Secara terminologi sosiologi berasal dari bahasa Yunani yakni kata socius dan logos. Socius artinya kawan, berkawan, ataupun bermasyarakat. Sedangkan logos artinya ilmu atau dapat juga berbicara tentang sesuatu. Dengan demikian secara harfiah , sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang masyarakat.
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, yang dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis.
Adapun syarat ilmu sebagai berikut:
1. Rasional, artinya ilmu itu adalah sesuatu yang dapat dipertimbangkan dan diterima akal, dalam hal ini yang digunakan adalah indrawi.
2. Sistematis, berarti suatu ilmu itu tersusun sesuai dengan sistem atau tersusun dengan baik.
3. Bersifat umum, bahwa ilmu itu adalah pengetahuan yang dapat diterima dan diuji oleh siapa saja.
4. Kumulatif, berarti berkelanjutan.
Mengapa Sosiologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan?
Bagi Aguste Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena itu sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Lahirnya sosiologi dicatat pada 1842, tatkala Comte menerbitkan jilid terakhir dari bukunya yang berjudul Positive-Philosophy yang tersohor itu.
Sosiologi jelas suatu ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya sebagai berikut:
1. Sosiologi sifat empiris, berarti ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.
3. Sosiologi bersifat kumulatif, berarti teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori yang lama.
4. Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Sosiologi dianggap sebagai suatu ilmu pengetahuan, dimana sosiologi sudah memenuhi kriteria atau syarat suatu ilmu sebagaimana yang diterangkan sebelumnya. Apalagi sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dapat dipisahkan bahkan dapat dibedakan dengan ilmu sosial lainnya. Sosiologi yang memusatkan perhatiannya pada segi-segi masyarakat yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapat pola-pola umum daripadanya. Sementara itu, apabila ditelaah dari sudut sifat hakikatnya maka dapat ditemui untuk menetapkan ilmu pengetahuan macam apakah sosiologi itu. Sifat-sifat hakikatnya:
1. Sosiologi adalah ilmu sosial, dan bukan merupakan ilmu alam, atau ilmu pengetahuan kerohanian.
2. Sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif akan tetapi adalah suatu disiplin yang kategoris, yaitu sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
3. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni, bukan ilmu pengetahuan terapan.
4. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan ilmu pengetahuan yang konkrit.
5. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
6. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional.
7. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus.
Kesimpulan bahwa sosiologi adalah ilmu yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional dan empiris serta bersifat umum.
Sumber:
- Pengantar Ilmu Sosial, Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd., 2007.
- Sosiologi Suatu Pengantar, Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., 2003.
- Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub.
Selasa, 28 April 2015
Senin, 27 April 2015
ARISTOTELES
![]() |
Aristoteles |
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran, dan ilmu alam.
Minat-minat Aritoteles tentang meliputi bidang alamiah dan manusia, termasuk didalamnya etika dan metafisika. Ia merupakan filsuf terkemuka dan terbesar. Asumsi ini dibuktikan berabad-abad melampaui zamannya. Sehingga tulisan-tulisannya merupakan basis filsafat alamiah hingga abad ke-17. Meskipun tetap terhindarkan adanya kesalahpahaman dan tulisannya pernah digunakan untuk menyusun dogma yang steril. Perbedaan pandangan dirinya dan Plato diawali oleh soal-soal mendasar.
Aritoteles menyatakan kritik tajam terhadap pandangan Plato mengenai konsep idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang kemudian hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternatif bagi ajaran Plato mengenai idea-idea. Namun Aristoteles tetap berhutang budi kepada Plato.
Di bidang ilmu alam, dia orang pertama mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis, menggambarkan analisis kritis dan pencarian hukum alam dan keseimbangan pada alam. Dalam logika, Aritoteles cenderung dengan sistem berpikir deduktif. Dalam penelitian ilmiah menyadari pula pentingnya observasi, eksprimen dan berpikir induktif. Di bidang politik, bentuk politik ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi.
Pemikiran Aritoteles sangat berpengaruh pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Abad pertengahan, Aristoteles tidak hanya dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.
Aristoteles menganggap idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-idealah yang tidak dapat berubah. Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu bentuk dan materi. Bentuk adalah wujud suatu hal, materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut. Dengan kata lain, bentuk dan materi adalah suatu kesatuan.
Jumat, 17 April 2015
PLATO
![]() |
Plato |
Plato lahir dari keluarga terkemuka pada tahun 428 SM di Athena. Ayahnya Ariston dan ibunya Periktione. Ketika ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan adik ayahnya Pyrilampes (seorang politikus). Kehadiran pamannya banyak memberi pengaruh pada Plato. Selain itu dia juga banyak dipengaruhi oleh Kratylos seorang filsuf yang meneruskan ajaran Herakleitos berpendapat bahwa dunia ini terus berubah. Pergaulannya dengan para politikus, Plato memiliki, menularkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin suatu negara haruslah seorang filsuf. Hal ini dilontarkan karena kekecewaannya atas kepemimpinan politikus saat itu. Terutama kaitannya dengan kematian gurunya Socrates.
Plato mendirikan akademia sebagai pusat penyelidikan ilmiah dan merealisasikan cita-citanya yaitu menjadikan filsuf-filsuf siap menjadi pemimpin negara. Akademia inilah awal munculnya universitas-universitas saat ini yang menekankan kajian ilmiah bukan sekedar reotrika.
Metode yang digunakan adalah metode dialog dan karya-karya Plato disampaikan secara lisan. Di satu sisi Plato masih mempercayai beberapa mitos yang digunakan untuk mengemukakan dugaan-dugaan hal-hal duniawi.
Inti dasar filsafat yang diajarkan adalah idea. Idea merupakan sesuatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subyek yang berfikir. Idea tidak diciptakan dari pemikiran individu tetapi pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Plato menerang idea itu dengan teori dua dunianya yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani (sifatnya berubah dan tidak sempurna). Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan idea dan realitas jasmani melakuoi 3 cara yaitu:
1. Idea hadir dalam bentuk-bentuk konkrit
2. Benda konkrit mengambil bagian dalam idea, dsini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat
3. Idea merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit
Plato menganggap jiwa merupakan intisari atau pusat kpribadian manusia (dipengaruhi oleh Socrates, Orfisme, dan mazhab Pythagorean). Argumen pentingnya bahwa ada kesamaan yang terdapat antara jiwa dan dan idea-idea, dengan menuruti prinsip-prinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat. Dengan demikian, jiwa itu juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan idea yaitu sifatnya yang abadi dan tidak berubah. Plato mengatakan bahwa dengan mengenal benda atau apa yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah proses peringatan sebab menurutnya setiao manusia sudah mempunyai pegetahuan yang dibawahnya pada waktu berada di dunia idea ketika masuk ke dalam dunia realitas jasmani pengetahuan yang sudah ada tinggal diingatkan saja. Maka Plato menganggap seorang guru adalah mengingatkan muridnya tentang pengetahuan yang sebetulnya sudah lama mereka miliki. Ajaran Plato tentang etika mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan yang baik dan hidup yang baik dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan romos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara.
Kamis, 09 April 2015
SOCRATES
Socrates |
Socrates lahir di Athena pada tahun 470 SM. Socrates adalah seorang anak pemahat bernama Sophroniscos dan ibunya adalah seorang bidan bernama Phainarate. Istri Socrates bernama Xantipe dikenal sebagai seorang wanita yang judes (galak dan keras). Socrates berasal dari keluarga kaya, ia mendapatkan pendidikan yang baik. Ia pernah menjadi prajurit Athena, ia dikenal sebagai prajurit yang gagah berani. Namun, ia tidak suka terhadap urusan politik, karena itu kemudian ia berfilsafat. Ia memusatkan objek filsafatnya pada manusia. Socrates mengajarkan buah pikirannya kepada anak-anak muridnya tanpa memungut biaya apapun, tidak seperti kaum sofis.
Namun, suatu hari ia dituduh bahwa ajarannya telah merusak moral para pemuda dan menentang kepercayaan negara. Karena tuduhan itu, ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun (599 SM).
Pemikiran Socrates adalah tentang keutamaan moral. Sejak muda Socrates telah terlihat sifat kebijaksanaannya karena selain ia cerdas, juga setiap perilakunya dituntun oleh suara batin (diamon) yang selalu membisikkan dan menuntun kearah keutamaan moral. Pemberian pelajaran dilakukan dengan jalan dialog (tanya jawab) untuk mengupas kebenaran ilmu. Menurutnya pengetahuan sejati atau pengertian sejati sangat penting dalam keutamaan moral. Barang siapa yang memiliki pengertian sejati berarti memiliki kebajikan/keutamaan moral berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Socrates tidak pernah menuliskan filosofisnya. Bahkan tidak pernah mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Baginya filosofi itu bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran berisi dogma melainkan fungsi yang hidup. Ajarannya dikenal lewat catatan-catatan muridnya Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, orang lebih banyak bersandar pada Plato.
Tujuan filosofi Socrates adalah mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya. Menurutnya kebenaran itu tetap dan harus dicari. Beda dengan guru-guru sofis yang mengajarkan semuanya relative dan subyektif dan dihadapi dengan pemikiran skeptis. Dalam mencari kebenaran Socrates tidak memikir sendiri melainkan dengan tanya jawab, setiap kali berdua dengan orang lain. Metodenya disebut maieutik. Socrates mempergunakan pertanyaan "apa itu?" untuk mencari pengertian bentuk yang tetap daripada sesuatunya. Metode digunakan induksi dan definisi. Induksi dasar definisi. Induksi yang menjadi metode Socrates adalah memperbandingkan dengan kritis. Pengertian yang diperoleh diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian nyata. Apabila dalam pasangan ini pengertian tidak mencukupi maka dicari perbaikan definisi. Definisi yang dicapai diuji sekali lagi untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Begitulah cara Socrates mencapai pengertian.
Kamis, 12 Maret 2015
Passobis sebutannya
Faktanya kehidupan ekonominya
meningkat drastis. Orang mengatakan mereka kaya mendadak. Sejatinya mereka juga
melalui proses perjuangan dan proses itu tidaklah pernah terlihat. Tiap hari
kita menyaksikan pegawai, tenaga pendidik, pengusaha, tukang ojek, tukang
bentor, petani beraktifitas mencari penghidupan. Sementara kesehariannya mereka
terlihat lebih banyak santai tanpa pekerjaan alias nganggur.
Tidak dapat dipungkiri dibalik itu ada
resiko yang selalu ada didepan mata. Resiko berurusan dengan aparat keamanan
aparat penegak hukum sampai pada ranah menikmati ruang yang jauh dari keluarga,
kawan. Kehidupan terisolasi karena tidak ada interaksi dengan masyarakat luar.
Sampai pada urusan dengan Sang Pencipta.
Passobis itu sebutannya, profesi
sebagai penipu via telepon/sms. Penipuan dengan jaringan professional dan
memiliki keahlian komunikasi yang handal terhadap korban. Pola penipuan
memanfaatkan kondisi psikologis. Penipu mampu mengendalikan korban melalui
retorika yang membuat korban semakin percaya, ada tekanan waktu dan mengisolasi
komunikasi korban dengan keluarga dan orang lain.
Beragam modus baik melaui Short
Message Service (SMS) atau telepon langsung. Seperti memberikan kabar ada
anggota keluarga kecelakaan dan harus segera dioperasi, info menang undian /
mendapat hadiah dari perusahaan ternama, penghipnotisan. Satu tujuan
mendapatkan materi yang banyak dari korbannya baik berupa voucher isi ulang
maupun bentuk uang.
Kerja cantik dan professional dikenal kerja
tim, berkelompok dan terdapat pembagian tugas. Ada bertugas mengirimkan Short Message Service
(SMS) kepada calon korban, bertugas berbicara langsung dengan calon korban, bertugas
mengambil uang di bank/mesin ATM jika sudah gol. Pembagian hasil sesuai
kesepakatan yang telah dibicarakan sebelum menjalankan aksinya. Seharinya
mengirim ratusan bahkan ribuan sms ke calon korban. Mereka juga bisa disebut
pegawai harian jika keberuntungan datang padanya. Ada saja yang jadi korban.
Mengenali kerjanya melalui ciri ada
permintaan ke ATM, mentransfer sejumlah uang atau meminta membeli sejumlah
voucher isi ulang, terdapat tekanan waktu batasan dalam mendapatkan hadiah
tersebut dan komunikasi terisolasi dengan orang lain. Menghindari sangat mudah
jangan bangun komunikasi. Sekali membuka peluang komunikasi maka semakin
membuka peluang tertipu.
Senin, 09 Maret 2015
MODAL SOSIAL HADIR DALAM MEREDAM NILAI-NILAI NEGATIF PADA KOMUNITAS PEDAGANG BUGIS WAJO
Pedagang Bugis Wajo dengan watak efektif dan efisien
ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada modal sosial yang diterapkan. Modal sosial
ini menjalar pada hubungan sosial yang berlangsung diantara mereka. Modal sosial
yang nampak pada komunitas mereka adalah padaidi
dan balireso.
Modal sosial ini menjadi jawaban atas stigma yang ditujukan
kepada pedagang Bugis Wajo. Yakni pada sikap penghematan yang terjadi pada
kegiatan perekonomian sebagai upaya maksimalisasi keuntungan yang memiliki
kecenderungan pada nilai-nilai kapitalisme yakni nilai individualisme, nilai
kebebasan, nilai produktifitas dan nilai efisien.
Padaidi dimaksudkan
ada kedekatan emosional satu sama lain. Hal ini tentunya membentuk hubungan
sosial yang kuat karena ada perasaan sesama saudara, sesama teman, dan atau
sesama orang bugis. Bagi Orang Bugis Wajo dalam kegiatan usaha masih
mengutamakan kerabat. Jika tidak ada lagi kerabat baru memanggil orang lain
dalam pengembangan usaha. Pertimbangan mendahulukan kerabat karena kedekatan
emosional dan keintiman. Sudah ada kepercayaan (trust) yang kuat dan kerjasama mudah terbangun karena adanya
hubungan intim dan saling kenal. Seorang informan mengatakan dalam menjalan usaha
tenun sutera dia memilih bekerja dengan keluarga sendiri karena merasa tidak
nyaman dengan orang lain terkhusus pada pembagian keuntungan.
Padaidi bermakna
kepedulian bahwa kita semua adalah satu bagian yang tidak terpisahkan. Modal sosial
ini termanifestasikan pada kepedulian atau sikap saling menjaga dalam satu
komunitas. Padaidi mampu meredam
sikap individualistis dan mampu melahirkan semangat kolektifitas.
Kerjasama menjalankan usaha dengan anggota keluarga sendiri
dengan pembagian keuntungan sesuai aturan dan kesepakatan sebelum menjalankan
usaha sebagai wujud balireso. Biasanya
pembagian keuntungan didasarkan pada besar modal yang ditanam dan atau peran
yang dilakoni dalam kegiatan usaha pertenunan tersebut. Demikian halnya juga
pada perekrutan tenaga kerja/karyawan tetap mendahulukan kerabat dibandingkan
orang lain. Tenaga kerja yang dipekerjakan tetap memperoleh gaji meskipun
menggunakan tenaga kerja dari kerabat sendiri. Disini nampak sikap
profesionalisme yang dimiliki pengusaha tersebut.
Modal sosial memang dibutuhkan pada tiap komunitas untuk
menjaga stabilitas kelompoknya. Sebagaimana Fuyukama mendefinisikan modal
sosial sebagai rangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya
kerjasama diantara mereka. Coleman menerangkan bahwa capital social merupakan
aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu.
Munculnya modal sosial dalam relasi sosial ekonomi pengusaha
merupakan suatu perilaku afektif. Menurut Weber perilaku afektif berkaitan
dengan nilai dan jauh dari rasionalitas. Sehingga penguatan modal sosial pada
kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan karena merupakan investasi sosial
meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma
serta kekuatan yang menggerakkan struktur dalam hubungan sosial untuk mencapai
tujuan individu/kelompok secara efisien dan efektif.
Dalam kajiannya individu memiliki dua karakter sebagaimana
dalam teori dramaturgi dari Goffman bahwa kehidupan ini bagaikan panggung
sandiwara, dimana kita dituntut untuk memiliki dua peran. Peran pertama adalah
peran sebagai diri kita sendiri dan kedua kita berperan sesuai dengan status
yang kita miliki dalam masyarakat. Ketika dia seorang pedagang maka dia akan
bertindak selayaknya seorang pedagang tapi ketika dia bertindak sebagai diri
sendiri maka tindakannya harus didasarkan pada hubungan emosional. Sebagai sebuah
ilustrasi seorang paman akan bertindak layaknya seorang paman kepada
keponakannya ketika berada pada panggung keluarga dan ketika dia berada pada
panggung perdagangan maka dia akan berperan sebagai seorang agen dalam
transaksi jual beli tersebut.
Upaya Maksimalisasi Keuntungan pada Pengusaha Tenun Sutera Sengkang
Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang (Upaya Maksimalisasi Keuntungan)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa pengusaha tenun
sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo lebih mengutamakan maksimalisasi
keuntungan dibanding hal lainnya. Istilah massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat diartikan saudara tetap saudara tapi
dalam hal harta benda tidaklah dikenal harta bersama. Jenis penelitian ini
menggunakan desain studi kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data
diperoleh dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena massijing
watakkale te’massijing warangparang itu terjadi pada relasi sosial
ekonomi pengusaha tenun sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo.
1. Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang Pada Relasi Ekonomi Pengusaha Tenun Sutera.
Jiwa wiraswasta dan falsafah wawang
asugirenna to Wajo’e (ajaran tentang bagaimana dapat menjadi orang
kaya bagi orang-orang Wajo) mengingatkan kita pada semangat
kapitalisme dan etika protestan tentang ajaran protestan menjadi spirit untuk
bekerja keras dalam memperoleh kekayaan. Pada masyarakat Bugis Wajo yang menjadi
spirit adalah keinginan untuk dihargai dan atau untuk memperoleh prestise.
Dalam skala orang Wajo seseorang dikatakan
berprestasi dan mendapatkan penghargaan dari masyarakat lainnya jika menempati
posisi elit yang strategik yaitu:
a) To Mapparenta (Pemerintah), yaitu orang yang
menduduki posisi strategis pada organisasi pemerintahan maupun organisasi
kemasyarakatan. Contohnya menduduki jabatan sebagai kepala desa/lurah, camat,
bupati atau sebagai kepala bagian pada instansi tertentu.
b) To Panrita (Ahli agama), yaitu orang yang
memiliki pengetahuan agama yang baik dan karisma sehingga ditokohkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Contohnya ustadz, dhai, khiyai dan sebagainya.
c) To Acca (Cendikiawan), yaitu orang yang pandai
dan cerdas. Contohnya dosen, guru dan orang-orang yang memiliki keahlian pada
bidang yang ditekuninya.
d) To Sugi Mappanre na saniasa (orang kaya), yaitu
orang yang memiliki kekayaan harta benda yang cukup berlimpah, pengusaha yang
terampil atau cekatan.
e) To Warani (Pemberani/pahlawan), yaitu orang yang
pemberani atau pahlawan yang selalu waspada. Contohnya polisi, tentara dan atau
orang-orang yang berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan daerahnya.
Falsafah di atas sejalan dengan teori Need
For Achievement (keinginan untuk berprestasi) dari David C. Mc.
Clelland dalam Andi Adijah (2009:77). Teori ini menguraikan seseorang bisa
berhasil dalam usaha karena didukung oleh motivasi untuk dihargai. Seseorang
dikatakan termotivasi ketika dia melakukan atau melebihi apa yang diharapkan
kepadanya.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai teori Need
For Achievement digunakan teori tentang manusia dan motivasi yang
didalamnya memiliki beberapa azas antara lain:
1. Setiap orang dewasa memiliki sejumlah motif
dasar atau kebutuhan yang dapat dipandang sebagai katup atau jalan keluar yang
menyalurkan dan mengatur aliran keluar daripada energi potensial tersebut dari
bak cadangan.
2. Walaupun kebanyakan orang dewasa yang berasal
dari kebudayaan tertentu memiliki susunan motif atau jalan keluar energi yang
sama, namun mereka akan sangat berbeda dalam kekuatan relatif atau kesiapan
berbagai motif tersebut. Suatu motif yang kuat dapat diibaratkan sebagai sebuah
katup atau jalan keluar energi yang terbuka dengan mudahnya dan memiliki suatu
bukaan yang lebih besar bagi arus keluarnya energi (biasanya disebabkan oleh
penggunaan yang seringkali). Suatu motif yang lemah dapat diibaratkan sebagai
sebuah katup yang kaku, melekat, bahkan walaupun terbuka hanya mengalirkan arus
energi keluar yang terbatas.
3. Diwujudkan tidaknya suatu motif, yakni apa
energi tersebut mengalir keluar melalui jalan keluar tersebut menjadi perilaku
dan kerja yang bermanfaat, tergantung pada situasi khas dimana orang berada
menemukan dirinya sendiri.
4. Karakteristik situasi tertentu akan membangun
atau memicu berbagai motif, membuka berbagai katup atau jalan keluar energi.
Masing-masing motif atau jalan keluar energi peka sekali terhadap berbagai
susunan karakteristik situasi.
5. Karena berbagai motif diarahkan kepada berbagai
jenis kepuasan maka pola perilaku yang dihasilkan dari pembangkitan suatu motif
(dan pembukaan jalan keluar energi) berbeda pula untuk masing-masing motif
mengarah ke suatu pola perilaku yang berbeda.
6. Dengan mengubah sifat situasi akan bangkit atau
diwujudkan motif yang berlainan sebagai akibat hasil pengenergian pola perilaku
yang berlainan satu dengan yang lainnya (Sitompul dalam Andi Adhijah, 2009:13).
Terkait dengan motif untuk dihargai tentunya
sebagai pelaku usaha diharuskan bekerja dengan baik untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Orang yang memiliki motif prestasi yang tinggi akan
memikul tanggung jawab pribadi untuk tindakan-tindakannya sendiri, mencari
(menggunakan) umpan balik atas hal-hal yang berkenaan dengan
tindakan-tindakannya sendiri, menggunakan resiko sedang atas tindakan
pribadinya (memilih perilaku yang menantang tetapi dapat dicapai secara
realistik), dan berusaha melakukan sesuatu dalam suatu cara yang kreatif dan
inovatif (Andi Adijah, 2009:14).
Teori keinginan untuk berprestasi relevan dengan
kehidupan nyata di kalangan masyarakat Bugis Wajo termasuk para pedagang. Para
pedagang Bugis Wajo memiliki tekad untuk mencapai prestasi di daerah sendiri
atau di daerah perantauan mereka. Prestasi yang dimaksudkan tentu yang searah
dengan aktivitas perdagangan, yakni menjadi to sugi mappanre na saniasa seperti
memiliki dan memimpin satu atau beberapa tempat usaha.
Efektifitas dan efisiensi tentunya tidak bisa
dihindari oleh pengusaha untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.
Efektif yang dimaksud disini adalah langkah-langkah yang dilakukan itu harus
memberi pengaruh yang besar, sedangkan efisien dimaksudkan adalah setiap
pengorbanan yang telah dikeluarkan dapat memberikan manfaat yang besar.
Dalam relasi ekonomi massijing watakkale
te’massijing warangparang harus dilihat sebagai suatu sistem
(manajemen dagang bugis) yang mengandung prinsip efektifitas dan efisiensi.
Watak atau sikap tersebut datang dari falsafah dagang ajjasia
naburukiko labo, natunaiko sekke yang berarti bahwa jangan sampai kau
hancur karena sikap dermawanmu dan janganlah terhina karena kikir.
Massijing watakkale te’massijing warangparang pada praktek sehari-harinya dapat dicontohkan
sebagai berikut: seorang kakak harus mengembalikan uang yang telah dipinjamnya
pada saudaranya. Bagi masyarakat Wajo hal tersebut adalah hal yang wajar dan
bahkan hal tersebut juga berlaku pada kelompok-kelompok lainnya.
Pada komunitas pedagang hal tersebut dianggap
wajar karena hal tersebut adalah sebuah konsekuensi dalam kegitan perdagangan.
Hal tersebut sesuai dengan tipe tindakan yang dikemukakan Weber (Johnson,
1986:220) tentang tindakan rasional instrumental. Disini informan berharap ada
imbalan atau balasan dari tindakan yang dilakukan seperti membantu orang lain
karena berharap akan dibantu juga di kemudian hari. Tindakan rasional
instrumental ini adalah bagian dari relasi ekonomi. Rasionalisasi dari tindakan
menjual barang dagangan kepada anggota keluarga sendiri adalah suatu tindakan
untuk menjaga kelancaran usaha. Hal tersebut sesuai dengan falsafah dagang
yaitu ajjasia naburikiko labo.
Dalam proses transaksi tersebut terdapat modal
sosial yang mampu meredam hal-hal yang negatif. Kata ajja natunaiko
sekke merupakan cerminan dari sikap kolektivitias. Bagi masyarakat
Wajo sikap kikir akan membuat kita jauh dari teman atau dari orang lain, jadi
ketika kita menjadi makhluk yang terasing secara otomatis kita sulit untuk
melakukan usaha perdagangan karena usaha perdagangan membutuhkan relasi sosial
yang kuat.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Fukuyama (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para
anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Adapun Cox (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu
rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan,
norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya
koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
Modal sosial ditransmisikan melalui
mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan
sejarah (Supriono, 2007:3). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis
komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human
capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma
moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi
kebajikan-kebajikan.
Coleman menambahkan bahwa capital social merupakan
aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu. Modal sosial
pada dasarnya ada pada tiap kelompok. Secara tidak sadar tiap kelompok
membutuhkan modal sosial tersebut untuk menjaga stabilitas dalam kelompoknya.
Kalimat massijing watakkale te’massijing
warangparang itu datangnya dari masyarakat luar berdasarkan apa yang
mereka pahami tentang perilaku masyarakat Wajo. Masyarakat luar telah salah
dalam menafsirkan sikap hemat dari masyarakat Wajo sehingga mereka
menganggapnya kikir. Sikap hemat tersebut bukanlah kikir tapi adalah satu
langkah yang digunakan mengembangkan usaha. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindakan rasional instrumental. Sebagaimana yang
diungkapkan Weber dalam Johnson (1986:220) bahwa tingkat rasionalitas paling
tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan
secara rasional ke suatu sistem tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya
diperhitungkan dan dipertimbangkan secara rasional.
Pertukaran uang dengan barang atau jasa adalah
konsekuensi logis dari kegiatan jual beli atau dapat dikatakan bahwa untuk
mendapatkan barang atau jasa diperlukan alat tukar yang memiliki nilai yang
setimpal dengan barang atau jasa yang diinginkan. Dalam masyarakat itu adalah
hal yang wajar saja ataupun dalam keluarga. Seorang ayah harus membayar barang
yang telah dibeli dari anaknya juga adalah sesuatu yang wajar saja. Jadi tindakan
tersebut bukanlah tindakan yang berkonotasi negatif seperti yang dilontarkan
pada pedagang bugis Wajo. Yang menjadi tidak wajar ketika ada transaksi dalam
urusan keluarga atau yang sifatnya sangat privasi, misalya seorang anak harus
mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya selama dia
bersekolah.
Realitas yang telah dijelaskan sebelumnya adalah
realitas pada komunitas paguyuban atau biasa dikenal dengan istilah gemeinschaft seperti
yang diungkapkan oleh Tonies adalah bentuk kehidupan bersama di mana
anggota-anggota diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah
serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa
kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga
bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat diumpamakan dengan
organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai
di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya
(Soekanto, 2003:132-133).
Fenomena sosial ini ketika dikaitkan pada
dinamika in-group dan out-group tentulah akan semakin
memperjelas bagaimana massijing watakkale te’massijing warangparang lahir
sebagai sebuah realitas sosial. Ketika seorang bertemu dengan sesama
kelompoknya tentulah sikap atau tindakan yang muncul berupa sikap simpati dan
merasa dekat dengan anggota-anggota kelompok. Pada kasus pengusaha tenun sutera
dapat dijelaskan bahwa ada sikap simpati atau baik berlaku pada sesama
kelompoknya dan atau keluarganya sendiri, contoh dalam kegiatan dagang adalah
pemberian potongan harga, bantuan modal, dan saling menjaga kualitas dari
barang yang dihasilkan. Pada tinjauan out-group sikap yang dimunculkan adalah
sikap antagonism atau antipati.
Penulis melihat bahwa massijing
watakkale te’massijing warangparang memiliki kecenderungan pada
nilai-nilai kapitalisme antara lain:
a) Nilai individualisme. Individualisme berarti
seseorang harus menjadi dirinya sendiri yaitu individu anggota masyarakat harus
mampu independen, tidak bergantung pada orang lain sebab tiap orang memiliki
hak untuk menjadi dirinya sendiri. Disamping itu juga ada unsur lain yang
sangat penting yaitu self reliance (keyakinan diri), self
interest (minat pribadi), self confidence (kenyamanan
pribadi), self esteem (harga diri) dan self
fulfillment are meaning of individualism (pemenuhan kebutuhan pribadi
adalah arti individualism secara mendalam).
b) Nilai kebebasan. Nilai individualisme tidak
dapat dipisahkan dengan semangat kebebasan karena nilai individualisme sendiri
dapat teraktualisasikan melalui independensi. Independensi dalam kapitalisme
meliputi kebebasan berusaha dan kebebasan pasar.
c) Nilai produktivitas. Dalam kapitalisme setiap
induvidu diharuskan untuk memproduksi/berkarya untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Semakin banyak produk (karya) yang dihasilkan seseorang maka makin
berharga dirinya di tengah mata masyarakat. Penghargaan datang tidak hanya dari
keturunan seperti halnya dalam sisten feodalisme namun penghargaan datang
karena orang tersebut mampu menghasilkan lebih banyak dibandingkan individu
lain.
d) Nilai efisiensi. Dalam sistem produksi massal,
nilai produktifitas tidak akan terpisah dari nilai efisiensi. Dalam nilai
efisiensi maka unsur produktifitas dengan memaksimalkan produksi yang dapat
ditempuh melalui dua hal yaitu tenaga kerja yang didisiplinkan dan investasi
capital yang diregulasi (rasionalisasi kapital).
Nilai tersebut lahir pada komunitas out-group sesuai yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Massijing watakkale te’massijing warangparang akan memperhadapkan kita pada dua dimensi
kehidupan. Dalam skripsi penulis mengistilahkan dengan relasi sosial dan relasi
ekonomi. Dalam relasi sosial tentunya hubungan tersebut lebih nampak pada pola
interaksi sehari-harinya, sedangkan pada relasi ekonomi akan mengarahkan kita
pada tindakan ekonomi yang dilakukan individu.
Fenomena massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat pula dikaitkan dengan teori dramaturgi
dari Goffman (Poloma, 2007:229) bahwa kehidupan ini bagaikan panggung
sandiwara, dimana kita dituntut untuk memiliki dua peran. Perann yang pertama
adalah peran sebagai diri kita sendiri dan peran yang kedua adalah kita
berperan sesuai dengan status yang kita miliki dalam masyarakat. Dalam
kajiannya pada pedagang individu memiliki dua karakter, karakter yang pertama
sebagai dirinya sendiri dan karakter yang kedua sebagai seorang pedagang.
Ketika dia sebagai seorang pedagang ia akan bertindak selayaknya seorang
pedagang tapi ketika ia betindak sebagai dirinya sendiri maka tindakannya
didasarkan pada hubungan emosional.
Sebagai sebuah ilustrasi seoarang paman akan
bertindak layaknya seorang paman kepada keponakannya ketika ia berada pada
panggung keluarga dan ketika ia berada pada panggung perdagangan maka ia akan
berperan sebagai seorang agen dalam transaksi jual beli tersebut.
2. Massijing Watakkale Te’massijing Warangparang pada Relasi Sosial Pengusaha Tenun Sutera.
Manusia
sebagai mahluk sosial dituntut untuk melakukan
hubungan sosial antar sesama dalam hidupnya, disamping tuntutan untuk hidup berkelompok. Kehidupan
berkelompok bukan ditentukan oleh adanya kepentingan tetapi adanya dasar-dasar
untuk hidup bersama. Keinginan untuk hidup bersama ini terwujud dalam
bentuk kerja sama dalam masyarakat.
Fenomena massijing watakkale
te’massijing warangparang dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi
pada relasi sosial. Pada relasi sosial hal tersebut dilihat sebagai suatu
nilai. Ketika kita melihatnya sebagai sebuah nilai maka tindakan tersebut
diarahkan pada sikap yang peduli dan tidak peduli. Opini masyarakat tentang
istilah tersebut akan diarahkan pada apakah istilah itu mengandung konotasi
positif atau negatif. Nilai yang dimaksudkan disini adalah perilaku ekonomi
individu dalam interaksinya (dalam keluarga).
Pada kajian ini keluarga diasumsikan
sebagai in-group dan out-group adalah diluar anggota keluarga. Individu akan
bersikap simpati kepada sesama kelompoknya (in-group) dan akan bersikap
antagonis pada kelompok lainnya (out-group). Dalam kaitannya dengan in-group,
ada nilai yang sengaja dipelihara, nilai tersebut berperan pada struktur sosial
seperti jaringan dan norma yang berlaku. Orang manganggap bahwa nilai-nilai itu
amat penting untuk keselamatan dan ketidaksejahteraan masyarakat, orang merasa
loyal dan setia pada nilai-nilai tersebut. Misalnya seseorang yang berprinsip
bahwa janganlah kita tercerai-berai karena masalah harta benda.
Relasi sosial pada pengusaha tenun sutera
bersifat asiosiatif atau saling menguntungkan. Ada harapan dibalik tindakan
tersebut, disini kita melihatnya dengan menggunakan pendekatan tipe-tipe
tindakan sosial dari Weber (Johnson:1986:220) tentang tindakan afektif, disini
dapat diartikan bahwa tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar misalnya membantu orang lain
karena kedekatan secara psikologis. Tindakan ini merupakan bagian relasi sosial
pada fenomena massijing watakkale te’massijing warangparang dan
sesuai dengan falsafah dagang yakni ajjasia natunaiko sekke.
Relasi sosial merupakan pola tersendiri dalam
sistem sosial. Pola tersebut tentunya memberikan arah pada tindakan individu
dalam sistem sosial. Ketika masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem maka akan
diasumsikan sebagai berikut:
a) Sistem mempunyai tatanan dan bagian yang tergantung satu sama
lain.
b) Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya sendiri,
atau ekuilibrium.
c) Sistem bisa menjadi statis atau mengalami proses perubahan secara
tertata.
d) Sifat satu bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk bagian
lain.
e) Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka.
f) Alokasi dan integrasi adalah dua proses
fundamental yang diperlukan bagi proses ekuilibrium.
g) Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan
batas dan hubungan bagian–bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi
lingkungan, dan kontrol kecenderungan untuk mengubah sistem dari dalam (dikutip
dari http://fisip.uns.ac.id).
Asumsi di atas dapat kita gunakan dalam membedah relasi sosial dan
relasi ekonomi kaitannya dengan fenomena massijing watakkale
te’mmasijing warangparang.
Sebagai realitas sosial komunitas pengusaha
tenun sutera dilihat sebagai sebuah sistem yang memiliki tatanan dan bagian
yang saling terkait, selanjutnya sistem tersebut akan berusaha mempertahankan
tatanan yang sudah ada dengan kata lain selalu tercipta ekuilibrium. Hubungan
pada struktur sosial di komunitas pengusaha sutera bisa bersifat statis bisa
berubah secara perlahan dan tetap teratur.
Dalam kajiannya terhadap relasi ekonomi bahwa
masyarakat sebagai sebuah sistem dapat diartikan dalam transaksi jual beli
terdapat dua pelaku yakni penjual dan pembeli. Untuk tetap mempertahankan
keseimbangan tersebut maka dua pelaku itu harus hadir walaupun transaksi
tersebut berlangsung dalam satu keluarga.
Secara nyata dapat dikatakan bahwa fenomena massijing
watakkale te’massijing warangparang adalah sesuatu fenomena yang ada
pada setiap masyarakat. Di dalam massijing watakkale te’massijing
warangparang terdapat berbagai macam dimensi yang menyusunnya.
Fenomena massijing watakkale te’massijing warangparang akan
membagi kehidupan masyarakat Wajo dalam dua dimensi yang berbeda yaitu dimensi
kehidupan sebagai anggota keluarga. Dan dimensi yang kedua adalah dimensi
individu sebagai agen atau pelaku dalam transaksi jual beli.
3. Upaya Maksimalisasi Keuntungan Pengusaha Tenun
Sutera di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo.
Manusia didominasi oleh
keinginan untuk mendapatkan uang melalui akuisisi sebagai tujuan utama
hidupnya. Akuisisi ekonomis tidak lagi menjadi subordinat sebagai cara-cara
manusia dalam memuaskan kebutuhan materialnya. Menurut Weber inilah esensi dari
spirit kapitalisme modern (Giddens dalam Weber, 2006: XXXV).
Menurut Weber akan sangat
keliru jika kita beranggapan bahwa kegiatan mengumpulkan kekayaan untuk
kepentingan atas kesenangan duniawi adalah sebuah pengenduran nilai-nilai
moralitas. Pandangan bagus ini pada dasarnya adalah moral itu sendiri; yang
menuntut adanya disiplin dari diri sendiri. Para pengusaha yang diasosiasikan
dengan pengembangan kapitalisme rasional ini justru bisa memadukan rangsangan
akumulasi kekayaan dengan gaya hidup hemat secara positif.
Dalam kegiatan perdagangan keuntungan adalah
tujuan yang ingin dicapai. Hal tersebut berlaku dalam kondisi apapun walapun
transaksi tersebut terjadi dalam satu keluarga, contohnya seorang seoarang ayah
menjual sesuatu kepada anaknya. Hal tersebut pun juga berlaku pada
pengusaha tenun sutera, dan tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah
maksimalisasi keuntungan.
Maksimalisasi keuntugan disini dapat dilihat
sebagai penerapan kegiatan transaksi dimana barang harus ditukar dengan uang.
Dalam kegiatan hal tersebut adalah hal yang wajar saja. Tindakan ini dapat
disebut sebagai sebagai tindakan rasional, hal tersebut sesuai dengan tipe
tindakan yang dikemukakan Weber (Johnson, 1986:220) tentang tindakan rasional
instrumental. Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai
upaya maksimalisasi keuntungan pada dasarnya bersumber dari falsafah ajjasia
naburukiko labo, natunaiko sekke yang berarti jangan kau hancur karena
terlalu banyak memberi (terlalu dermawan) dan jangan kau terhina karena
kekikiranmu.
Dalam relasi sosial ekonomi massijing
watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi
keuntungan tentunya memberikan efek tersendiri. Pada relasi sosial
ekonomi tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya dalam menjalankan usaha
agar tidak mengalami kerugian.
Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi keuntungan
dalam penerapannya tidaklah bersifat statis tapi terdapat dinamika tersendiri
di dalamnya. Dalam transaksi jual beli pada komunitas tersebut tidak hanya
berlangsung begitu saja tapi ada nilai-nilai sosial yang berlaku di dalamnya
seperti bali reso dan padaidi. Sipedagang
akan memberikan sedikit keringanan harga kepada pembeli yang masih memiliki
ikatan keluarga dengan meskipun pada dasarnya mereka berdagang untung mencari
keuntungan. Hal ini yang kemudian disebut sebagai modal sosial, seusai dengan
pendapat Fukuyama (Supriono, 2007:3) mendefinisikan, modal sosial
sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama
diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama
diantara mereka. Munculnya modal sosial dalam relasi sosial ekonomi pengusaha
tenun sutera merupakan suatu perilaku afektif. Menurut Weber perilaku afektif
ini berkaitan dengan nilai dan jauh dari rasionalitas (Soekanto, 1985: 47).
Massijing watakkale te’massijing warangparang sebagai upaya maksimalisasi keuntungan
bagi masyarakat Bugis Wajo tidaklah mengandung nilai yang negatif karena mereka
percaya bahwa dalam jual beli harus terjadi pertukaran didalamnya. Dapat pula
dikatakan bahwa maksimalisasi keuntungan adalah tindakan professional. Pada
transaksi jual beli sebagai upaya maksimalisasi keuntungan status anggota
keluarga dari agen yang melakukan transaksi jual beli itu kemudian hilang yang
ada hanyalah status antara pembeli dan penjual. Pada hubungan sosial lainnya
yang bukan transaksi jual-beli itu memiliki tempat yang lain, dalam artian bahwa
ada pemisahan antara hubungan transaksi jual-beli dengan hubungan sosial
lainnya.
Abercrombie, Nicholas. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Agustang, Andi. 2011. Filosofi Research (Dalam Upaya Pengembangan
Ilmu). Makassar.
Ahmadin. 2008. Kapitalisme Bugis (Aspek Sosio-Kultural dalam Etika Bisnis Orang Bugis). Makassar: Pustaka Refleksi.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Kecamatan Tempe Dalam Angka 2011. Wajo:
BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011. Wajo:
BPS.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1.
Jakarta: PT Gramedia.
Jusmaliani, M.E., dkk. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Moleong, J. Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Telaahan
Positivistik, Rasionalisti dan Phenomenologik. Yogyakarta: Rake Sarasin
P.C. Box 83.
Nasution, S. 2008. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar
bekerjasama dengan forum Jakarta-Paris.
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1985. Maxx Weber, Konsep-Konsep Dasar Dalam
Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Jakarta: Buku Kompas.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.
(Terjemahan) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adijah, Andi. 2009. Dinamika Gerak Dagang Pedagang Bugis Wajo di Makassar Mall. Tesis
ini diterbitkan. Makassar: PPs UNM.
Kesuma, A. Ima. 2001.
Dinamika Etnosentrisme Orang Wajo: Kajian
Sosiologis Etnosentrisme Bagi Enterpreneur Etnik Wajo di Kota Makasssar. Tesis
ini diterbitkan. Makassar: PPs UNM.
Dikmenum. 2007. “Distribusi”bamboomedia
onnet, (Online), (www.dikmenum.go.id, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).
Konsultasi Skripsi. 2011. Mengurai
Perjalanan Kapitalisme Dalam Sejarah Indonesia (Pergeseran “Spirit Of
Capitalism” Menjadi Sistem Ekonomi Tanpa Keadilan), (Online), (http://skripsi-konsultasi.blogspot.com/2011/03/mengurai-perjalanan-kapitalisme-dalam-.html, Diakses pada tanggal 3 Desember 2011).
Malau, Judika. 2010. Pengertian
Etos Kerja, (Online), (http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html, diakses
tanggal 7 Desember 2011).
Supriono, Agus.dkk. 2007. Modal Sosial: Defenisi, Dimensi, dan
Tipologi, (Online). (p2dtk.bappenas.go.id/downlot.php?file=Modal%20Sosial...pdf. diakses pada tanggal 4 April 2012).
Wikipedia. 2011. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme, diakses pada
tanggal 12 Februari 2012).
Langganan:
Postingan (Atom)