Ruang DKI Jakarta 2005 yang disahkan melalui peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 5 Tahun 19984. Sejak tahuan 1990-an, wajah Jakarta memiliki kesamaan dengan kota-kota besar di dunia, yaitu tumbuhnya bangunan-bangunan pencakar langit , jalan laying, dan pusat-pusat hiburan. Kondisi ini menurut perluasan wilayah hingga Bogor, Tangerang dan Bekasi, dengan katung0katung daerah satelit untuk perumahan baru. Dampak pertumbuhan ini, berakibat pula pada pola perilaku sosial masyarakatnya, seperti jam kerja lebih lama, meluasnya kemacetan lalu lintas, tuntutan akan hiburan dan kenyamanan semakin tinggi, perubahan pola makan, tuntutan ekonomi biaya tinggi, hingga hubungan kekerabatan yang mulai memudar.
Sejalan dengan peningkatan pendapatan, kebutuhan akan pemukiman mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk di berbagai wilayah tanah air. Secara umum pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 19711-1980 adalah 4% per tahun. Percepatan pertumbuhan penduduk ini kemudian menuntut pemekaran kota-kota padat, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Malang, Ujungpandang (Makassar), Palembang dan lainnya. Pada Repelita IV (1984-1988), perencanaan kota dan wilayah untuk pertama kalinya dimasukkan dalam program nasional. Target yang ingin dicapai adalah pengembangan dan perencanaan wilayah yang meliputi 394 kota, 194 wilayah lokal, dan 204 kecamatan. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata memiliki gradasi kualitas yang berbeda-beda, ada yang mengalami percepatan dengan kualitas yang cukup baik, adapula yang justru semakin semrawut karena pembiayaan pembangunan diperkirakan berbelok kepada hal-hal yang bersifat nonteknis (suap, kolusi, manipulasi, kompensasi, korupsi, ataupu upeti kepada para pejabat).
Tak menentunya pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia menjadi masalah yang diagendakan pemerintah menyangkut ketersediaan air bersih, energi listrik, sanitasi, pembuangan sampah dan prasarana utama lainnya. Permasalahan yang kini kompleks tersebut disertai dengan pertambahan penduduk dan urbanisasi yang tak terkendali, menjadi salah satu kendala dalam pengembangan tata ruang kota di Indonesia secara keseluruhan. Namun demikian, pola perencanaan kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda dan dilanjutkan dengan program pengembangan kota setelah kemerdekaan adalah dengan cara mengadopsi konsep kota modern. Secara bertahap, aspek-aspek pengembangan kota “kosmologis” sebagaimana diterapkan pada pengembangan kota zaman Hindu, telah mengalami perubahan sejalan dengan masuknya pemikiran Barat ke Indonesia. Namun ternyata pertumbuhan kota secara organic lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kota yang diprogramkan.
Pembangunan kota-kota baru yang modern sebagai implikasi kebutuhan pemukiman yang semakin besar umumnya didasarkan pada pendekatan keilmuan tata kota (planologi), sebagaimana terlihat pada pengembangan kota Bumi Serpong Damai, perluasan wilayah Jabotabek, Jonggol, Sala Baru, reklamasi pantai Utara Jawa, kota-kota di pulau Batam, Bontang, pembangunan daerah Busang dan berbagai kota satelit. Fenomena ini merupakan program modernisasi yang semakin mengakar sejalan dengan program pembangunan lainnya.
Jika pada tahun 1971 penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 17,2%, maka pada tahun 1980 berkembang menjadi 22,3%, pada tahun 1990 telah mencapai 31%, pada akhir Pembangunan Jangka Panjang I telah mencapai 35% dan pada akhir Pembangunan Jangka Panjang II jumlah penduduk telah mencapai 50%. Fenomena ini akan menyebabkan pulau Jawa menjadi sebuah “kota pulau” yang besar dengan muatan segala persoalan sosial di dalamnya.
Pembangunan kota baru di Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan: (1) berfungsi sebagai pusat kedudukan pemerintahan atau provinsi, seperti Banjar Baru (Kalimantan Selatan), Palangkaraya (Kalimantan Tengah); (2) sebagai kota kabupaten seperti Bale Endah (Kabupaten Bandung), Gresik (Kabupaten Surabaya), Sumber (Kabupaten Cirebon); (3) berkaitan dengan pertumbuhan industri dan penggalian bahan alam seperti Tembagapura, Cilegon, Soroako, Asahan, Bontang. Berdasarkan letak geografis, beberapa kota baru di Indonesia memiliki ciri yaitu:
a. Kota baru yang tumbuh dari kota induk yang meluas dengan skala yang besar ke wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan kota induk.
b. Kota baru yang tumbuh sebagai satelit, kota yang terbentuk bagi peruntukkan tempat tinggal yang letaknya terpisah dari kota induk tetapi secara fungsional tergantung pada kota induk. Contoh kota satelit tersebut diantaranya Kebayoran Baru (1950), Banjar Baru (1953), Bale Endah (1976).
c. Kota mandiri, yaitu kota baru yang terbetuk sebagai kota mandiri dalam memenuhi kehidupan dan kegiatan usaha penduduknya. Kota jenis ini dapat terbentuk dari kota “perusahaan”, kota “pertambangan”, kota “administrasi pemerintahan”, ibu kota provinsi dan lainnya. Kota jenis ini diantaranya Bandung Raya, Gerabang Kertosusila, Jabotabek.
d. Kota yang terbentuk karena kegiatan yang spesifik seperti pariwisata, instalasi militer, pusat rekreasi atau sejenisnya. Jenis kota ini diantaranya Lhokseumawe, Soroako, Bontang, Batam, Cilegon.
Dalam dunia Tata Ruang dan Perkotaan di Indonesia terdapat landasan hukum yang menjadi surat keputusan bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum No.503/KPTS/1985 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota, sedangkan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum memilul Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota, Kriteria Perencanaan Kota dan Pembinaan Perkoataan. Kemudian keputusan bersama ini diperkuat oleh Keputusan menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, yang meliputi Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan, Rencana Umum Tata Ruang Kota, Rencana Detil Tata Ruang Kota dan Rencana Teknik Tata Ruang Kota.
Di samping kota-kota baru yang dibangun oleh pemrintah maupun swasta, kota-kota yang tumbuh sejak masa pemerintahan kolonial berkembang pula amat cepat, bukan hanya dari segi fisiknya saja, tetapi juga jumlah penduduk dan aktivitasnya. Demikian pula perilaku masyarakat kota menjadi amat beragam karena datangnya kaum urban dari berbagai daerah pinggiran kota, maupun daerah lain. Berdasarkan pengamatan penulis terdapat sejumlah perilaku khas (stereotip) yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, diantaranya:
1. Perwajahan kota yang tak tertib
Hampir diberbagai kota besar dan kecil di Indonesia berhadapan dengan permasalahan yang sama yaitu terjadinya ‘unjuk visual’ yang membuat kota seperti ‘tong sampah’ yang segala ada. Bangunan di pinggir jalan selalui dipenuhi oleh iklan-iklan produk dengan bentuk yang acak, mulai papan took, bilbor, spanduk, baliho dan tayangan-tayangan visual verbal. Semuanya masing-masing ‘berteriak’. Dengan wujud dan dimensi yang semakin besar. Bilbor yang tadinya ckup dua kali dua meter kini mulai terpajang dalam bentuk delapan kali lima meter dengan tinggi sepuluh meteran. Diletakkan diperempatan jalan strategis, kemudian di bawahnya masih terbentang spanduk dan bilbor-bilbor kecil. Dalam posisi itu, lampu lalu lintas dan rambu lalu lintas hilang tertelan oleh ‘hutan visual’ yang tal tertata. Demikian pula para pedagang makanan kakilima, kini memiliki kecenderungan memanfaatkan spanduk-spanduk bekas dengan unsur rupa tersisa, kemudian dengan penempatan yang menyita lahan pejalan kaki, maka semakin riuhlah keadaan.
2. Ruwetnya sistem informasi
Kurangnya papan informasi dan tanda-tanda penunjuk arah, menyebabkan para wisatawan dan pendatang baru amat sulit mencari alamat yang dituju, di samping juga informasi tentang kendaraan, nomer trayek, bahkan posisi pelaku di tengah kota. Unsur keruwetan visual yang memiliki kesamaan di berbagai kota, menyebabkan para pengguna jalan kebingungan. Pusat-pusat penerangan wisata, peta kota, hingga arah jalan tak lagi memiliki makna, karena tidak direncanakan secara sistematis dan komunikatif. Tersesat di tengah kota, terutama pendatang baru, amatlah terbiasa karena sistem informasi dan sistem pertandaan kota belumlah jelas benar.
3. Kemacetan permanen
Tiadanya disiplin berlalu lintas, bahkan dibeberapa kota padat selalui ditandai oleh kemacetan permanen yang terjadi pada jam-jam tertentu, atau situasi tertentu. Kemacetan di satu ruas jalan berdampak kepada kemacetan total sebagian besar kota. Hal ini menumbuhkan sikap asocial para pemakai jalan, terutama kendaraan angkutan umum yang mengejar target perolehan setoran. Hal itu juga terjadi dengan para pejalan kaki yang tak lagi tertib dalam memakai jalan, sehingga di jalan tak ada lagi hukum yang dapat ditegakkan. Biaya kemacetan tiap hari makin tinggi, dibandingkan hasil produktif yang seharusnya diperoleh. Demikian pula halnya dengan pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan di satu lokasi telah mencapai batas yang ditolerir.
4. Kota yang kotor
Perilaku kebersihan kota yang masih rendah, ditandai oleh sebaran sampah, debu, lubang, tidak tertibnya parker dan lalu lalang manusia di jalan-jalan padat kendaraan. Jumlah penduduk yang terlampau padat dengan strata dan kegiatan sosial yang beraneka menciptakan situasi kota menjadi ‘chaos’. Demikian pula pedagang kakilima, pertokoan sporadic, papan took yang ‘berteriak’, bahu jalan yang tak beraturan, kabel listrik dan telpon yang semrawut serta sampah yang bertebaran membangun citra kota menjadi kumuh serta berkesan tak terawat.
5. Pamer ‘kemewahan’
Kebiasaan ‘berteriak’ dengan bahasa visual, melalui coretan, tulisan, hiasan lampu, keanekaan pagar, keanekaan bentuk rumah dan sebagainya merupakan fenomena baru mereka yang berlebihan dalam keberjasilan ekonomi. Akibatnya tumbuhlah berbagai jenis bangunan yang amat tak beraturan dan beraneka dan juga yang disertai oleh tiadanya penegakan peraturan izin bangunan. Demikian pula, tumbuhnya mal-mal dan supermarket yang besar tanpa memikirkan besaran jalan dan jumlah kendaraan, sehingga di samping kemacetan, juga tumbuhnya kecemburuan sosial sebagain masyarakat.
Terdapat tardisi baru para superkaya di Indonesia untuk memiliki kendaraan mewah lebih dari tiga buah dengan rumah mewah di berbagai kota. Meskipun masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Namun di tengah masyarakat yang berada dalam kondisi amat memprihatinkan, hal itu merupakan pemicu tumbuhnya rasa kebencian yang mendalam, terutama jika dilakukan oleh para pejabat negara atau anggota dean perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi teladan.
6. Masyarakat miskin yang tak terkendali
Akibat lemahnya sector hukum. Tiadanya dinas sosial dan lembaga pengawasan kota yang efektif, memunculkan kebiasaan tak tertib pedagang kakilima, asongan, pengemis, pengamen, penyebarang, peminta sumbangan, hingga preman. Kota seolah menjadi satu wilayah tak bertuan, penguasaannya tergantung kepada uang dan kekuasaan. Kondisi itulah yang membangun masyarakat ‘tersisih’ semakin membesar, tidak saja mereka yang berekonomi lemah, para penganggur, tetapi juga mereka yang berekonomi kuat dan berkeinginan untuk menertibkan diri.
Masyarakat tersisih ini menjadi kekuatan besar ketika bersatu dan berupaya melawan petugas hukum yang berusaha menertibkan keadaan. Perlindungan oleh preman, pimpinan masyarakat, lembaga swadaya dan organisasi politik menjadikan kelompok masyarakat yang tersisih memiliki perlindungan terhadap situasi tersebut.
7. Mentalitas ugal-ugalan
Kegetiran menghadapi hidup yang tak menentu di berbagai kota di Indonesia, menyebabkan masyarakat mudah menderita depresi dan frustasi sosial. Perilaku pengemudi, bis, truk gandengan, angkutan kota dan angkutan tak bermesin yang menjadi raja jalanan. Bahkan banyak pula remaja yang bermotor, pengemudi becak, pejalan kaki, mengemdarai mobil mewah dan juga kendaraan tentara menjadi ‘hero’ di tengah jalan.
8. Pekerjaan tumpang tindih
Kebiasaan pemerintah daerah untuk menunda perbaikan jalan, gorong-gorong, saluran air, tumpang tindih pekerjaan PU, perbaikan lampu lalu lintas dan juga keurangnya pemeliharaan pohon telah menjadi suatu hal yang lumrah. Dalam perencanaan yang lebih konseptual, pekerjaan yang tumpang tindih itu termasuk juga wewenang setiap instansi dan jadwal pekerjaan. Fenomena ini telah menjadi wacana pembangunan hamper di seluruh kota di Indonesia termasuk kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan desain dan perencanaan pembangunan. Kondisi tersebut mempengaruhi pula perilaku sosial dalam menjalankan pelaksanaan desain di lapangan, serta kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
9. Warga merasa tak memiliki
Perilaku warga yang merasa tak memiliki kota, dengan jalan mebuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum ataupun peduli terhadap kerusakan kota. Kondisi tersebut terjadi karena banyak warga kota luar daerah dan juga tidak konsistennya penegakan ketertiban di berbagai tempat oleh aparat pemda sendiri, sehingga menumbuhkan apatisme sosial dan ketakpedulian sosial. Hal itu memicu setiap warga menjadi amat sensitive dan amat reaktif terhadap pergesekan sosial.
Sumber:
Sachari, Agus. 2002. Sosisologi Desain. Bandung: Penerbit ITB.