Aguste Comte |
SosiologiUntukIndonesia.blogspot.com ----Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang
kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling
tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris
harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari
alam seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat, pendirian Comte bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masyarakat
menurut penggunaan metode-metode empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya. Merupakan
sumbangan yang tak terhingga nilainya terhadap perkembangan sosiologi.
Comte dengan hokum tiga tahapnya merupakan usaha Comte untuk
menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai ke
peradaban Perancis abad kesembilanbelas yang sangat maju. Hukum itu menyatakan
bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama
yang ditentukan menurut cara berfikir dominan: teologis, metafisik, dan
positif.
Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut: dari studi
perkembangan mengenai intelegensi manusia, disegala penjuru dan melalui segala
zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar, … inilah hukumnya: - bahwa
setiap konsepsi kita yang paling maju - setiap cabang pengetahuan kita –
berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda: teologis atau
fiktif, metafisik atau abstrak, ilmiah atau positif. Pikiran manusia
menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda dan malah
sangat bertentangan. Pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam
pemahaman manusia. Kedua merupakan keadaan peralihan dan Ketiga merupakan
pemahaman dalam keadaannya pasti dan tak tergoyahkan.
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar
manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala
akibat (semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal
supernatural). Dalam fase metafisik, dimana akal budi mengandaikan bukan hal
supernatural melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar
nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang diprsonifikasikan),
dan yang mampu menghasilkan semua gejala …… Dalam fase positif, akal budi sudah
meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolute,
asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memusatkan
perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya-yakni hubungan-hubungan urutan
dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan
secara tepat, merupakan sarana dan pengetahuan ini.
Dalam perkembangannya, Comte mulai khawatir akan terjadinyakehancuran
basis untuk kemajuan yang mantap. Untuk mengatasi masalah dan tetap
mempertahankan keteraturan sosial, dimana Comte kembali melihat sejarah dan dia
mengakui agama sebagai tonggak keteraturan sosial karena agama merupakan dasar
“consensus universal’ dalam masyarakat dan agama juga mendorong identifikasi
emosional individu dan meningkatkan altruism. Akhirnya, Comte mendirikan suatu
agama baru yakni agama humanitas yang dianggap dapat mengatasi masalah
tersebut.
Pandangan Comte mengenai transisi dari masyarakat militer ke industry
sudah jelas mengandung implikasi perubahan dalam kebudayaan materil. Terutama
munculnya industrialism tergantung pada kemajuan teknologi, dan kemajuan dalam
teknologi mencerminkan perubahan dalam kebuadayaan materil. Dimana Sorokin juga
menyinggung kemajuan teknologi dan melimpahnya materi secara meningkat yang
mungkin dihasilkannya. Sorokin memandang kebudayaan materil sebagai wahana
perwujudan mentalitas budaya non materil. Berarti bahwa analisa tentang
kebudayaan materil berkisar pada arti-arti budaya yang disimbolkan atau
diwujudkan dalam bentuk-bentuk materil, seperti karya-karya seni dan
arsitektur. Jelasnya bahwa Comte dan Sorokin melihat kebudayaan materil sebagai
sesuatu yang bergantung pada kebudayaan non materil.
Sumber bacaan: Teori Sosiologi Klasik&Modern. Paul Johnson, Doyle.
1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar